Restoran fine dining terbaik di dunia, Noma, akan menutup pintunya mulai tahun 2024. Mereka akan hadir kembali di tahun 2025 sebagai "food lab" yang berfokus pada eksplorasi inovasi gastronomi. Meski tak lagi menawarkan pengalaman dining secara reguler, Noma tetap akan menjangkau para pecinta haute cuisine dengan sesekali mengadakan pop-up. "To continue being Noma, we must change," tulis Noma dalam pernyataan resmi yang diunggah pada Senin (9/1). Masalah keberlanjutan, salah satunya tentang kondisi kerja yang tidak manusiawi, menjadi faktor pendorong di balik keputusan ini.
Sejak didirikan di Copenhagen pada tahun 2003, Noma berhasil memperoleh 3 Michelin star dan dinobatkan sebagai "Best Restaurant in the World" oleh para kritikus. Sosok jenius di balik prestasi ini ialah chef sekaligus co-owner dari Noma, René Redzepi. Melalui inovasi yang dilakukannya—seperti hidangan aged deer tartare atau reindeer brain custard—Redzepi berhasil mendefinisikan ulang makanan lokal Skandinavia dan mempelopori apa yang disebut sebagai "New Nordic". Pengalaman kuliner sekali seumur hidup yang ditawarkan Noma dipatok dengan harga yang cukup mahal, $500 per orang untuk menu multi-course.
Sedih tapi tak terlalu sedih—mungkin inilah yang menggambarkan respons banyak orang terhadap berita ini. Sebab bagaimanapun juga yang paling mungkin merasa kehilangan adalah segelintir pecinta kuliner high-end. Namun, keputusan untuk menutup Noma sebagai restoran juga memberi kesempatan untuk membicarakan masalah yang telah lama menghantui dunia kuliner, yaitu mengenai eksploitasi dan keberlanjutan. Diwawancarai oleh The New York Times, Redzepi mengatakan bahwa tuntutan dan kondisi kerja yang selama ini berlaku di Noma tidak sustainable. "Financially and emotionally, as an employer and as a human being, it just doesn't work," ucapnya. Apa yang sebenarnya terjadi di Noma?
Realita Pekerja Fine Dining
Sudah bukan rahasia lagi kalau bekerja di restoran—apalagi restoran fine dining—memiliki level stres yang tinggi. Di balik makanan seharga ratusan dolar di restoran fine dining, ada keringat dan kerja keras para koki dan staf yang bekerja siang dan malam untuk memberikan pengalaman kuliner terbaik. Sayangnya, level stres yang tinggi tersebut seringkali diperburuk dengan lingkungan kerja yang tidak sehat dan para chef yang memperlakukan pekerja dengan semena-mena.
Noma sendiri pernah menjadi restoran yang memiliki budaya kerja eksploitatif. Sebagai salah satu restoran paling bergengsi di dunia, Noma menjadi incaran para stagiaire atau pekerja magang yang ingin memperoleh pengalaman dan ilmu. Namun, Noma sendiri baru memutuskan untuk memberi upah kepada para pekerja magang pada Oktober 2021. Melansir Bon Appetit, beberapa pekerja magang mengatakan bahwa mereka bekerja 16 jam per hari tanpa dibayar, dilarang tertawa di dapur, dan tak punya kehidupan lain selain di tempat mereka bekerja.
Pada tahun 2015, René Redzepi mengakui bahwa sepanjang kariernya ia kerap menjadi perundung dan memperlakukan bawahannya secara semena-mena. Redzepi juga mengatakan bahwa ia harus menjalani banyak sesi terapi agar tidak lagi menjadi toxic chef. Meski Redzepi tidak sempurna, tapi self-awareness yang dimilikinya—sebagai chef maupun sebagai pemilik Noma—adalah sesuatu yang langka di dunia fine dining.
Fenomena yang Dianggap Wajar
Pada kenyataannya, toxic kitchen culture telah menjadi fenomena yang dianggap normal dan dipandang sebagai suatu keniscayaan. Hannah Selinger, mantan pekerja Momofuku—noodle bar yang didirikan oleh David Chang—mengaku bahwa ia masih memiliki trauma karena bekerja di bawah Chang. Menurutnya, Chang memiliki anger issue yang seringkali dilampiaskan kepada orang-orang yang bekerja di bawahnya. "The anger was always framed as a means to an end, part of Chang's quest to create 'the perfect restaurant'," tulis Selinger.
Sayangnya, budaya yang tidak sehat ini juga dimaklumi oleh para pekerja sendiri, sebab mereka merasa kondisi ini adalah satu-satunya jalan untuk meniti karier di industri kuliner yang kompetitif. Melalui sebuah esai di Eater, seorang mantan pekerja industri kuliner merefleksikan apa yang membuat para pekerja sulit untuk speak up mengenai kondisi yang mereka alami. Menurutnya, hal ini dikarenakan para pekerja di restoran merasa mereka tidak berdaya dan tidak memiliki pilihan. Sebab, karier mereka sepenuhnya bergantung pada chef-chef ternama yang menjadi atasan sekaligus mentor mereka. Sehingga pada akhirnya, budaya dan perilaku yang toxic di dapur menjadi kewajaran yang bebas dari pengawasan dan akuntabilitas.
Langkah yang dilakukan oleh Noma seharusnya bisa menjadi peringatan—bahkan contoh—bagi dunia kuliner, terutama fine dining. Keputusan Noma untuk berubah dari restoran menjadi food lab memang tidak akan secara otomatis menghapus semua permasalahan, tapi setidaknya pernyataan Redzepi membuktikan bahwa masih ada chef yang memiliki kesadaran dan mau mengambil langkah untuk berubah. Lagipula, bagi restoran fine dining yang menyajikan makanan dengan harga ratusan dolar, memberi upah yang layak dan menciptakan lingkungan kerja yang sehat seharusnya bukanlah hal yang mustahil.
Menyantap hidangan lezat yang disiapkan dengan sepenuh hati oleh orang-orang yang memahami seni memasak, sejatinya bisa menjadi pengalaman yang memantik kenikmatan dan kebahagiaan. Namun sungguh ironis, apabila restoran yang bertekad membuat para pengunjung bahagia justru malah menjadi mimpi buruk bagi para pekerjanya.
(ANL/alm)