Interest | Art & Culture

Eugene Museum in Bali: Dialog Antara Seni, Arsitektur, dan Lokalitas

Jumat, 27 Sep 2024 20:30 WIB
Eugene Museum in Bali: Dialog Antara Seni, Arsitektur, dan Lokalitas
Eugene Museum in Bali: Dialog Antara Seni, Arsitektur, dan Lokalitas/Foto: Eugene Museum
Jakarta -

Tabanan, Bali, akan menjadi rumah dari museum permanen seniman asal Jepang, Eugene Kangawa. Museum yang berdiri di atas tanah sebesar satu hektare ini nantinya akan menyimpan koleksi berbagai karya Eugene Kangawa yang bisa mulai dikunjungi publik pada tahun 2026. Berlokasi 10 menit dari Pura Tanah Lot, titik Eugene Museum in Bali berdiri memiliki keistimewaannya sendiri. Di tengah-tengah hijau alam dan luasnya laut, arsitektur bagi museum ini pun tentu harus memadukan latar tempatnya dengan karakter karya Kangawa. Hal-hal inilah yang ada dalam benak Andra Matin dalam proses desain arsitekturnya.

Antara "Darah" Bali, Alam, dan Kosmologi

Dalam praktiknya, Andra Matin kerap menggali lokalitas-baik dari budaya maupun lingkungan-untuk dituangkan ke dalam arsitektur. Bagi proyek ini, ia mencari "darah" atau "soul" dari Bali yang kemudian digabungkan dengan inspirasi dari alam. Hal lain yang ia temukan sebagai benang merah dari karya-karya Kangawa adalah kosmologi—hubungan antara alam dan manusia—yang hadir dalam karya-karya yang bersifat sensitif.

Dalam bangunan yang terdiri dari 10 ruangan ini, banyak di antaranya yang dirancang spesifik untuk karakter karya Kangawa, ada yang membutuhkan ruang gelap, ada pula yang membutuhkan ruang yang sangat tinggi. Pertemuan antara disiplin seni rupa dan arsitektur ini perlu untuk menekankan fungsionalitas yang tepat dalam tiap bagiannya, namun unsur paling penting adalah keindahan yang harus tampak.

Desain Eugene Museum in Bali berangkat dari konsep natah, yaitu ruang terbuka di antara bangunan rumah yang berfungsi sebagai core dari hunian. Material yang digunakan juga datang dari Bali, dengan warna-warna yang selaras—seperti kayu Bali, terakota, hingga bebatuan. Kangawa pun menyatakan bahwa museum ini tidak "dimiliki" oleh satu orang saja, melainkan merupakan satu ruang yang terbuka bagi siapa pun, tak terbatas umur, generasi, masa lalu, atau masa depan. Sejalan dengan konsep natah, museum ini berlaku sebagai ruang komunal di mana unsur-unsur yang berinteraksi di dalamnya bisa melebur dalam satu kesatuan. Peleburan batas ini jugalah yang menjadi landasan dari kekaryaan Kangawa.

Inspirasi dan kesempatan membangun museum ini datang kepada Kangawa ketika ia berpameran di Museum of Contemporary Art, Tokyo, pada tahun 2022. Ketika pameran tersebut, ia mengalami pertemuan yang menurut konsep kepercayaan jepang disebut dengan kata "en", yaitu "meaningful connection" atau "serendipitous encounter"—utamanya dengan Andra Matin.

Berangkat dari pertemuan tersebut, keduanya pun berdialog dalam merancang Eugene Museum in Bali, dengan karya-karya Kangawa sebagai "titik berangkat" desain arsitekturnya. Aspek-aspek yang sangat ia apresiasi adalah bagaimana arsitektur bagi museum tersebut bersifat dinamis, di mana sejumlah karya bisa terintegrasi dengan ruang yang dibuat, sedangkan sejumlah ruang lain dirancang khusus untuk melatari karya. Pencahayaan bagi Eugene Museum in Bali pun banyak bergantung kepada cahaya alami yang membuat pengunjung bisa merasakan sendiri perubahan atmosfer seiring berjalannya hari. Sekali lagi, alam memiliki peran yang signifikan.

Secara luas, kehadiran alam pada karya-karya Kangawa juga merupakan sesuatu yang tangible. Salah satunya dalam karya berjudul Goldrain, lewat partikel-partikel emas yang turun menghujani ruang. Pengunjung bisa berinteraksi langsung dengan partikel-partikel tersebut, seperti meniupnya untuk memengaruhi arah jatuh mereka. Partikel-partikel ini bersirkulasi selama lima tahun dengan bentuk yang berubah seiring waktu layaknya pasir atau batu di tengah sungai. Apa yang awalnya merupakan elemen artifisial, lama kelamaan melebur dengan alam.

Ada pula seri sketsa terbuat dari kuningan yang diletakkan dalam ruangan bercahaya alami. Sinar matahari yang mengenai satu lukisan kemudian akan tereflesikan ke lukisan yang lain, menciptakan konektivitas di antara mereka. Seri lukisan lain dibuat dengan lipatan kertas dilapisi tinta yang lambat laun akan pudar dikenai sinar matahari. Perubahan-perubahan oleh waktu ini juga bersifat simbolik pada perjalanan manusia karena akan terus berubah sepanjang kehidupannya.

Konektivitas dan White Painting

Karya Eugene Kangawa juga akan menyambangi gelaran seni terbesar Indonesia, Art Jakarta. Di area seleksi khusus "SPOT", yang menyoroti sepuluh seniman terkemuka yang dipilih dari antara semua peserta, karya-karya dari seri White Painting Kangawa akan hadir pertama kalinya di Asia Tenggara. Seri ini dimulai pada tahun 2017, di mana Kangawa mengajak publik untuk mencium kanvas putih dalam karya partisipatori. Terdapat dua versi bagi karya ini, satu dilakukan di ruang publik di seluruh dunia—termasuk AS, Meksiko, Italia, Tiongkok, dan lainnya—dan yang lainnya yang hanya difokuskan pada keluarga-keluarga tertentu. Hingga saat ini, lebih dari 600 individu telah berpartisipasi dalam seri ini, lengkap dengan dokumentasi ciuman, percakapan, serta nama-nama mereka dalam judul karya.

Untuk melihat langsung seri White Painting karya Eugene Kangawa, kunjungi Art Jakarta di JIEXPO Kemayoran pada tanggal 4-6 Oktober 2024. Tiket Art Jakarta 2024 tersedia melalui artjakarta.com. Saksikan juga percakapan Andra Matin dan Eugene Kangawa di laman YouTube Eugene Museum.

(alm/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS