Kita hidup di zaman yang cukup membingungkan; sial memang, saat ini berutang lebih mudah daripada mencari uang itu sendiri. Belum lama, swafoto bersama KTP sudah cukup memodali ongkos party bersama bestie. Sedang kemarin lusa seakan melebarkan sayap perutangan, Pemerintah Indonesia melalui PP Nomor 24 Tahun 2022 tentang Ekonomi Kreatif menjelaskan bahwa konten YouTube juga diizinkan sebagai jaminan pinjaman bank maupun non-bank.
Bisa dikatakan, keadaan ini problematis dan memuat dilema. Entah dipermudahnya proses berutang menjadi kemujuran tersendiri di masa yang dipenuhi segudang pekerja kreatif, atau malah jadi bibit-bibit petaka bagi gen Z, yang ironisnya terhimpit ketatnya persaingan dunia kerja, namun diberikan banyak opsi dan kesempatan dalam berutang.
Ilustrasi konten YouTube/ Foto: Pexels |
Meskipun demikian, agaknya pemerintah mencoba bersikap "visioner" dalam menunjang kebutuhan rakyatnya yang memang belakangan gemar bercita-cita dan berprofesi sebagai pelaku ekonomi kreatif, tidak terkecuali YouTuber. Apalagi, dengan adanya migrasi kelompok selebritis layar kaca ke YouTube, secara langsung atau tidak, turut menjanjikan pundi-pundi lumayan yang bisa diperoleh masyarakat lewat YouTube.
Walaupun pada akhirnya tidak semua orang mujur di sana, konten YouTube telah membuka celah baru bagi masyarakat dalam menghasilkan uang lebih-dan dibantu dengan aturan baru pemerintah Indonesia yang memperbolehkannya sebagai jaminan dalam berutang. Mudahnya, selain bisa meraup untung dari konten yang tentatif nilainya, masyarakat atau dalam hal ini konten kreator, bisa menghadirkan sejumlah uang yang lumayan dengan menggadai konten atau karya itu sendiri.
Ilustrasi YouTube/ Foto: Pexels |
Konten sebagai Penjamin utang?
Sejak menghebohkan di pertengahan Juli lalu, peraturan yang ditetapkan pemerintah soal konten sebagai penjamin utang terus dipersoalkan masyarakat, terutama soal syarat dan ketentuan. Sementara itu, Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly, menjelaskan, aturan ini sengaja dibuat sebagai skema pembiayaan bagi pelaku ekonomi kreatif.
"Peraturan ini mengatur di antaranya terkait skema pembiayaan yang dapat diperoleh oleh pelaku ekonomi kreatif melalui lembaga keuangan bank maupun non bank yang berbasis kekayaan intelektual," kata Yasonna seperti dikutip dari YouTuber DJKI Kemenkumham (21/7). Menkumham sendiri memberi contoh, konten yang telah diunggah ke YouTube dan banyak ditonton, maka sertifikatnya dapat dijadikan jaminan utang di bank.
Ilustrasi pinjaman utang/ Foto: Veectenzy |
"Jadi kalau kita mempunyai sertifikat kekayaan intelektual, atau merek kah, atau hak cipta kah, hak cipta lagu kah, kalau sudah lagu kita ciptakan masuk ke YouTube. Kalau sudah jutaan viewers, itu sertifikatnya sudah mempunyai nilai jual. Kalau kita tiba-tiba membutuhkan uang kita bisa gadaikan di bank," tambah Yasonna menjelaskan.
Wacana konten YouTube sebagai penjamin utang nyatanya akan melibatkan banyak pihak. Mulai dari konten kreator itu sendiri, bank sebagai pemberi utang, hingga Dirjen Kekayaan Intelektual. Untuk itu, Yasonna Laoly memperjelas, "Peraturan tersebut juga mensyaratkan bahwa kekayaan intelektual harus dicatatkan di Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual."
"Nantinya lembaga keuangan akan menentukan nilai kekayaan intelektual, semakin tinggi value dan potensi ekonomi dari karya cipta, merek, atau paten yang dimiliki tersebut maka nilai pinjaman yang diberikan pun akan semakin besar," sambung Yasonna.
Ilustrasi pinjaman dari bank/ Foto: Veectenzy |
Kasarnya, setiap konten atau karya yang hendak dijadikan jaminan utang wajib memiliki sertifikat kekayaan intelektual, atau merek, atau hak cipta, atau paling tidak telah diunggah ke platform tertentu-seperti YouTube. Setelah itu, barulah nilai pinjaman akan ditaksir oleh lembaga keuangan sesuai value dan potensi ekonomi karya atau konten tersebut.pp
Akhirnya, jika memang konten YouTube bisa dijadikan jaminan utang, akankah hal ini akhirnya menjadi keuntungan yang mempermudah kebutuhan masyarakat sebagai salah satu manfaat ihwal sistem pencicilan dan perutangan? Atau pada satu titik tertentu, akankah hal ini justru merugikan bagi kreator? Jawabannya akan datang beberapa saat di masa depan, usai kebijakan ini benar-benar diterapkan dengan segala syarat dan konsekuensinya yang perlu lebih diperjelas.
(RIA/DIR)