Britania Raya diselimuti duka pasca kepergian Ratu Elizabeth II. Selama 70 tahun, sosoknya telah menjadi wajah monarki negara tersebut. Di bawah kepemimpinannya, Britania Raya telah melewati berbagai peristiwa bersejarah. Dari semua konflik yang telah dilalui, mahkota ratu tetap berdiri tegak dan menjadi simbol stabilitas. Banyak yang bertanya-tanya, bagaimana nasib Britania Raya pasca kepergian sang ratu.
Kondisi ekonomi Britania Raya pun menjadi sorotan, terutama di masa transisi ini. Untuk menghormati prosesi kepergian Ratu Elizabeth, Britania Raya memasuki National Mourning Period. Dalam periode berkabung ini, sebagian besar kegiatan ekonomi dan diplomasi negara akan terhenti hingga sang ratu dimakamkan pada tanggal 19 September.
Sebenarnya dalam panduan resmi mengenai protokol selama periode berkabung, tak ada kewajiban bagi bisnis, organisasi, ataupun event untuk menghentikan kegiatannya. Namun, mereka dianjurkan untuk menutup kegiatan di hari pemakaman. Meski demikian dalam rangka menghormati kepergian sang ratu, kegiatan parlemen dan Bank of England memutuskan untuk menunda kegiatannya selama satu minggu. Tak hanya itu, event olahraga seperti Premier League juga ikut tertunda.
Masalahnya, kepergian Ratu Elizabeth dan periode berkabung ini terjadi di momen ketika Britania Raya masih menghadapi inflasi. Dilansir Reuters, Bank of England sebelumnya dijadwalkan akan mengumumkan penyesuaian suku bunga untuk mengatasi inflasi yang mencapai angka 10.1 persen pada bulan Juli kemarin. Angka ini merupakan yang tertinggi selama 40 tahun terakhir. Namun akibat periode berkabung, pengumuman Bank of England ditunda selama seminggu.
Keputusan untuk menunda semua kegiatan ekonomi sampai Ratu Elizabeth dimakamkan pun menuai berbagai respons. Pasalnya, banyak juga yang mempertanyakan apakah keputusan ini bijaksana, melihat Britania Raya sedang menghadapi krisis. Situasi ini membuat banyak warga cemas dan khawatir negaranya akan memasuki resesi.
Sementara itu, Gubernur Bank of England, Andrew Bailey membela keputusan institusinya dengan mengatakan, "Yang menentukan apakah Britania Raya akan memasuki resesi adalah Vladimir Putin dan bukan Komite Kebijakan Moneter." Memang, kebijakan Rusia untuk memberhentikan suplai gas ke Eropa turut mempengaruhi kondisi ekonomi negara tersebut.
Meski demikian, langkah untuk menunda kegiatan ekonomi ini dinilai akan memperlambat langkah pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi yang terjadi. Di masa genting seperti ini, tak heran apabila warga Britania raya diliputi rasa was-was.
(ANL/DIR)