Wacana wajib militer kembali muncul di Indonesia. Kali ini Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diarahkan untuk mengikutinya. Hal ini dimuat dalam Surat Edaran Nomor 27 Tahun 2021 tentang Peran Serta Pegawai ASN sebagai Komponen Cadangan dalam Mendukung Upaya Pertahanan Negara. Meski bersifat sukarela, kebijakan ini menuai banyak pertanyaan.
Komponen Cadangan sendiri merupakan "Sumber Daya Nasional yang telah disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan Komponen Utama". Artinya, semua sumber daya yang dimaksudkan menjadi pelengkap bagi sistem pertahanan (TNI) yang sudah ada. Komponen Cadangan sendiri sebenarnya bukan wajib militer karena ia bersifat sukarela, dan semua Warga Negara Indonesia bisa mendaftar.
Setelah mendaftar, PNS harus mengikuti seleksi administrasi dan uji kompetensi untuk bisa memenuhi syarat. Bagi mereka yang memenuhi syarat akan mengikuti pelatihan militer selama 600 jam atau tiga bulan. Para peserta Komponen Cadangan juga akan tetap menerima gaji, uang saku, dan tunjangan. Lalu, apa saja yang akan dilakukan saat pelatihan tersebut? Dilansir Kompas.com, kurikulum pelatihan Komponen Cadangan terdiri dari tiga bidang studi; mental, hukum, dan teknik-taktik militer.
Pembinaan mental mencakup materi pembekalan Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, bela negara, sumpah prajurit, baris-berbaris, hingga kepemimpinan. Kemudian, pembinaan bidang hukum mencakup hukum humaniter dan pengetahuan UU Nomor 23 Tahun 2019. Sedangkan untuk pembinaan bidang teknik dan taktik militer, peserta akan mendapatkan materi dasar menembak, pengetahuan senjata, hingga teknik tempur dasar. Meski tidak bersifat wajib, imbauan bagi para PNS untuk mengikuti pelatihan militer ini menuai kontroversi dan menimbulkan pertanyaan. Apa yang sebenarnya melatarbelakangi munculnya wajib militer sebagai bentuk "bela negara"? Dan seberapa relevankah ini untuk Indonesia?
Membedah Wajib Militer dan Urgensi "Bela Negara"
Arkeolog Nicholas Postgate mengatakan bahwa sistem wajib militer sudah ada sejak pemerintahan Hammurabi (1791 SM) di Babilonia yang disebut dengan ilkum. Di masa ini, Babilonia belum memiliki kelompok prajurit atau militer. Sistem ilkum mewajibkan kaum buruh yang ingin memiliki tanah untuk menukarnya dengan bersedia mengemban tugas militer, satu kepala per rumah.
Namun dalam sejarah modern, Prancis menjadi salah satu negara yang pertama kali mengimplementasikan wajib militer dalam skala nasional. Di masa revolusi Prancis, di bawah kepemimpinan Napoleon Bonaparte, semua laki-laki berumur 18-25 tahun wajib bergabung dalam angkatan darat Prancis untuk mendukung kekuatan tentara. Wajib militer ini mengakibatkan banyaknya tentara Prancis yang tewas, karena ketidaksiapan dan kurangnya kualifikasi untuk bertempur di medan perang. Sejak itu, banyak negara lain mulai memberlakukan wajib militer terutama saat Perang Dunia I dan Perang Dunia II.
Wajib militer sendiri menerima banyak penolakan. Terutama karena sifatnya yang memaksa sehingga dianggap melanggar hak individu. Apalagi, medan perang adalah tempat banyak orang meregang nyawa. Tidak sedikit juga tentara yang akhirnya kabur dari tugasnya karena secara mental tidak siap untuk menghadapi perang. Dalam sejarahnya, wajib militer muncul dalam konteks di mana bangsa-bangsa dunia melakukan penaklukkan atau perang dengan negara lain. Meski dijustifikasi oleh keadaan negara, wajib militer tetap dikritik. Lantas, apa yang melatarbelakangi banyak negara memberlakukan wajib militer di masa sekarang? Dan mengapa Indonesia adalah salah satunya?
Meski banyak diprotes, wajib militer dianggap sebagai tanda rasa nasionalisme dan bentuk pengabdian kepada negara. Salah satu negara yang masih memberlakukan wajib militer adalah Korea Selatan. Semua laki-laki sehat berusia 18-35 tahun wajib mengikuti pelatihan militer selama kurang lebih dua tahun. Kebijakan ini bertujuan untuk mengantisipasi perang dengan Korea Utara yang bisa pecah sewaktu-waktu, walaupun kini berhenti melalui gencatan senjata selama bertahun-tahun.
Dalam pelaksanaannya, wajib militer di Korea Selatan menuai kontroversi. Drama Netflix berjudul D.P. misalnya, mengungkap sisi kelam wajib militer Korea Selatan dengan menggambarkan kekerasan yang terjadi di barak militer hingga depresi yang dialami para peserta wajib militer. Tak hanya Korea Selatan, beberapa negara lain yang juga memberlakukan wajib militer adalah Singapura dan Israel. Di Israel, pemuda yang diwajibkan untuk mengikuti pelatihan militer bukan hanya laki-laki, tapi juga perempuan.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB), Tjahjo Kumolo, mengatakan bahwa alasan di balik himbauan pemerintah agar ASN menjadi Komponen Cadangan adalah sebagai upaya pendisiplinan. Sebab menurutnya, banyaknya ditemukan "penyalahgunaan wewenang, pengguna narkoba, paham radikalisme, dan KKN" di kalangan ASN. Ia menambahkan, ASN harus "disiplin, profesional, taat pada pemerintah, dan harus paham dasar negara". Pernyataan ini semakin memperkuat adanya ideologi bahwa militerisme adalah solusi bagi bermacam-macam permasalahan negara.
Kepada CNN, beberapa PNS mengungkapkan ketidakinginan mereka untuk mendaftar menjadi Komponen Cadangan. Salah satu alasannya, karena mereka tidak memiliki passion untuk menjadi tentara. Selain itu, menurutnya, tak perlu ikut pelatihan militer untuk membela negara. Sebab, membela negara bisa dilakukan melalui berbagai hal, seperti misalnya bekerja sesuai fungsi dan tidak melakukan korupsi.
Banyak negara di Eropa sebenarnya sudah mulai meninggalkan wajib militer, termasuk Prancis. Bryan Caplan, profesor ekonomi dari George Mason University di Amerika Serikat mengatakan, wajib militer adalah bentuk perbudakan atau kerja paksa dalam bentuk pelayanan militer. Dampak dari wajib militer seperti kecacatan atau PTSD pun seringkali harus ditanggung seumur hidup oleh mereka yang menjalaninya. Meski di Indonesia hal ini tidak bersifat wajib, tetap harus ada alasan kuat untuk meminta masyarakat sipil mengikuti pelatihan militer. Selama pertanyaan publik dibalas dengan alasan-alasan normatif seperti "memperkuat pertahanan" dan "pendisiplinan", maka belum ada sebab konkret yang menunjukkan urgensi dari kebijakan ini.