Interest | Art & Culture

Candei dan Upaya Menyuburkan Bahasa Ibu di Lahan Kontemporer

Kamis, 09 Jan 2025 20:17 WIB
Candei dan Upaya Menyuburkan Bahasa Ibu di Lahan Kontemporer
Candei dan Upaya Menyuburkan Bahasa Ibu di Lahan Kontemporer/ Foto: Candei
Jakarta -

Globalisasi membuat bahasa, sebagai medium komunikasi manusia, menjadi lebih fleksibel. Setelah mencerna habis unsur-unsur lokalitas ke dalam bentuk universal, menyepakati lingua franca warisan imperialis-hingga menaikkan bahasa Jaksel yang niridentitas sebagai langgam populer-dunia ditaksir akan menemui titik balik. Sebuah tikungan tajam menuju era baru, bermarkakan kekuatan identitas adat dan budaya tradisional.

Keadaan ini membuat setiap bahasa ibu, yang selama ini hanya tergeletak di permukaan, akan memiliki kesempatan yang sama untuk dipahami, diapresiasi, dan dirayakan oleh komunitas global. UNESCO sendiri menggarisbawahi, bahwa tradisi Bahasa Ibu merupakan alat komunikasi yang akuntabel, karena mampu membawa serta nilai-nilai budaya dan pengetahuan kolektif dari masing-masing komunitas etnik.

Pada turunan budaya pop, misalnya. Kehadiran bahasa ibu sebagai komponen yang menawarkan karakteristik budaya autentik ketimbang homogenitas universal kian mendapat sorotan. Contoh utamanya bisa dilihat dari peredaran budaya-khususnya bahasa Korea, yang naik kelas usai konsisten dikampanyekan melalui bauran K-Wave (produksi masif K-Drama dan popularitas K-Pop). Sebab keunikan, kekuatan karakter, dan kompleksitasnya sendiri, bahasa Korea, yang semula asing didengar dan tidak lebih mudah dipelajari dari bahasa lainnya, cukup membuktikan bahwasanya bahasa ibu dari tiap adat budaya juga mampu beranjak superior.

Apabila cara berpikir di atas tidak mengalami kecacatan dan distraksi yang berarti, maka, secara singkat, Indonesia sang empunya lebih dari 700 bahasa daerah, dialek, dan subdialek punya potensi yang sama kuat untuk merangsangkan identitas budayanya. Melalui bidang-bidang kesenian dan kolaborasi lintas budaya, bahasa-bahasa lokal di Indonesia juga dapat menjadi daya tarik eksotis di tatanan nasional maupun internasional.

Kita Memang Benar-benar Melayu

Sejak disepakati menjadi bahasa persatuan 1928 silam, Bahasa Indonesia telah dituturkan oleh sekitar 199 juta orang. Namun, Bahasa Indonesia yang merupakan hasil akulturasi berbagai bahasa, pada pangkalnya tidak bisa melepaskan diri dari kedigdayaan rumpun utamanya: bahasa Melayu, yang akan senantiasa menjadi bagian integral dari identitas bangsa ini.

Walaupun eksistensinya di masa ini sedikit mengalami kemunduran, menyisakan sekitar 19 juta penutur aktif, keberkembangan bahasa Melayu untuk dimanfaatkan melalui medium populer kiwari justru tidak sama sekali tertutup. Dengan bergesernya tren budaya pop menuju arah lokalitas, pintu kesempatan bagi bahasa Melayu-selaku induk dari Bahasa Indonesia yang cenderung lebih dipahami khalayak-untuk kembali mengembangkan layar terbaiknya lantas semakin terbuka.

Hal semacam ini, tentu, tidaklah tidak-realistis, mengingat kekuatan berdomain bahasa ibu pada karya-karya pop era ini nyatanya cukup baik diterima oleh publik. Sebut saja, tembang pop jawa berbalut dentuman koplo, keroncong, hingga campursari yang terus beredar di berbagai acara besar. Atau, bagaimana keluhuran musik sesundaan modern, yang baru saja dibangkitkan dari tidur panjang oleh The Panturas, melalui EP anyar, Galura Tropikalia.

Pun jika sedikit menelisik ke belakang. Dalam dua sampai tiga dekade ke belakang, misalnya, DNA Melayu yang menempel pada karya-karya pop tanah air tidak pernah luput dari perhatian. Baik ketika gelombang pop-melayu sintetik bercokol di acara televisi pagi hari medio 2000an, candu Melayu jiran dinaikkan Siti Nurhaliza menjelang pergantian millennium, ataupun lengkingan rock-melayu semacam "Isabella" (Search) diidolakan muda/mudi era awal 90an.

Melihat rekam jejak penerimaannya, maka bukan tidak mungkin, gelombang terbaru Melayu pada era ini juga berpeluang mendapat sambutan yang sama baik. Terlebih jika akrobat karya-karya teranyar berdomain Melayu dapat memadukan energinya yang sakral secara lebih kontemporer. Satu hal yang bukan hanya menambah keanekaragaman blantika musik tanah air, melainkan kembali menyerukan unsur budaya luhur bangsa ini pada generasi terbaru.

BUNGA RAMPAI MELAYU KONTEMPORER

Kejayaan gelombang musik khas budaya Melayu memang belum benar-benar terulang. Akan tetapi, kekosongan posnya dalam beberapa masa ke belakang mulai terisi perlahan-lahan, dengan kedatangan sebuah orkes folk-melayu bernama Candei.

Bertumbuh kembang di Muara Enim, Sumatera Selatan, Candei mengembuskan angin syahdu perdananya ke sirkuit pop Indonesia pada akhir 2024. Grup ini memperkenalkan lima nomor dalam mini-album Self-titled: "Ghimbe", "Sendari", "Titah Raje", "Cerite Baghe", dan "Tikate Tuwe". Kelima lagu tersebut menghadirkan dawai-dawai melodik khas Melayu dalam bentuk yang lebih luwes, seraya menyematkan syair berbahasa ibu, Melayu Besemah-bahasa salah satu suku tua di daratan Sumatera Selatan.

Candei yang diperkuat kuintet: Fram Prasetyo (gitar akustik, vokal), Triwibowo S. P. (suling), Putra Kusuma (gitar akustik nilon), Syahlan Loebis (perkusi), dan Fajrin Ramadani (akordeon), menyajikan susunan progresi melodi yang berjenjang, vokal bercengkok khas, dan berima puitis. Kesamaan latar asli Melayu dari kelima personel ini membuat musik mereka bukan hanya terdengar lembut mengelus telinga, melainkan mampu pula membawa hati dan benak para pendengar ke lanskap realitas khas masyarakat Melayu yang padu.

"Bedanya dengan umumnya Rejung adalah secara tema, lagu-lagu Candei lebih personal dan kontemporer, respons pribadi saya yang resah akan politik atau kehidupan adat di desa," ujar Fram menjelaskan syair-syair yang dibuatnya. Setiap lagu dalam album mini Self-titled ini bercerita tentang tradisi yang menyimpang dan mengarah ke hal-hal negatif, menyoroti pentingnya mempertahankan nilai-nilai budaya yang baik.

[Gambas:Instagram]

Pada bait-baitnya lagunya, Candei turut cerdik menyelipkan pandangan berkehidupan anak Melayu, yang cukup bernilai personal. Mereka menyampaikan hikayat domestik: wasiat pelestarian alam, menembangkan kisah percintaan juga pertemanan, memberi nasihat kodrati manusia yang tidak lepas dari unsur ketuhanan, sampai melantangkan kritisisme dengan estetis-kendati Fram, sang penggubah utama, sempat merasa tidak percaya diri dengan karya yang menggunakan senjata budaya-bahasa ibu ini.

Candei kemudian sepakat menyebut debut mereka ini sebagai "tuahnye". Sebuah istilah khas melayu yang dapat diartikan serupa keberuntungan tak terduga, seperti hadiah dari Tuhan. Satu paham yang boleh diaminkan secara lebih lanjut oleh para pendengarnya, karena Candei telah mempertunjukkan sebuah karya yang lebih dari sekadar rayuan kasih dan sayang. Berkat dinamika yang membentang serta kelebihan bahasa ibu mereka-yang indah apa adanya-, proyek ini lebih menyerupai rapalan yang bernuansa magis; suatu harmoni yang menenangkan hati sekaligus menghidupkan kembali ingatan kolektif tentang kekayaan budaya Melayu.

MEREKAM BAHASA IBU

Candei boleh disebut sebagai calon penerus diskografi panjang Melayu yang natural dan gigih-meski nama grup ini secara literal berarti "senda gurau". Mereka adalah "anak kandung" kesenian musik khas Sumatera Selatan, yang tumbuh dari rahim kolektif musik folk kota Palembang, Dangau Sesiar. Pada perjalanannya, Candei juga menjadi ahli waris kekayaan musik Batanghari Sembilan, yang sebelumnya dipopulerkan oleh solois legendaris Sahilin, serta meneruskan jejak unit folk-Melayu asal Palembang, Semakbelukar.

Bukan hanya mewakili kebudayaan Melayu, Candei yang awalnya dibentuk sebagai duo oleh Fram dan Bowo pada 2017 silam, dalam beberapa waktu ke depan, juga berpotensi untuk menjadi salah satu garda depan kesenian berbahasa ibu di panggung Nusantara, maupun Dunia. Hal ini dikarenakan pergerakan mereka didukung penuh oleh Bahasa Ibu Records (BIR), sebuah label rekaman yang fokus mengangkat karya-karya musisi lokal bermuatan tradisional.

BIR sendiri merupakan label rekaman independen besutan demajors Records, yang telah menaungi grup rock yang mengusung irama dan bahasa khas Prenduan, Madura, Lorjhu'. Menurut apa BIR, David Tarigan, gerak kolektif yang sedang mereka gaungkan ini merupakan respon nyata atas gelombang kesadaran kolektif yang sedang terjadi di tanah air. Di mana, narasi-narasi lokal asal Nusantara yang semula tidak tersentuh menjadi semakin sering diekspresikan oleh banyak pegiat pada ruang-ruang kreatif modern, sebagai simbol perayaan identitas lokal. Untuk itu, BIR berkomitmen untuk mengangkat talenta lokal Indonesia, seperti Candei dan Lorjhu, ke permukaan yang lebih luas lagi.

Meski menyadari geliat pada ceruk ini tidak akan mudah, BIR justru optimis kekayaan musik, budaya Indonesia yang disajikan pada bentuk kontemporer juga bisa sukses di tatanan lebih luas. Pun, pada dasarnya, pola seperti ini telah berhasil diterapkan di banyak wilayah dunia, seperti halnya musik-musik lokal asal Afrika, yang belakangan cukup mendominasi layar musik internasional.

Demi memastikan Candei, Lorjhu, dan sederet nama musisi domestik lain bisa naik ke panggung global yang lebih prima, BIR sendiri telah menyiapkan banyak strategi. Berdasarkan keterangan sang apa, Ali siapa, BIR mencoba menyediakan platform-platform daring seperti media sosial, hingga situs resmi www.bahasaiburecords.id, yang memuat informasi lebih lengkap mengenai artis dan karya yang terbit di bawah naungan mereka. Situs ini juga memuat hingga 70 trek berbasis narasi daerah, dengan harapan karya-karya bernuansa lokalitas para musisi bisa lebih santer dikenal publik.

Di samping itu, BIR juga aktif menjaring bakat-bakat baru secara luring agar lebih banyak musisi yang bisa menjadi bagian dari ekosistem mereka. Misalnya, melalui scouting dan partisipasi publik, yang kemarin berhasil mempertemukan mereka Candei. Soegeng Ali kemudian menegaskan, dalam tawakalnya, BIR berharap pergerakannya ini bisa didukung oleh lebih banyak pihak, karena upaya mereka amat sangat membutuhkan kerja-kerja kolaboratif, baik lokal maupun internasional, agar dapat memperkuat apresiasi terhadap musik tradisional Indonesia.

Khusus untuk Candei, BIR telah meluncurkan rilisan fisik seperti vinyl dan CD, bahkan merchandise resmi, agar kehadiran mereka bisa lebih lekas sampai ke telinga dan hati publik. Tak henti di situ, BIR juga tengah berupaya untuk memboyong Candei secara dhohir, agar bisa aktif tampil di ruang-ruang publik secara langsung, baik beraksi secara intim di bar musik terkemuka, menjadi line-up festival, hingga mencuri perhatian internasional-mengilkuti kiprah Lorjhu, yang kemarin sukses mencuri perhatian di panggung apa Singapura.

[Gambas:Instagram]

(RIA/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS