Sekarang ini, cukup marak pemberitaan tentang pembobolan berbagai situs pemerintah, penjualan data, hingga rentannya keamanan di internet, apalagi di Indonesia. Mudahnya masyarakat untuk mengakses dan memasukkan data pribadi ke internet, membuat mereka tanpa sadar menghadapi bahaya cybercrime. Rentannya keamanan yang ada di negara kita ini bisa dibuktikan dengan banyaknya serangan cyber di tahun 2021. Mulai Januari hingga Juli tercatat ada sekitar 700 juta kali kebocoran data. Sayangnya, Indonesia masih kekurangan ahli dalam menangkal cybercrime, padahal teknologi internet semakin berkembang.
Bahkan pada Mei 2021, publik dikejutkan dengan beredarnya kabar bahwa 279 juta data penduduk diperjualbelikan secara online. Tidak lama berselang, sertifikat vaksin Presiden Jokowi pun beredar di internet. Dalam satu tahun terakhir dapat dibuktikan bahwa tingginya tingkat risiko peretasan data di Indonesia masih tinggi dan rawan terjadi. Misalnya saja laporan dari TrendMicro, sebuah perusahaan software keamanan cyber internasional, menyatakan bahwa Indonesia sudah masuk ke level "elevated risk" yang menempatkan negara ini di tingkat risiko ancaman cyber paling tinggi. Indonesia berada di titik Cyber Risk Index -0.12 pada tahun 2021, jauh di bawah jika dibandingkan dengan tahun 2020 yaitu pada 0.26. Serangan cyber yang terjadi akhir-akhir ini menimbulkan pertanyaan apakah Indonesia siap dengan perubahan yang terus terjadi? Apa yang pemerintah bisa lakukan untuk melindungi data penduduknya?
Rentannya peretasan data di Indonesia sudah menjadi kekhawatiran pemerintah sejak awal. Teknologi yang berkembang dan marak dipakai ini, bukanlah produk lokal yang bisa diantisipasi perubahannya dan menanggulangi ancaman-ancaman keamanan yang kerap terjadi. Terkadang pemerintah juga seperti tidak siap dengan apa yang bisa terjadi ke depannya, apalagi kurangnya SDM dalam hal ini membuktikan kurangnya sosialisasi perihal pentingnya ada SDM dalam hal ini. Didirikannya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) pada tahun 2017 lalu pun menjadi salah satu bentuk cara pemerintah memperhatikan permasalahan serangan cyber ini. BSSN mendorong perkembangan SDM untuk meningkatkan keamanan. Pembangunan SDM dapat diwujudkan melalui program-program yang dapat mendukung pengembangan ekosistem ekonomi digital di Indonesia, seperti Literasi Keamanan Siber untuk para pelaku startup e-commerce atau mengedukasi masyarakat tentang kesadaran keamanan data pribadi. Pemerintah Indonesia sendiri juga bekerja sama dengan Kaspersky, salah satu perusahaan keamanan siber multinasional Rusia untuk meningkatkan kemampuan keamanan siber negara dan menolak ancaman yang meningkat.
Selain dampak keamanan, ada berbagai dampak lainnya dengan adanya cybersecurity. Masyarakat tidak lagi percaya untuk memasukkan datanya ke platform online, baik itu e-commerce ataupun website pemerintah. Jika tidak ada kebutuhan atau keharusan, hindarilah menggunakan website-website tersebut karena dikhawatirkan data kamu akan diperjualbelikan. Adanya cybersecurity juga menyebabkan gangguan pada website atau jasa yang harus diakses secara online. Tergantung pada jenis retasannya, interupsi semacam ini bisa mengganggu ekosistem yang sudah ada dan membuat orang-orang yang terkena dampaknya frustrasi. Hal ini pun mendorong semua pihak terkait untuk semakin sadar akan keamanan yang perlu ditingkatkan untuk mengurangi disrupsi semacam ini di kemudian hari. Jika dibiarkan, maka akan sulit untuk mengatasi retasan atau pembobolan yang semakin beraneka ragam ke depannya.
(DIG/DIR)