Insight | Business & Career

Ketika Ageisme Masih Jadi Penghalang Berkarier di Indonesia

Selasa, 10 Sep 2024 19:00 WIB
Ketika Ageisme Masih Jadi Penghalang Berkarier di Indonesia
Ketika Ageisme Masih Jadi Penghalang Berkarier di Indonesia/Foto: Pexels
Jakarta -

Carut-marutnya ekonomi Indonesia selama beberapa bulan terakhir memaksa banyak orang mencari cara untuk mendapatkan pendapatan lebih atau bahkan mulai berkarier di tempat yang baru. Namun sayangnya, ada satu hal yang kerap menjadi penghambat para pencari kerja untuk berkarier di bidang yang mereka inginkan, yakni batasan usia.

Usia Jadi Penghalang Naik Level dalam Berkarier

Pada awal tahun lalu, seorang warga Bekasi, Leonardo Olefins Hamonangan mengajukan gugatan terhadap aturan soal persyaratan usia dalam lowongan pekerjaan. Leonardo membandingkan aturan syarat usia kerja di Jerman, Belanda, dan Indonesia.

"Mengenai batas usia maksimal dalam lowongan pekerjaan di negara Jerman sendiri harus objektif yang jelas dan masuk akal. Kemudian apabila tidak didasarkan tidak masuk akal maka setiap warga negara dapat melakukan gugatan secara perdata," kata Leonardo seperti dikutip dari situs resmi Mahkamah Konstitusi.

Dia pun menggugat untuk pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Menurutnya pasal yang diuji tersebut akan membuka pintu untuk potensi diskriminasi karena pemberi kerja bisa memilih tenaga kerja berdasarkan kriteria yang tidak relevan dan diskriminatif seperti usia, jenis kelamin, atau etnis tertentu.

Namun sayangnya permohonan tersebut ditolak oleh MK karena dianggap tidak berdampak mendiskriminasi seseorang. Sebab, yang termasuk tindakan diskriminasi adalah jika terjadi pembedaan yang didasarkan pada agama, suku, ras, etnis, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, dan keyakinan politik.

Meski begitu, salah satu hakim MK yang menangani gugatan ini, M Guntur Hamzah mengatakan bahwa permohonan pemohon seharusnya dikabulkan sebagian. Jika dilihat dari segi hukum, pasal yang diuji oleh pemohon secara umum memang tidak memiliki persoalan konstitusional, namun kalau dilihat dari kacamata keadilan, norma dari Pasal 35 ayat 1 berpotensi disalahgunakan.

Jadi, butuh penegasan karena sangat bias terkait dengan larangan diskriminatif in case dalam persyaratan lowongan pekerjaan. Guntur mengungkapkan kalau pasal tersebut bisa menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty) bagi para pencari kerja. Khususnya, dalam frasa "merekrut sendiri tenaga kerja yang dibutuhkan" yang diletakkan pada pertimbangan subjektif pemberi kerja.

Hal ini seakan menjadi bukti bahwa ageisme atau umur menjadi sesuatu yang bisa menjadi penghalang dalam berkarier di Indonesia. Lantas, apa yang menyebabkan berbagai perusahaan atau instansi getol mematok umur ketika bekerja di Indonesia? Padahal, negara lainnya justru berlomba-lomba untuk menggaet pekerja.

Faktor Anggaran Jadi Alasan

Dikutip Magdalene, Ketua Bidang Regulasi Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Myra M. Hanartani mengatakan pembatasan usia pelamar kerja ada sebab setiap perusahaan punya karakteristik industri dan kebutuhan pekerja yang berbeda-beda. Lalu, efisiensi waktu dan biaya jadi concern utamanya.

Perusahaan yang punya syarat-syarat jabatan tertentu untuk menentukan pekerja yang ingin mereka gaet. Kalau tidak dibatasi, kemungkinan proses rekrutmen akan berlangsung lama dan biayanya pun membengkak. Pemilihan usia muda para pelamar adalah karena usia 25 tahun merupakan usia yang punya semangat tinggi dan mudah diarahkan ketika mendapatkan tanggung jawab pekerjaan.

Tetapi yang juga menjadi sorotan, para perempuan adalah objek yang paling banyak terpapar ageisme dalam berkarier. CEO National Association of Women Sales Professionals, Cynthia Barnes mengatakan perempuan kerap dihadapkan pada stereotip bias gender tentang status sebagai istri dan ibu.

Perempuan di mata pengusaha, dipandang sebagai sosok yang lekat dengan keluarga. Mereka adalah fondasi dari kerja-kerja perawatan dan domestik. Stereotip ini membentuk pandangan bahwa perempuan di bawah 25 tahun belum serius dengan karier, sedangkan usia 25 hingga 40 tahun berada di tengah-tengah masalah keluarga.

Sehingga tidak heran, bagi perempuan—termasuk saya—sulit untuk mendapatkan kesempatan kerja dan promosi yang sama seperti halnya laki-laki. Bahkan perkara gaji pun, perempuan masih menjadi "kelas dua" yang seakan tidak membutuhkan nominal sebesar laki-laki. Selain itu, perempuan seakan punya "batas" dalam berkarier. Misalnya pascamenikah dan memiliki anak, perempuan berhenti bekerja, lalu ketika ingin memulai kembali, sangat susah karena "batasan" yang dibuat-buat itu.

Sayangnya, usai sidang Leonardo yang menggugat Pasal 35 ayat 1, pasal tersebut masih sama dan tak ada perubahan. Sekarang para pekerja di umur 30-an, dan para perempuan pun harus berjibaku untuk mencari cara menghidupi diri mereka serta keluarga serta berusaha lebih keras lagi untuk mendapatkan pekerjaan dan promosi.

Padahal para pekerja Indonesia bukannya tidak memiliki kemampuan untuk bersaing dengan para ekspatriat dari luar negeri, namun pemerintah sendiri kurang mendukung dan tidak menganggap pembatasan usia ini adalah permasalahan yang fundamental dalam isu lapangan pekerjaan selama ini.

(DIR/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS