Baru-baru ini, ramai dibicarakan kasus pidana yang menjerat influencer bernama Indra Kenz. Indra Kenz ditangkap karena afiliasinya dengan Binomo, aplikasi judi online ilegal yang berkedok sebagai binary option. Ia ditangkap setelah delapan orang korban Binomo melaporkannya ke kepolisian atas dugaan penipuan. Para korban ini merugi hingga 3,8 miliar, mereka mengaku termakan konten-konten promosi Indra Kenz di media sosial yang menyebutkan bahwa Binomo adalah aplikasi legal dan resmi di Indonesia. Indra Kenz pun terancam dijerat pasal tindak pidana judi online, tindak pidana penyebaran hoaks, dan tindak pidana pencucian uang.
Ini bukan pertama kalinya influencer terjerat kontroversi. Sebelumnya, influencer telah berkali-kali menjadi sasaran amukan netizen. Salah satunya, ketika beberapa influencer meng-endorse Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja di Instagram mereka. Padahal, Omnibus Law mendapat banyak penolakan dari masyarakat. Para influencer ini mengunggah konten dengan tagar #IndonesiaButuhKerja. Salah satu selebriti yang mengunggah konten ini, Ardhito Pramono, mengaku ia tidak tahu kalau tagar itu berkaitan dengan Omnibus Law. Meski begitu, Ardhito dan selebriti lainnya meminta maaf atas ketidaktahuan mereka.
Ilustrasi influencer/ Foto: Plann/Pexels |
Kasus Indra Kenz dan Ardhito berbeda, kasus Indra Kenz berujung pada pidana sedangkan kasus Ardhito berujung pada sanksi sosial. Di kasus Binomo, para influencer diduga ikut meraup untung dari kerugian yang dialami para korban. Sehingga, ada indikasi kesengajaan dalam kasus penipuan. Sedangkan, dalam kasus Omnibus Law para influencer mengaku tidak tahu-menahu dan tidak bermaksud untuk merugikan audiens.
Meski demikian, kedua kasus berujung pada perdebatan mengenai apakah influencer seharusnya memiliki tanggung jawab atas konten-konten promosi yang mereka unggah. Dari segi kebijakan, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur influencer dan endorsement yang dilakukan mereka. Regulasi paling relevan dalam kasus ini hanya bisa ditemukan dalam UU Konsumen No. 8 Tahun 1999. Di sini, tertuang pasal yang mengatur hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang atau jasa.
Ilustrasi influencer/ Foto: Ivan Samkov/Pexels |
Masalahnya, influencer memiliki posisi yang cukup unik sebagai pengiklan. Mereka berbeda dari selebriti tradisional yang secara terang-terangan dibayar untuk menjadi bintang iklan. Di sini, bentuk promosi yang dilakukan adalah dengan mengunggah konten di akun media sosial mereka masing-masing. Begitu mereka mendapat brief dari pelaku usaha, dan mereka telah membuat konten sesuai brief, maka kewajiban mereka telah usai. Sedangkan setelahnya, apakah konten mereka berdampak baik atau buruk, menjadi perkara etika dan moral.
Lantas, apakah influencer seharusnya memiliki tanggung jawab moral, meski ia bukan peraturan tertulis yang tertuang di dalam kontrak kerja?
Influencer/ Foto: Ivan Samkov/Pexels |
Membicarakan moral tak akan ada habisnya, sebab ia adalah perkara yang subyektif. Namun terlepas dari perdebatan yang ada, influencer yang tidak memiliki moral sense atau tanggung jawab sosial terbukti akan merugikan banyak orang. Tentu saja, membicarakan moral pasti tak ada habisnya. Tapi setidaknya, influencer harus bisa memahami bahwa konten yang mereka unggah pasti memiliki dampak terhadap orang-orang yang mengkonsumsinya. Selain itu, kita sebagai konsumen juga harus lebih berhati-hati. Tak semua yang dikatakan influencer harus diikuti, sebab telah terbukti bahwa tak semua influencer memberikan good influence.
(ANL/MEL)