Isu kesehatan mental kerap diangkat dalam berbagai medium, salah satunya film-film besutan Sinemaku Pictures. Melihat isu kesehatan mental ranah domestik masih terbatas, Sinemaku Pictures mempersembahkan sebuah film drama Bolehkah Sekali Saja Kumenangis.
Produser Sinemaku Pictures, Umay Shahab mengatakan kesehatan mental yang diangkat dalam film kali ini lebih dekat dengan masyarakat. Adapun topik yang paling banyak diangkat adalah toxic relationship dan abusive parents-family dan lingkungan sosial. Yang menjadi highlight dari film ini adalah support group selama ini masih awam di kalangan masyarakat.
"Semoga dengan adanya film ini, semakin banyak bermunculan support group dan banyak orang yang berani untuk mengutarakan apa yang dirasakan juga di ruang-ruang aman dan nyaman. Sinemaku Pictures akan selalu membahas sesuatu yang menjadi hal yang relate dengan anak muda," kata Umay dalam konferensi pers film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis di Plaza Indonesia XXI, Kamis (10/10).
Bolehkah Sekali Saja Kumenangis Menyorot Kesehatan Mental
Prilly Latuconsina, Executive Producer sekaligus pemain di film ini mengungkapkan alasannya membuat film ini. Ia berpikir bahwa film adalah medium yang kuat untuk menggambarkan apa yang terjadi di masyarakat dan menyampaikannya secara lebih meluas, apalagi terkait isu kesehatan mental. Selama ini isu kesehatan mental dianggap tabu atau tidak ingin dibahas.
"Kalau kita punya keberanian untuk membahas, paling ujung-ujungnya kita membuat campaign, seminar yang belum tentu juga sampai di semua kalangan. Kenapa ingin membahas isu kesehatan mental, aku sendiri sebagai produser dan sebagai pribadi ingin kesehatan mental itu sebagai isu yang mainstream bukan isu yang gak enak, enggak nyaman untuk dibahas atau takut untuk diutarakan," ujarnya.
Pembuatan film ini pun membutuhkan riset yang cukup mendalam, terlebih isunya sangat dekat dengan masyarakat dan menjadi permasalahan yang sulit terselesaikan. Prilly mengatakan untuk pembuatan script, tim membutuhkan riset mendalam dengan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan komunitas advokat yang kerap mengatasi kasus-kasus kekerasan berbasis gender.
"Jadi kami diskusi bersama mereka dari kasus-kasus yang pernah mereka tangani. Sebelum kami menyelesaikan script-nya, kami share dulu kepada mereka, lalu mereka memberikan contoh-contoh kasus dan penyelesaian yang seharusnya menjadi contoh dari film ini, sebab concern dari Komnas Perempuan jangan sampai film ini menggambarkan penyelesaian yang harusnya tidak dilakukan. Jadi wajib tetap ada simbolis bagaimana sih penyelesaian sebuah masalah yang berhubungan dengan kekerasan," ungkap Prilly.
Sementara itu, terkait pengembangan karakter dan emosi, Sutradara Bolehkah Sekali Saja Kumenangis, Reka Wijaya mengungkapkan cukup kesulitan untuk memasukkan emosi tanpa menjustifikasi. Dari naskah yang ditulis oleh Junisya Aurelita, Umay Shahab, dan dirinya harus menggambarkan sedetail mungkin tiap adegannya.
"Dari naskah saya, Umay, dan tim penulis, benar-benar sedetail mungkin untuk planting emosinya dan harus dicoba sebelum syuting. Kami harus reverse sampai 10 hari untuk mematangkan emosinya. Bahkan di lokasi syuting pun kami juga mencoba titik nadir paling tinggi untuk mendapatkan emosinya," kata dia.
Dia pun menggarisbawahi bahwa film ini sama sekali tidak mencoba untuk menjustifikasi mengapa ada orang-orang yang berbuat kekerasan. Tetapi lebih menyadarkan bahwa ada sistem yang salah dan diamini selama ini oleh masyarakat Indonesia.
"Di sini kami tidak ingin mencoba menjustifikasi mengapa orang-orang berbuat itu, kita juga coba untuk mengerti dan bilang bahwa ada sistem yang salah di Indonesia kalau sampai masih banyak orang yang melakukan hal-hal itu. Jadi kita harus support juga teman-teman kita yang punya masalah secara emosi. Jadikan film Bolehkah Sekali Saja Kumenangis ini sebagai rumah bagi teman-teman kita yang terluka hatinya," tutupnya.
Sinopsis Bolehkah Sekali Saja Kumenangis
Film ini sendiri menceritakan tentang perempuan bernama Tari (Prilly Latuconsina) yang sulit untuk mengungkapkan emosi negatifnya karena pengaruh lingkungan keluarga yang keras dan cenderung otoriter dari sang ayah, Pras (Surya Saputra).
Suasana rumah yang 'pengap' dengan pola asuh orang tua yang mengarah pada kekerasan mental dan fisik, membuat Tari berjuang untuk bisa keluar dari tempat tinggalnya dengan menyelamatkan ibunya, Devi (Dominique Sanda), usai kakaknya pergi dari rumah lebih dulu. Namun hal itu tidak mudah bagi Tari, mengingat ibunya adalah korban kekerasan rumah rumah tangga (KDRT) selama bertahun-tahun dan terjebak manipulasi sampai guilt-tripping dari ayahnya.
Bukan hanya lingkungan keluarga yang toxic, Tari pun bergelut caranya berinteraksi di kantor dan dikenal sebagai people pleasure. Pada akhirnya menambah beban emosi negatifnya. Berbagai cara dilakukan Tari untuk mengatasi keresahan hati yang disebabkan oleh emosi negatif yang tidak pernah di-release selama bertahun-tahun. Salah satunya adalah dengan mengikuti kelas support group yang berisi orang-orang yang membutuhkan dukungan kesehatan mental. Seperti konselor Nina (Widi Mulia), Ica (Ummy Quary), dan Agoy (Kristo Immanuel).
Ditemani oleh Baskara (Dikta Wicaksono) karyawan baru di kantor yang seorang mantan atlet basket yang bermasalah mengontrol emosinya Tari pun lambat laun merasa ada yang memahami situasinya dan menemukan sedikit kebahagiaan. Namun sifat dan karakter Pras yang sangat keras membuat Tari dan ibunya berkali-kali dikurung di penjara bernama 'rumah'.
Bagi kamu yang sudah tidak sabar menonton Bolehkah Sekali Saja Kumenangis, akan beredar mulai 17 Oktober 2024. Jangan sampai terlewatkan ya!
(DIR/DIR)