Dunia pekerjaan dibuat jungkir balik semenjak COVID-19 melanda. Hal ini terlihat dari gaya bekerja yang terus-menerus berubah dan menyesuaikan. Mulanya, pegawai kantoran dipaksa untuk beradaptasi kerja dari rumah (WFH). Lambat laun, usai suka-duka WFH bisa diterima dengan damai dan nyaman oleh kaum pekerja, pelana kasus COVID-19 yang melandai mengharuskan mereka untuk kembali WFO.
Tak pelak, situasi ini membuat sebagian para pekerja modern berpikir ulang, sambil merasa enggan kembali ke kantor yang dicap old school. Apalagi faktanya, produktivitas dan efektivitas kinerja tetap bisa dipertahankan walaupun tanpa kehadiran offline, meski terlalu lama WFH pun turut menimbulkan kejenuhan.
Oleh sebab itu, sebagian pekerja lainnya menganggap bahwa ke kantor tetaplah diperlukan agar pola hidup menjadi seimbang. Tentu dengan catatan: tidak perlu setiap hari atau seketat aturan yang berlaku sedia kala. Alasannya, karena WFO tak selamanya menguntungkan, terlebih lagi ada cost dan effort tersendiri dari pekerja yang perlu dikeluarkan pada praktiknya.
Secara tidak langsung, kita mulai membaca gestur "WFH segan, WFO tak mau," dari para pekerja, yang pada akhirnya memunculkan suatu gagasan baru: Work From Anywhere atau gaya kerja hybrid. Hal ini mengartikan para pekerja dapat bebas memilih bekerja entah dari kantor, rumah, atau dari mana pun, sesuai dengan kebutuhan pekerjaan.
Kendati demikian, beragamnya preferensi gaya bekerja barusan kembali menghadirkan sebuah pertanyaan besar seputar dampak gaya kerja masing-masing terhadap kesehatan mental para pekerja yang kurang lebih mampu mempengaruhi efektivitas dan produktivitas kinerja para pegawai. Jadi, yang mana yang lebih baik? Tetap WFH, kembali WFO, atau WFA?
Kata Para Pekerja Soal WFH, WFO, dan WFA
Bagi Iwan Sudrajat (36), kodrat bekerja adalah di kantor. "Syukur ya, udah WFO lagi. Jadi nggak sumpek kelamaan di rumah," katanya yang telah 15 tahun menjadi PNS. "Enakan juga begini. Biar pake kemeja dari pagi sampai sore, di rumah kita tinggal ngurus burung sama istri," sambung Iwan sambil terkekeh.
Senada dengan Iwan, WFO juga lebih menenangkan bagi Elka Mitra (28), Ibu rumah tangga merangkap akuntan. "Kalau WFH, ya, campur aduk. Buka laptop sambil ngurus anak ternyata nggak seindah yang dibayangkan gitu," jelasnya. Perkara rumah tangga memang tidak pernah sepele, sebab ada tekanan lebih ketika menuntaskan deadline sambil mengurus rumah.
Meski demikian, Elka juga tidak menyangkal bahwa beberapa kali WFH dalam seminggu cukup membuatnya lebih lega. "Jadi, kan lebih fleksibel gitu. Pas di kantor saya bisa ngebut ngelarin kerjaan. Sisanya di rumah, tinggal keep in touch sambil main sama anak," tandasnya.
Sementara untuk Dinda Ashari (24), ia lebih prefer WFH. "Mungkin ya, karena gue dari awal kerja udah WFH, jadi ke kantor tuh kayaknya, nggak perlu-perlu amat," ungkapnya. Bagi pekerja kreatif ini, pergi kantor sama dengan ada effort dandan yang melelahkan plus ada perjalanan panjang yang menguras pengeluaran .
"Kalo WFO tuh, lebih capek nggak, sih? Secara kan rumah gue di pinggiran (Bogor) dan kantor gue ada di Jaksel. Nah, kalo WFH kan, gue nggak perlu ngongkos. Lebih ke irit gitu, ya, kan?" tambah Dinda. Semenjak bekerja remote diterapkan, teknologi memang cukup menopang kebutuhan pekerjaan. Secara tidak langsung, hal ini mengaminkan fleksibilitas dalam bekerja yang selama ini didambakan.
Sedangkan menurut Raihan Akbar (25), yang berprofesi sebagai desainer lepas, fleksibilitas dalam bekerja justru menjadi kunci produktivitasnya. "Kantor, Rumah, Coffee Shop, atau Bali, kayaknya sama aja, deh. Kerja kan bisa dari mana aja. Lagian yang penting kan, kerjaan beres," ungkapnya santai.
***
Perubahan-perubahan fundamental memang terjadi sejak pandemi. Oleh karena itu, beradaptasi dengan baik dengan situasi yang ada merupakan jalan satu-satunya. Apalagi dari sudut pandang perusahaan, aturan bekerja adalah hal saklek yang mau tidak mau dihidupi para pekerja, terlepas dari hasrat bekerja masing-masing.
Singkatnya, fenomena yang kita hadapi sekarang menyadarkan kita semua untuk lebih bijak dalam memilih pekerjaan sesuai preferensi gaya bekerja masing-masing. Sehingga, keluhan demi keluhan seusai ngantor di warung kopi bisa berbuah solusi, dan kejenuhan bekerja dari rumah tidak perlu terus dipersoalkan dengan pasangan.
Kemudian, kesadaran smart working, yaitu tetap bertanggung jawab atas pekerjaan meski tanpa kehadiran juga terus meningkat. Akhirnya, WFO tidak lagi menjadi wajib, WFH bisa menjadi pilihan, dan WFA tetap menunjang performansi pekerjaan. Kalau kamu sendiri, lebih suka WFH, WFO, atau WFA? Apapun pilihannya, jangan sampai lalai sama tanggung jawab, ya!