Peristiwa buruk yang kamu alami sewaktu kecil bisa menjadi beban emosional yang akan kamu bawa sampai dewasa. Trauma--sebagaimana ia mempengaruhi relasimu dengan dunia sekitar-juga akan berpengaruh ketika kamu masuk ke dunia kerja.
Menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC), trauma masa kecil sudah menjadi isu kesehatan masyarakat lantaran bisa menyebabkan dampak kesehatan yang berkepanjangan bagi orang-orang yang mengalaminya. Mereka yang mengalami peristiwa buruk (dan trauma karenanya)--seperti penelantaran, penyiksaan, atau menyaksikan kekerasan, lebih rentan terhadap kejadian-kejadian buruk lainnya dalam hidup.
Meski trauma bersifat personal, tapi dampaknya bisa menjalar ke mana-mana. Pengalaman traumatis bisa menjadi hambatan bagi seseorang untuk berfungsi dalam kehidupan sehari-hari; seperti misalnya mengalami fatigue, menurunnya daya ingat, susah berkonsentrasi, rendahnya skill interpersonal, ketidakmampuan menjalin relasi, hingga ketidakmampuan untuk menyelesaikan masalah. Oleh sebab itu, trauma bisa menghalangi seseorang untuk bisa seutuhnya menjadi bagian dari masyarakat.
Trauma masa kecil adalah beban yang dibawa oleh anak muda di saat mereka sedang berusaha menemukan dirinya sendiri. Trauma yang terlanjur membentuk diri mereka ini, bisa menjadi hambatan ketika mereka menavigasi karier dan dunia kerja. Tanpa dukungan, dunia kerja berpotensi menjadi neraka kedua yang melanggengkan trauma mereka. Padahal, anak muda berhak mendapatkan kesempatan untuk sembuh dari traumanya, dan kesempatan untuk membangun dirinya kembali di lingkungan yang sehat.
Kita tidak pernah tahu sedalam apa trauma masa kecil yang dimiliki seseorang. Oleh karenanya, penting bagi tempat kerja untuk memiliki kesadaran dari awal bahwa pekerja mereka mungkin seseorang yang memiliki trauma. Sebab yang dibutuhkan oleh orang dengan trauma masa kecil, lebih dari apa pun, adalah lingkungan yang sehat dan mendukung mereka.
Lingkungan kerja memiliki level stres yang tinggi, dan oleh karenanya berpotensi menjadi pemicu bagi orang-orang dengan trauma masa kecil. Apalagi, pekerja muda terbukti mengalami berbagai rintangan di tempat kerja. Sebagai contoh, tingginya kompetisi di pasar kerja, beban kerja yang tinggi, fleksibilitas kerja yang justru mengeksploitasi, upah yang tidak layak, hingga pelecehan di tempat kerja. Maka dari itu, perusahaan harus memiliki kesadaran untuk membuat tempat kerja menjadi lingkungan yang nyaman bagi semua pekerjanya.
Bagaimana caranya? Menurut studi yang dilakukan Center for Youth Communities di Brandeis University, anak muda (terutama yang memiliki trauma masa kecil) memerlukan dukungan berupa Social-Emotional Learning atau SEL. SEL sendiri merupakan metode pembelajaran menekankan terpenuhinya sosial dan emosional. SEL memberikan kesempatan bagi anak muda untuk belajar, berkembang, dan mempraktikkan keterampilan mereka dengan tetap menjaga kesehatan psikis mereka. Hal ini mampu memaksimalkan dampak positif, membuat pekerjaan mereka lebih bermakna, dan mengurangi risiko hambatan untuk pekerjaan di masa depan.
Kajian yang dilakukan Collaborative for Academic, Social, and Emotional Learning (2005) juga mendukung hal ini, sebab SEL bisa membantu membangun kesadaran akan diri sendiri beserta orang lain, mengatur emosi, mengerti perspektif orang lain, merasakan empati, membangun relasi yang sehat, dan membuat keputusan yang bertanggung jawab.
Siapa pun yang memiliki trauma masa kecil berhak mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan menjadi bagian dari masyarakat seutuhnya. Memberikan dukungan emosional dan mengakomodasi lingkungan kerja yang sehat adalah salah satu yang bisa dilakukan untuk merespon isu ini.