Dalam bahasa asmat, kata "asamanam" memiliki arti keseimbangan. Bukan sekadar kata, asamanam juga merupakan pedoman hidup untuk menjaga hubungan dalam kehidupan dengan sesama, alam, leluhur, dan Tuhan. Masyarakat Asmat memercayai bahwa kehidupan hanya akan berjalan baik jika harmoni ini terjaga.
Digambarkan sebagai cara bagaimana seorang pendayung menyeimbangkan diri di atas perahu, konsep ini juga menekankan pentingnya untuk melihat ke belakang guna tidak terjatuh saat maju ke depan. Filosofi hidup ini tertuang dalam pameran ASAMANAM: Melihat ke Belakang untuk Berjalan ke Depan yang diprakarsai Yayasan Widya Cahya Nusantara, Uma Nusantara, Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat dan Tirto Utomo Foundation untuk melestarikan dan memperkenalkan budaya Asmat ke mata dunia.
Diadakan di kantor studio arsitek Han Awal & Partners, Tangerang Selatan, pameran ini menghadirkan berbagai ragam seni masyarakat Asmat disertai dengan berbagai cerita di baliknya. Selain itu, ia juga berlaku sebagai langkah awal dari kolaborasi untuk mendukung revitalisasi dan pengembangan Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat di Agats, Papua, yang didesain oleh Han Awal & Partners. Sebagai pengenalan kepada masyarakat lebih luas, pameran ASAMANAM berhasil merangkum apa yang membuat ragam seni Asmat begitu unik.
Karya-karya yang ditampilkan mencakup desain dan maket Museum Kebudayaan dan Kemajuan Asmat, foto-foto dokumentasi kehidupan masyarakat Asmat, patung ukiran dengan berbagai bentuk dan ukuran, hingga rumah tradisional Asmat. Berbagai karya ukiran Asmat ini diwarnai dengan tiga warna utama, yaitu merah dari tanah liat, putih dari kapur, dan hitam dari arang. Ada pula ukiran-ukiran yang dibakar setelah jadi, untuk memperkokoh kayunya.
Mayoritas dari patung ukiran Asmat dibuat untuk mengenang kerabat mereka yang telah meninggal. Hal ini dilakukan karena mereka memercayai bahwa arwah dari kerabat mereka nantinya akan menempati patung tersebut. Menariknya, masyarakat Asmat tidak menolak untuk menjual karya-karya mereka yang diyakini ditinggali oleh arwah kerabatnya tersebut. Hal ini juga berkaitan dengan monumen patung ukiran yang mereka buat untuk meminta kesuburan tanah pada leluhur. Setelah rampung, patung ini akan disimpan di tengah hutan untuk kemudian dibiarkan lapuk dan menyatu kembali dengan alam. Alasan dari "kerelaan" masyarakat Asmat untuk melepas karya-karya mereka setelah rampung adalah kepercayaan bahwa proses berkarya lebih memiliki makna dibanding hasil akhirnya sendiri.
Satu sudut ruang terbuka Han Awal & Partners juga menampilkan sebuah rumah tradisional Asmat selama pameran berjalan, yaitu Rumah Jew atau yang juga disebut sebagai "Rumah Bujang". Di tanah mereka, rumah-rumah ini selalu berlokasi di "gerbang depan" kampung mereka, di mana para bujangan menempatinya secara bergantian untuk menjaga kampung dari binatang buas—atau serangan suku lain ketika masa perang dulu. Di dalam Rumah Jew selalu terdapat 12 tungku, yang merepresentasikan 12 sub-suku Asmat, Ketika pertemuan antarsuku, perwakilan dari masing-masing suku ini akan menempati tungku mereka di dalam Rumah Jew.
Memasuki ruang pamer di lantai dua, pengunjung dibawa memasuki instalasi "Lorong Kelahiran," simbol awal perjalanan hidup yang bentuknya terinspirasi dari rumah persalinan bernama Jom Cem. Rumah yang digunakan untuk melahirkan dan pembaptisan ini mengharuskan orang untuk menunduk ketika memasukinya, dan bentuk ruang inilah yang dibawa ke dalam instalasi. Hal ini juga menyimbolkan tanda hormat seperti yang dilakukan ketika kita keluar dari tubuh ibu kita.
Ruang pameran ini banyak menampilkan berbagai bentuk lain kerajinan Asmat, seperti tas dan bentuk-bentuk ukiran lain. Tidak hanya untuk mengenang kerabat yang telah tiada, patung-patung ukiran Asmat juga kerap menampilkan kejadian sehari-hari yang ada di sekitar mereka. Salah satu contohnya patung di mana seorang ibu menghentikan anaknya mengganggu ayahnya yang sedang tidur. Ada pula ukiran Yesus Kristus yang dalam bahasa Asmat disebut dengan panggilan "Kaka Besar". Seperti yang terlihat dalam karya tersebut, masuknya agama seperti Katolik tidak kemudian menghilangkan budaya asli Asmat, melainkan justru melebur ke dalam tradisi mereka.
Agaknya, pameran ASAMANAM memperlihatkan pentingnya menjembatani tradisi warisan leluhur serta kehidupan modern. Dari pameran yang sesungguhnya tidak berskala masif ini, kita bisa belajar bagaimana masyarakat Asmat mempertahankan identitas dan nilai-nilai mereka di tengah perubahan zaman. Tentu, hal ini bukan hanya tentang masa sekarang, melainkan juga masa depan.
(alm/tim)