Pernah mendengar tentang istilah ekonomi gig? Penjelasan sederhananya, dalam ekonomi gig, terjadi pergeseran dari bentuk kerja tradisional ke kerja yang lebih fleksibel. Berbeda dari konsep kerja tradisional di mana orang-orang bekerja untuk satu perusahaan dan menjadi karyawan tetap, di sini para pekerja mengambil kontrak jangka pendek dan tidak terikat pada satu perusahaan saja.
Pada dasarnya, status mereka adalah pekerja kontrak independen atau freelancer. Mereka bisa memutuskan kapan dan di mana mereka bekerja, serta seberapa banyak beban kerja mereka. Kebebasan dan fleksibilitas menjadi dua kata kunci utama yang menjadi kekuatan dari ekonomi gig. Mereka tidak harus terjebak dalam struktur kerja yang kaku; pergi ke kantor, masuk jam 9 pulang jam 5, dan berpakaian menggunakan dresscode yang ditentukan kantor.
Fleksibilitas ini bukan hanya menguntungkan pekerja, tapi juga pemberi kerja. Sebab, perusahaan tidak perlu mengeluarkan modal besar untuk menyewa lahan kantor dan bisa menghemat waktu dengan menyewa pekerja lepas. Selain itu, para pemberi kerja juga tak harus khawatir dengan pekerja "kutu loncat" yang hanya bertahan sebentar dan kerap berpindah-pindah. Dengan menyewa pekerja lepas, mereka bisa menghemat uang dan tenaga untuk mengatasi pergantian pekerja yang bisa menyebabkan ketidakstabilan dalam organisasi perusahaan.
Oleh karena fleksibilitas dan kebebasan yang ditawarkan itu, jumlah pekerja lepas semakin meningkat di berbagai belahan dunia. Di Amerika Serikat, jumlah pekerja lepas menyumbang sebesar 35 persen dari keseluruhan angkatan kerja. Di Indonesia, pada tahun 2019 terjadi peningkatan tenaga kerja lepas sebanyak 16 persen. Hal ini menunjukkan, sekarang banyak orang lebih memilih menjadi pekerja lepas, terutama generasi Z.
Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh The Workforce Institute, 53 persen Gen Z mengatakan mereka akan lebih memilih full-time gig work daripada pekerjaan tradisional, alasannya karena menjadi pekerja lepas bisa mendapatkan lebih banyak kebebasan dan jadwal yang lebih fleksibel. Di samping itu, narasi bahwa ekonomi gig merupakan kesempatan besar bagi angkatan kerja baru gagal mempertimbangkan adanya kelas di antara para pekerja. Padahal, pekerja lepas tak bisa diseragamkan.
Menurut Anthony Hussenot, profesor Université Nice Sophia Antipolis (UNS), pekerja lepas mencakup tiga lapisan kelas. Kelas paling atas merupakan pekerja kreatif yang sudah mapan dan memiliki portofolio klien yang ekstensif, seperti arsitek, web designers, bloggers, dan influencers. Lalu ada kelas prekariat, yaitu mereka yang mengambil pekerjaan lepas untuk menambah pendapatan dan biasanya sudah memiliki pekerjaan tetap. Biasanya pekerjaan yang diambil adalah pekerjaan kasar yang tidak memerlukan keahlian, dengan jam kerja yang panjang dan gaji yang rendah. Di antara kelas kreatif dan kelas prekariat, ada kelas menengah yang mengambang; mereka yang mendapat penghasilan biasa-biasa saja tapi passion-nya terpenuhi dengan pekerjaan mereka.
Meski demikian, ekonomi gig tak lepas dari masalah, salah satunya risiko iklim kerja yang lebih eksploitatif. Sebab, fleksibilitas dan kebebasan yang mereka dapatkan belum tentu berbanding lurus dengan pendapatan yang tinggi dan jaminan keamanan kerja. Misalnya, kerentanan yang dialami oleh para driver ojek online. Para driver yang dikontrak secara tidak tetap ini disebut sebagai "mitra".
Menurut Arif Novianto, peneliti di Magister Administrasi Publik UGM, status "mitra" justru dimanfaatkan oleh perusahaan ojek online untuk menghindari kewajiban perusahaan dalam memberikan jaminan keamanan kerja; mulai dari jaminan upah minimum, jaminan kesehatan, upah lembur, hingga jam kerja layak. Dalam kasus ini, status independen justru menjadi senjata bagi perusahaan untuk tidak memenuhi hak-hak pekerja.
Di samping itu, narasi bahwa ekonomi gig merupakan kesempatan besar bagi angkatan kerja baru gagal mempertimbangkan adanya kelas di antara para pekerja. Pekerja lepas tak bisa diseragamkan. Selain itu, tak semua orang menjadi pekerja lepas karena ingin mengejar passion, ada juga yang mengembannya karena tuntutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun, tak semua orang bisa memenuhi kebutuhannya dan meraih kesuksesan melalui ekonomi gig. Meski ia menawarkan fleksibilitas, tapi kebebasan yang datang bersamanya belum tentu bisa memberikan stabilitas yang kita butuhkan.