Beberapa waktu yang lalu, istilah quiet quitting viral di media sosial. Quiet quitting sendiri merupakan fenomena di mana pekerja memutuskan untuk bekerja secukupnya, sesuai porsi dan upah. Sebagai konteks, fenomena ini muncul sebagai penolakan terhadap budaya kerja overworked yang menimbulkan pekerja mengalami burnout. Tak mau kalah, muncul istilah baru yaitu quiet firing. Apabila quiet quitting dilakukan oleh pekerja, maka quiet firing dilakukan oleh manajemen perusahaan.
Quiet firing adalah strategi "memecat diam-diam" yang dilakukan oleh perusahaan. "Memecat diam-diam" di sini maksudnya adalah perusahaan tidak ingin mempekerjakanmu lagi, tapi tak ingin melakukan pemecatan sehingga pegawai yang didorong untuk resign. Biasanya hal ini dilakukan dengan menciptakan lingkungan kerja yang tidak ideal atau membuat pegawai merasa inkompeten, terisolasi, atau kurang diapresiasi. Sehingga, para pegawai akhirnya memiliki keinginan untuk resign.
Namun, apakah quiet firing adalah fenomena yang nyata atau hanya sekedar istilah yang viral di media sosial? Dalam sebuah polling yang dilakukan oleh LinkedIn News, sebanyak 48 persen dari 20.077 responden menjawab mereka pernah melihat fenomena ini di tempat kerja. Sedangkan 35 persen menjawab mereka pernah mengalami quiet firing. Artinya, quiet firing adalah fenomena yang benar-benar terjadi dan dirasakan oleh banyak pekerja.
Lantas, bagaimana cara mendeteksi quiet firing? Melansir Forbes, beberapa tanda-tanda quiet firing di antaranya adalah:
Ilustrasi resign/ Foto: Freepik |
Proyek-proyek yang biasanya kamu kerjakan dialihkan ke orang lain
Masing-masing pekerja biasanya sudah memiliki job desk yang disesuaikan dengan keahlian yang dimilikinya. Namun, apabila atasanmu tiba-tiba mengalihkan pekerjaanmu ke orang lain atau bahkan mengurangi beban kerjamu tanpa memberi alasan yang jelas, itu tandanya posisimu mulai digeser atau dihilangkan.
Beban kerjamu meningkat sampai tidak realistis
Sebaliknya, tanda quiet firing juga bisa muncul ketika atasanmu memberi beban kerja yang tidak realistis dan sulit untuk diselesaikan. Beban kerja yang tidak masuk akal mungkin sudah banyak terjadi di perusahaan yang mengglorifikasi overwork, akan tetapi bila hal ini hanya terjadi kepadamu maka saatnya untuk mewaspadai quiet firing. Dengan memberi jumlah beban kerja yang ekstrem, karyawan akan merasa frustrasi dan ingin berhenti.
Kamu tidak dilibatkan dalam percakapan penting mengenai pekerjaanmu
Tanda quiet firing penting lainnya adalah atasanmu dengan sengaja tidak melibatkanmu dalam segala bentuk komunikasi yang bersangkutan dengan pekerjaanmu. Misalnya, kamu tidak diajak ikut meeting atau kamu tidak mendapatkan email yang berhubungan dengan pekerjaan sedangkan kolegamu yang lain mendapatkannya.
Ilustrasi quiet firing/ Foto: Freepik |
Atasanmu kerap menghindar ketika diajak berdiskusi
Salah satu kondisi kerja yang ideal adalah diskusi yang lancar antara atasan dan bawahan, baik itu berdiskusi mengenai pekerjaan, berdiskusi mengenai perkembangan karir, atau mengevaluasi pekerjaan. Biasanya, proses ini dilakukan melalui sesi one on one. Akan tetapi apabila kamu tidak pernah diajak berdiskusi, atau justru atasanmu menghindar ketika diajak berdiskusi, maka itu adalah red flag.
Atasanmu tidak pernah memberi feedback
Mendapatkan feedback adalah sesuatu yang diinginkan oleh setiap pegawai. Baik itu feedback positif yang mengapresiasi hasil kerja, atau feedback negatif yang membantumu mengevaluasi hasil kerja. Namun ketika atasanmu tak acuh terhadap hasil kerjamu dan tak pernah memberi feedback, itu bisa menjadi pertanda bahwa mereka sudah tak peduli lagi dengan kinerjamu dan akan melakukan quiet firing.
Fenomena quiet firing sering dikaitkan dengan atasan atau perusahaan yang toksik. Dari sisi pekerja, hal ini mungkin benar adanya. Tapi, quiet firing tidak sesederhana itu. Ada hal-hal lain yang mungkin menyebabkan quiet firing. Salah satunya, yaitu ketika pegawai memberikan kinerja yang buruk dan tidak menunjukkan peningkatan walau sudah diajak berdiskusi atau ditegur. Akhirnya, pihak perusahaan pun mendorong pegawai untuk resign dengan sendirinya.
Ilustrasi mengundurkan diri/ Foto: Freepik |
Selain itu, penyebab lain di balik quiet firing adalah apabila perusahaan ingin memecat pegawai namun tidak ingin terikat pada kewajiban-kewajiban legal dalam proses pemecatan. Dengan mendorong pegawai untuk berhenti dengan sendirinya, perusahaan terhindar dari kewajiban-kewajiban seperti misalnya memberi pesangon. Atau, perusahaan bisa saja mendapat tuntutan hukum karena melakukan PHK secara sepihak. Dengan melakukan quiet firing, perusahaan tidak harus memenuhi hal-hal ini.
Apapun alasannya, quiet firing adalah praktek yang problematik. Apabila perusahaan sudah tidak ingin mempekerjakan pegawainya, sebaiknya dibicarakan saja dengan terbuka apa alasannya-alih-alih memanipulasi pekerja untuk resign dengan sendirinya.
(ANL/DIR)