Pasca keberhasilan Ghozali Everyday menjual swafotonya seharga miliaran rupiah, Non-Fungible Token (NFT) semakin menarik banyak perhatian masyarakat Indonesia. Dalam waktu singkat, masyarakat ramai-ramai terjun ke dunia NFT dan menjual segala sesuatu. Permasalahannya, pemahaman masyarakat mengenai karya NFT yang layak jual, cenderung miskonsepsi.
Pada awalnya, NFT hadir sebagai ruang alternatif bagi para seniman dalam menawarkan karya-karya mereka. Oleh karena itu, penggiatnya lebih banyak memproduksi konten-konten estetis-berupa karya visual atau audio visual. Meskipun begitu, momentum selfie miliaran rupiah Ghozali, justru mengawali kesalahpahaman masyarakat awam mengenai NFT.
Belakangan, salah satu lokapasar NFT, OpenSea, diserbu 'pemain baru' dengan menjual karya-karya fisik seperti pakaian, makanan, atau bahkan identitas diri. Kebanyakan masyarakat menganggap NFT merupakan aktivitas jual beli digital biasa. Padahal sejatinya, NFT memperjualbelikan token digital yang terhubung pada suatu karya seni-di suatu blockchain, yang menjamin keaslian suatu karya dan hak-hak para pemegangnya.
Hal ini sepertinya terjadi karena orang-orang hanya melihat sisi ekonomis dari selfie sensasional Ghozali. Padahal jika ditelaah lebih dalam, selfie yang dijual tersebut merupakan karya pembeda di dunia NFT yang juga dianggap memiliki unsur seni dibelakangnya.
Secara harfiah, NFT berarti token yang tak tergantikan. Artinya, segala karya yang diunggah sebagai NFT akan terus eksis di dalam sebuah blockchain, dan tidak bisa terhapus. Hal ini dianggap memfasilitasi para pelaku seni, namun sebaliknya, jika masyarakat-yang kurang mengerti-malah menjual identitas diri, maka penggunaan NFT terbukti salah kaprah.
Melansir detik, penjualan foto dokumen kependudukan yang berisi identitas pribadi penduduk, baik sebagai NFT atau bukan, menurut Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Dukcapil Kemendagri), Prof. Zudan Arif Fakrulloh, kegiatan itu adalah hal yang melanggar hukum dan pelakunya bisa diancam dengan hukuman pidana.
"Foto dokumen kependudukan yang berisi data-data pribadi dan sudah tersebar sebagai NFT itu, akan sangat memicu terjadinya fraud/penipuan/kejahatan, dan membuka ruang bagi 'pemulung data' untuk memperjual-belikannya di pasar underground," ujar Zudan.
Ia menambahkan terdapat ancaman pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak satu miliar rupiah, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 96 dan Pasal 96A Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013. Sampai di sini, selain salah kaprah; merugikan diri sendiri; dan melanggar hukum; mengunggah foto identitas pribadi ke NFT merupakan langkah berbahaya, merugikan, melanggar hukum, dan sepenuhnya berbanding terbalik dengan kesuksesan selfie Ghozali.
(RIA)