Berbilah-bilah bambu anggun berdiri di antara ribuan penikmat musik yang menghampar di sekitar hijau Lapangan Baseball GBK, Senayan, Jakarta. Ada yang menjadi pagar estetik, menyangga warung-warung beratap daun kering, atau kokoh menyembulkan limas artistik di sudut lain. Bukan tanpa alasan, sederet instalasi berbahan dasar ramah lingkungan tersebut merupakan satu dari sejumlah turunan konsep yang membentang di lahan penuh kesenangan, Joyland Festival, yang rampung terselenggara pada 22-24 November 2024 lalu.
Pada gelaran keenamnya dalam tiga tahun terakhir (berlangsung dua kali setahun di Bali dan Jakarta), festival musik besutan Plainsong Live ini lagi-lagi berhasil mencuri perhatian. Terlebih, di balik barisan headliner yang solid-mendatangkan musisi sekaliber Air (Perancis), St. Vincent (AS), Bombay Bicycle Club (Inggris), Hyukoh (Korea Selatan) x Sunset Rollercoaster (Taiwan)-hajat tiga hari tiga malamnya juga konsisten menebar pengalaman "piknik musik" yang ramah dan nyaman bagi semua pihak.
Hyukoh x Sunset Rollercoaster di Joyland Festival (Jakarta, 22/11/24)/ Foto: CXO Media |
Namun begitu, bukan berarti Joyland Festival terbebas dari benang-benang yang kusut mengitari pertunjukan musik berskala tidak kecil. Pagelaran musik yang merangkum peradaban musik lintaszaman, lintasgenre, bahkan lintasnegara, turut membawa ancaman bagi peradaban hari depan: produksi emisi gas karbon berskala besar.
Merujuk laporan A Greener Future (AGF), rerata festival musik (berskala besar selama 3 hari) dapat menghasilkan sekitar 500 ton emisi karbon. Di mana satu orang pengunjung memproduksi kisaran 11kg emisi karbon per hari; belum termasuk limbah buang fisik, seperti sampah sisa kemasan yang sulit didaur ulang. Hal ini, membuat eksistensi Joyland, sebagai salah satu festival musik terkemuka di Indonesia kian sentral, lantaran impresinya yang selalu ramah dan nyaman di mata pengunjung ikut menyisipkan suatu tanggung jawab implisit, harus berkelindan dengan faktor ramah lingkungan seperti, pengelolaan jejak emisi karbon hingga masalah penanganan limbah lebih lanjut.
Praktik Keberlanjutan Joyland Festival
Dari sederet festival musik terkenal di Indonesia, yang kebanyakan unjuk kehebohan-mengundang lebih banyak penampil dan menarik lebih banyak pengunjung-Joyland justru pandai bersikap cukup. "Sedari awal, kita sudah tahu Joyland adalah festival berskala mid (berkapasitas sedang)." kata Ferry Darmawan, Direktur Program Joyland Festival di sesi konferensi pers, pertengahan November lalu.
Prinsip tersebut diterapkan lewat kurasi line-up ketat yang tidak berpatok pada popularitas, juga jumlah stream digital. Hal yang tak kalah kentara ialah jumlah pengunjung taksiran Joyland Festival, yang tidak pernah sepi peminat tapi membuat suasana sesak. Dari beberapa gelaran, Joyland rerata dikunjungi sekitar 10.000an pengunjung per hari. Angka yang jauh lebih rendah dari festival sekaliber yang biasanya dikunjungi lebih dari 30.000 orang per hari.
Walaupun tidak secara langsung, pada dasarnya, sikap tersebut menyerupai visi Joyland Festival dalam mencukupi standar "keberlanjutan". Sebab, merujuk hipotesa AGF, semakin besar skala festival musik sama dengan semakin banyak pula emisi karbon yang dihasilkan, maka Joyland dalam praktiknya telah mewujudkan tindakan yang dapat meminimalisir kemungkinan produksi emisi karbon berlebih lewat hajat yang dibuat tak terlalu megah.
Pada takarannya, Joyland sendiri terus mengupayakan pengoptimalan sumber daya yang lebih ramah untuk lingkungan. Di Joyland Bali 2024 lalu, misalnya, Ferry dan tim sempat mengandalkan energi terbarukan dari solar panel sebagai sumber daya untuk stasiun pengisian ulang daya bagi pengunjung; sedangkan pada Joyland Jakarta, mereka kembali menggandeng PLN Indonesia untuk menyokong aliran listrik pintar.
AKSI BUKAN TEORI
Joyland Festival tidak terlalu lantang dalam mengomunikasikan urusan keberlanjutan. Namun, pada setiap gelarannya, Joyland konsisten melangsungkan festival berbasis pengalaman berkelanjutan, yang hanya menyisakan sedikit dampak buruk terhadap lingkungan.
"Kita memang agak menjaga membahas hal itu [sustainability]," kata Ferry Dermawan kepada CXO Media, seusai jumpa pers di Common Ground Menteng Terra, Jakarta, Kamis (14/11/2024). "Karena ngeliat dari karakteristik orang kita, hal-hal tentang isu keberlanjutan dan/atau sustainability movement itu bukanlah sesuatu yang perlu dibahas, tapi memang lebih baik dilakukan."
Direktur Program Joyland Festival Ferry Dermawan/ Foto: Joyland Official |
Faktanya, awareness mayoritas penikmat musik di Indonesia terhadap inisiatif keberlanjutan lingkungan pada festival musik memang masih terbilang rendah. Menurut data yang dihimpun Sensus Musik Kita (WBJ & Archipelago Festival) akhir tahun 2023 kemarin, 36% responden penikmat musik Indonesia masih menilai inisiatif berbasis keberlanjutan lingkungan biasa-biasa saja, 28% lainnya merasa cukup, sedangkan hanya sekitar 33% responden yang merasa inisiatif keberlanjutan lingkungan di festival masih kurang.
Karena sebab-sebab seperti itu, Joyland akhirnya tidak merasa perlu menggembar-gemborkan inisiasi keberlanjutan lingkungan sebagai satu elemen pokok festival, alih-alih tetap mempraktikannya secara organik dan sederhana. Terlebih, menurut Ferry, Joyland juga tidak ingin nilai-nilai esensial dari inisiatif sustainability-nya ditunggangi kepentingan pihak lain-yang cenderung mengarah pada "greenwashing".
"Sebenarnya keyakinan-keyakinan ini muncul tuh karena kita punya pengalaman kurang baik dengan beberapa brand atau NGO besar yang dikenal peduli sama hal sustainable ini. Maksudnya, kayak dari saat baru ngobrol sama mereka kita dengernya langsung 'ilfeel aja', karena yang dicari langsung ke numbers dan segala macam," jelasnya.
Tanpa menutup pintu kolaborasi dengan berbagai pihak, Joyland lalu mewujudkan inisiatifnya secara sederhana dan berhati-hati; memastikan posisi dan kreativitas mereka tetap dominan apabila terdapat pihak lain yang hendak mengkooptasi ide-ide liar pada tiap aktivasi yang dilakukan. Dalam realisasinya, Joyland memilih untuk menginternalisasi langkah-langkah beretos ramah lingkungan, misalnya dengan membuka "dapur umum" untuk crew, yang menurut Ferry lebih mampu mereduksi sampah makanan dan kemasan dari pihak panitia sendiri.
UPAYA PREVENTIF
Menurut catatan AGF, faktor energi, kemasan, makanan dan minuman, merupakan penyumbang emisi karbon terbesar di sebuah festival, setelah dominasi perkara transportasi dari para penampil, pengunjung, dan pihak-pihak terkait. Faktor transportasi dan/atau akomodasi sendiri menyumbang lebih dari 50% emisi karbon yang dihasilkan sebuah festival.
Dalam hal ini, Joyland 2024 menindaklanjutinya dengan kembali menyusun rencana preventif untuk aspek sustainability juga urusan transportasi para pengunjung. Tindakannya meliputi, pemilihan venue strategis, mempromosikan bermacam pilihan transportasi publik dan tidak menganjurkan pengunjung membawa kendaraan pribadi, sampai berkolaborasi langsung dengan penyedia layanan transportasi seperti MRT Jakarta.
Tak henti di situ, seperti gelaran-gelaran terdahulu, Joyland juga masih tegas menerapkan kebijakan tanpa plastik sekali pakai. Mereka bahkan meminta para mitra yang ikutan terlibat untuk memilih bahan pengganti lebih ramah lingkungan, hingga mengadopsi inisiatif-inisiatif lain demi bisa mendorong pengunjung mempraktikkan hidup berkelanjutan, seperti menyediakan tempat air isi ulang, mendaur ulang plastik lunak dan mengubahnya menjadi instalasi seni, sampai melancarkan aktivasi yang berasaskan attitude ramah lingkungan.
MENCIPTAKAN KEBIASAAN
Banyak orang menganggap Joyland sebagai festival musik ternyaman di Indonesia. Hal ini didasari daya tanggap mereka dalam menghelat variasi hiburan ramah anak dan lingkungan, melalui sederet inisiasi berbasis keberlanjutan lingkungan. Bagi Melodya Lukita, salah satu pengunjung setia Joyland Festival, acara yang dikelola Plainsong Live ini pun selalu berkesan seru dan berhasil improved.
"Mungkin karena gue emang suka kurasi lineup-nya yang makin kesini makin diverse dan rapinya penyelenggaraan," kata Mel, saat dihubungi CXO Media. "Ya, tingkatnya sudah sangat international, bahkan lebih dari festival international lain yang gue pernah datengin. Especially, toilet system yang ada di Joyland, malah lebih baik dari festival di luar sana."
Jika dibandingkan dengan acara lokal yang punya trek rekor sama baik saat menyelenggarakan hajat serupa, Melodya mencatat beberapa kelebihan Joyland. "Mungkin [festival lain] nggak kids friendly, jadi rada chaotic. Aspek-aspek ini sih yang bikin jadi seru; orang-orang jadi lebih mindful, included, teredukasi, dan tertib." Perkara ketertiban ini sendiri dapat ditakar dari beberapa hal. Misalnya, dengan membatasi konsumsi rokok di wilayah panggung, selagi menyediakan area khusus 21+ pada spot khusus. Secara langsung atau tidak, aturan semacam ini mampu menciptakan kesadaran, hingga membentuk kebiasaan pengunjung, untuk saling menghormati sesama, selagi taat membekali diri dengan gestur-serta peralatan-yang ramah lingkungan.
Salah satu spot pengisian air gratis di Joyland Festival (Jakarta, 23/11/24)/ Foto: CXO Media |
Tak hanya itu, Melodya yang juga seorang co-founder dari StudioElse (penyedia jasa lanjutan terkait lingkungan) menyatakan, kalau inisiatif keberlanjutan lingkungan yang diupayakan Joyland sudah cukup baik. "Walaupun gue pernah ke beberapa festival yang practice sustainable-nya lebih forward, Joyland bisa dibilang sudah sangat progressive," tegasnya. Meski masih jauh dari kata proper, Melodya lantas berharap kedepannya Joyland bisa semakin gigih dalam merealisasikan semangat keberlanjutan lingkungan . "Kayak, mulai melakukan pemisahan sampah terpadu (seperti di Fuji Rock Festival, Jepang), recycled water (Wonderfruit, Thailand). Atau bagi yang nggak bawa tumbler, bisa menjual reusable glass (Primavera & Wonderfruit), yang bisa juga jadi collectible item."
Cholil Muhammad, frontman Efek Rumah Kaca, yang tampil sebagai headliner di hari ke-3 Joyland 2024 kemarin, sekaligus bekerja sama dengan Plainsong Live dalam menggelar Konser Rimpang beberapa waktu silam, kemudian merekognisi hal-hal mengenai inisiatif keberlanjutan lingkungan yang diterapkan Joyland Festival sebagai bangunan yang timbul dari pondasi kokoh rancangan Plainsong Live.
"Ya, mereka dari awal memang sudah mencoba bagaimana mereka bisa menjalankan festival juga live music, yang minim emisi. Penggunaan plastik sekali pakai di acaranya juga minim, dan itu kayaknya menjadi semangatnya si Plainsong sebagai organisasi, bukan hanya sebagai penyelenggara," kata Cholil, kepada CXO Media. "Kayak, kalau dia [Plainsong] kayak orang, ya, kepribadian tuh begitu, ramah sama semua."
Cholil menambahkan, jika segala gestur yang tampak di permukaan ini adalah perpanjangan nyawa Plainsong, yang ingin acaranya berjalan nyaman bagi semua pihak. Setidaknya, menurut Cholil, kemampuan mereka menginternalisasi mindset para pengunjung untuk ikut mengamini spirit yang mereka tularkan sudah sangat baik. "Walaupun sebenarnya masih banyak lagi yang harus kita benahi bareng-bareng, misalnya bagaimana supaya penggunaan listriknya itu lebih ramah lingkungan, dengan sumber energi terbarukan atau lain-lain," terangnya.
Di lain sisi, Ferry menyimpulkan, bahwa pada akhirnya, segala inisiatif keberlanjutan lingkungan yang sedang dibiasakan Joyland tidak bisa rampung tanpa gerak kolektif dari berbagai pihak terkait. Satu hal yang selaras dengan usulan Melodya. "Kunci keberhasilan inisiatif keberlanjutan ya, Kolaborasi. Ngga ada kata lain. Dan, gue rasa banyak kok NGO dan community yang lebih bisa diajak kerja sama kedepannya."
FESTIVAL UNTUK MASA DEPAN
"Adanya wadah seperti Joyland, yang menurut gue sangat membantu kita semua dalam mendesain lingkungan yang eco-friendly, kids friendly, harusnya bisa dibarengi dengan dukungan inisiatif dari banyak pihak," tukas Melodya.
Masa-masa ini memang merupakan periode krusial bagi bumi. Tempat kita hidup, berkehidupan, juga bersenang-senang. Karena itulah, festival musik, yang menempati posisi sentral dalam mempertahankan kesenangan sekaligus peradaban manusia wajib memiliki tanggung jawab yang sama besar dalam memastikan kelangsungan bumi itu sendiri.
"Kayaknya, kita kan nggak bisa ya hidup kalo nggak ada hiburan. Tapi, kita lebih nggak bisa hidup kalau tempat kita terhibur rusak. Makanya, walaupun kayak mustahil mengorganisir acara besar yang harmless buat bumi, apalagi ada keterbatasan pada teknologi, sepertinya festival musik bisa lebih cermat."
"Intinya, kalo emang willingly mau hitung karbon dan menanggulanginya, ada banyak yang bisa dilakukan. Transparansi mengenai keberlanjutan itu juga lebih harus lagi dibuka, apakah inevitable dan seterusnya. Ada banyak juga yang bisa di-give back ke lingkungan, misalnya penanaman kembali sebesar hitungan karbon, atau dengan melibatkan pihak-pihak yang bisa mengkuantifikasi urusan ini," pungkas Melodya
Merancang festival musik minim emisi karbon memang tidak mudah. Dan, tentunya, tidak murah. Oleh sebab itu, kedepannya Joyland, yang memilih bergerilya dalam memastikan inisiatif keberlanjutan lingkungan diharapkan terus konsisten menerapkan elemen-elemen eco-friendly di seluruh festival dengan bantuan banyak pihak lain. Sebab urusan ini memang bukan cuma PR untuk event organizer, melainkan membutuhkan campur tangan pemerintah, pihak-pihak swasta, bahkan publik secara menyeluruh. Tetapi, paling tidak untuk saat ini, Joyland Festival sudah cukup berhasil mempertanggungjawabkan lahan kesenangan bagi publik, sambil perlahan-lahan melakukan hal-hal baik bagi bumi, tempat kita berpijak.
(RIA/tim)