Interest | Art & Culture

Pendefinisian 'Space in the Headlines' dari Zeke and the Popo, 17 Tahun Kemudian

Selasa, 17 Sep 2024 19:18 WIB
Pendefinisian 'Space in the Headlines' dari Zeke and the Popo, 17 Tahun Kemudian
Pendefinisian ‘Space in the Headlines’ dari Zeke and the Popo, 17 Tahun Kemudian/ Foto: Istimewa
Jakarta -

Jalan Sabang pada tahun 2007 masih sama seperti sekarang. Padatnya jalanan yang tidak pernah tidur, pejalan kaki yang rela beradu di trotoar nan sempit, dan penjaja kaki lima yang silih berganti membuka tendanya; saya menjadi saksi hidup dari pertumbuhan ruas jalan yang sekarang bernama resmi Jalan Haji Agus Salim. Begitu pun dengan keberadaan toko musik Duta Suara yang masih mencoba berdiri kokoh dengan sedikit menunduk karena kemajuan zaman. Di sanalah album Space in the Headlines dari Zeke and the Popo (ZATP) berhasil saya bawa pulang hanya beberapa minggu setelah dirilis.

Pengalaman mendengarkan album tersebut tidak banyak yang bisa diceritakan. Selain sudah lama sekali, saya hanya berfokus kepada tiga lagu saja pada saat itu. "Menu" yang video klipnya sering tayang di O Channel; "C Song" yang menjadi bentuk stadium song ZATP; dan "Mighty Love" yang paling ditunggu-tunggu setiap mereka manggung. Di luar itu, masih terlalu aneh untuk selera remaja tanggung yang baru beranjak ke pendidikan menengah ke atas.

17 tahun kemudian, saya bertemu dengan Zeke Khaseli, sosok di balik keberlangsungan nafas ZATP pada tahun 2024, yang sedang giat-giatnya menampakkan diri di atas panggung dalam berbagai kesempatan. Kondisinya sudah jelas berbeda. Zeke memegang status New Yorker dengan diskografi album solo yang melebihi jumlah karya ZATP, sedangkan saya masih mencari status sebagai so-called wartawan 'lifestyle'.

Tentu banyak pertanyaan yang saya lontarkan sebagai pendengar musiman dari satu-satunya album penuh ZATP sejauh artikel ini ditulis. Apalagi Space in the Headlines baru saja 'resmi' dirilis di DSP beberapa hari sebelumnya. Cukup panjang hingga durasi obrolan kami harus ditulis dalam dua artikel berbeda.

Lagu-lagu Space in the Headlines dari Zeke and the Popo

Setelah kemarin membahas sisi personal Zeke yang membawa kita ke dalam dunia fantasinya, sekarang giliran cerita di balik album dan definisi dari setiap lagu dalam Space in the Headlines. Selama kurang lebih 20 menit, saya mendengarkan jalan cerita yang coba dibangun Zeke dengan cara berimajinasi bagaikan scene-by-scene film Alfred Hitchcock.

Boleh diceritain cerita dari masing-masing lagu di album Space in the Headlines?

Zeke Khaseli: *Sambil melihat tracklist di cover belakang album Space in the Headlines* coba gue ceritain satu per satu, ya.

"Profesor Komodo" itu kalau gue coba inget, gue lagi bikin animasi komodo buat tugas animasi untuk diploma di Art Institute of Seattle pas pertengahan 90-an. Final project gue tuh bikin work cycle komodo secara realistik. Sebenarnya gue nggak suka sih tapi yang penting gue lulus hehehe. Karena tugas itu, gue banyak riset tentang komodo dengan kondisi gue nggak pernah ke Pulau Komodo. Jadi suatu hari, nggak tahu kenapa gue namain "Profesor Komodo" deh.

Liriknya pun juga akhirnya lumayan timeless. Sebenarnya nggak ada intention gue untuk ngasih suatu message. Ada yang bilang lagu ini tentang reinkarnasi atau tentang hidup karena ngapain ngomong "diputar dan diputar lagi" yang bisa menjurus soal kematian. Awalnya gibberish juga sih, tapi gue nggak inget prosesnya secara detail.

Cuma gue keseringan [bikin lagu] gitu kok dari mimpi, dari inner gue sendiri. Tetep pake sense juga untuk ngerasain ini perlu apa nggak, sounds good apa nggak, rhyming-nya enak apa nggak. Gue emang nggak suka ngelakuin yang direct ngejelasin langsung gitu, tapi kalau ngejelasin mesti ada rasanya, seperti "Hope Killer".

"Hope Killer" ceritanya tentang innocent man on the run karena itu sering jadi tema yang dipakai Hitchcock. Bayangannya gue tuh kayak orang dateng ke sebuah kota terus dituduh sebagai penjahat. Kemudian terjadi pembunuhan di situ. Dia not guilty tapi tetap dituduh sebagai pelaku karena appearance-nya. Akhirnya dia berusaha minta pertolongan namun diteriakin sama orang-orang, terus intinya dikejar-kejarlah. Setelah kabur dan cabut ke mana-mana sampai polisi ikutan, akhirnya dia ditembak. Tapi ternyata sampai dia mati, dia emang nggak bersalah. Itu cerita dari lagu ini, makanya judulnya "Hope Killer".

"First Act Gun" sendiri lebih ke mood suspense karena nggak ada liriknya.

"Menu" itu tragic love story. Jadi si Lolita udah janjian sama cowoknya untuk ketemuan di sebuah bar bernama Lazy Moon. Ada perasaan deep dan romantic yang di mana dia berharap banget bisa ketemu lagi sama cowoknya. Gue sampe lupa gimana ceritanya, tapi intinya mereka berdua akhirnya dikejar-kejar sama penjahat, dan for the price of peace karena nggak bisa ke mana-mana lagi, akhirnya mereka mati juga dengan terjun ke jurang pas naik mobil.

"Subtext" tentang star-crossed lovers dengan bumbu hubungan segitiga. Tapi cinta yang sebenarnya antara dua pasangan ini, yaitu si cewek sama cowok yang nggak dipertemukan takdir. Nah yang terjadi, si cowok aslinya dari si cewek tuh mati, dibunuh cowok yang satu lagi di sebuah tempat yang kayak ada tangga naik-turun gitu dan ada jendelanya. Cowok pembunuh itu coward banget. Dia tuh kabur lewat jendela ninggalin si ceweknya sendiri di sana.

Jadi verse pertama ngomongin tentang cowoknya ini lagi di rumahnya nonton TV, lalu ngeliat berita kalau si cewek mau dihukum mati karena yang dituduh bersalah ngebunuh si cowok pertama. Padahal dia sayang banget, tapi sebenarnya setelah ngebunuh, dia malah ninggalin ceweknya di lokasi kejadian, makanya yang dituduh malah pihak cewek. Udah gitu si cowoknya ngeliat jendela lalu kabur, cuma pas keluar jendela, dia ngeliat ada kelompok sirkus lewat. Untuk menenangkan dirinya sendiri setelah membunuh, dia jadi pemain sirkus.

Pas verse kedua, dia udah jadi seorang pemain sirkus sebagai bentuk terapi untuk replace memori atau suppress memori. Dia malah jadi pemain trapeze. Kemudian ada momen yang hits dia banget di verse itu, karena akhirnya dia bunuh diri juga. Dia lepas tangannya dari bar-nya karena mengingat romansa yang kuat banget saat itu. Recall.

Terus di verse ketiga, flashback ke si ceweknya yang nemuin mayat cowok yang dia cintai. Cowok pembunuh itu bukannya mengakui, malah kabur lewat jendela dan akhirnya konsekuensi si cewek yang dihukum mati. Star-crossed lovers yang terlibat pembunuhan dan ada guilt redemption feeling.

Jadi gue bikin "Hope Killer", "First Act Gun", "Menu", sama "Subtext" itu pas lagi intens nonton Alfred Hitchcock. Gue suka banget film bergenre suspense. Contoh simple-nya, kalau bom jatoh kan langsung shocking, cuma kalau suspense tuh kita malah denger suara pesawatnya doang. Itulah cara gue bikin keempat lagu itu. Cuma ketiga lagu ["Hope Killer", "Menu", "Subtext"] itu ada sense terror dan dread-nya. Gue bercerita lewat karakter, kayak Lolita di "Menu", terus Yesterday di "Subtext", Stranger di "Hope Killer". Intinya tiga orang ini dalam situasi yang gitu deh...

"Unrescued World" itu gue lagi baca buku namanya Sexus dari Henry Miller. Gua dikasih pas main di LAIN di Gedung Dua8. Ada penggemar LAIN yang dateng dari Yogya, dia bawa buku itu dan dikasih ke gue. Ceritanya tentang kisah cinta yang berakhir tragis juga. Pokoknya ada plot yang seperti itu dalam ceritanya. Dan ceritanya lagu ini sih panjang ya. Maksudnya sampai dibuatin animasi dari 5.000 SEL hand drawing sama Iwang [Irwan Ahmett] untuk video musiknya. Adiknya yang gambarin 5.000 SEL drawing. Bisa nonton di YouTube, tuh.

"Mighty Love" itu kan buat Janji Joni. "Hope Killer" dan lain-lain itu dibuat setelah "Mighty Love". Jadi "Mighty Love" duluan yang dibikin. Jaraknya jauh-jauh semua nih, bukan dalam satu musim yang kami intens bikin lagu dan lagu. ZATP sama sekali nggak gitu.

Sebenarnya Space in the Headlines itu seperti katalog lagu yang dikumpulin. Dan ada lagi ceritanya. Pas rekaman yang pertama, hard disk-nya crash padahal itu versi "Mighty Love" yang paling kami suka. Jadi kami take ulang lagi. Lu tau kan rasanya, beda dan nggak puas kalau dibandingin sama yang pertama, yaitu yang kami rekam lalu crash dengan yang di album Unrescued World. Nah yang di album Unrescued World dan versi Janji Joni, itu kami udah terhitung puas dengan hasilnya "Mighty Love". Pas kami bandingin dengan versi album, "Kok kayak gini sih..." Tapi sekarang gue bisa appreciate sih yang kami rekam di Space in the Headlines soalnya tetep ada rasa yang lainnya.

"1.1 Trillion Wood Cutters" itu personal experience gue... dengan... gue nggak mau cerita itu hahaha...

"Get a Star and Kill Her" ini lagu yang yang pada intinya, dari seluruh lagu di Space in the Headlines, menjadi yang mendefinisikan ZATP karena jadi karya gue sama Leo [Leonardo Ringo] di band kami sebelumnya, Frat Limp Face. Noise band yang manggung berdua aja. Leo main gitar ngadep amplifier, gue main piano. Pertemuan antara yang paling kasar dan yang paling soft. Nah di situlah hadir "Get a Star and Kill Her".

Awalnya dibuat karena gue ngeliat lukisan bokap lagi berunding sama siapa gitu, gue lupa tapi di atas bukit di markasnya FRETILIN [Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor Leste]. Jadi kebetulan di depan piano pas gue bikin lagu itu tuh gue ngeliat lukisan tersebut. Di momen tersebut, gue sampe punya metode-metode yang gue tulis tentang cara menciptakan lagu. Itu menjadi salah satu cara nyiptain lagu; gimana lu ada visual, yang akhirnya ngebawa gue jadi scorer.

Momen pembuatan "Get a Star and Kill Her" jauh sebelum gue jadi scorer, cuma caranya kayak scorer kan yang ngeliat gambar saat bikin musik. Akhirnya momen tersebut seperti udah ngasih tanda kalau gue akan jadi pembuat scoring. Jadi meaning-nya personally buat gue seperti itu.

Udah gitu, tinggal bebasin interpretasi juga. Kalau sekarang gue nyanyi lagu ini, pas bagian "Big big stop" gue ganti jadi "Free Palestine". Bukan karena urusan politik ya. Gue nggak suka musik dan lagu politik. Buat gue persoalan ini lebih ke kemanusiaan. Soalnya apa pun yang berhubungan psychological dan kemanusiaan, gue pasti pro sih. Tapi sorry, gue agak ngerasa orang yang bikin lagu politik tuh sekarang lu ngomong A, besok lu ngomong B, terus ngomong C, entar lu jadi hipokrit aja. Gue nggak di posisi itu. Tapi kalau orang bikin lagu politik, ya silakan. Tapi gue memilih nggak dengerin lagu semacam itu.

"C Song" itu lagu bikinan Leo. Kalau misalkan di arena, udah paling pas bawain "C Song". Megah dengan nuansa ballad. Gue tuh kalau bikin lagu selalu free form. Gue nggak ngebayangin mau bikin reff, chorus, post chorus. Nah kalau ballad tuh ada aturan gitu. Insting Leo menciptakan hal-hal untuk sing along rame-rame selalu kuat. Jadi gue base-nya Beatles dan John Lennon dan lainnya yang tadi gue cerita. Cuma once gue udah bikin sesuatu, gue suka Beatles itu yang White Album. Album itu tuh nggak ada banger-nya. Nggak ada satu lagu yang jadi hits-nya. Semuanya rata. Gue nerapin itu di album solo gue, terutama album tiga dan empat. Itu album yang nggak ada banger. Jadi "C Song" itu hitungannya banger sih.

"History of Frequency" ini mungkin yang paling nggak banger di album ini, tapi ini lagu bahasa Indonesia juga sama kayak "Dukung Stasiun TV Lokal" dan "Profesor Komodo". Nah, "History of Frequency" itu dibikin pas era gue bikin "Profesor Komodo". Jadi gue sempet bilang, kalau gue bikin lagu bahasa Indonesia dulu baru bahasa Inggris kan? Kalau pas LAIN itu lebih ke arah surreal karena gue lagi suka hal berbau surreal. Tapi pas era ini, gue nggak tahu sih, mungkin udah ke arah surreal juga, cuma "History of Frequency" tuh gitarnya terpengaruh Beatles. Pokoknya banyak terpengaruh Beatles lah.

"Dukung Stasiun TV Lokal" tuh entah kenapa gue lagi duduk di toilet baca TV Guide. Di Amerika Serikat tuh ada TV Guide buat tahu channel mana lagi tayangin apa. Nah gue baca ada film judulnya Support Your Local TV Station. Terus gue translate ke Indonesia aja. Padahal itu film koboi. Makanya gue bilang film koboi kok judulnya Support Your Local TV Station. Aneh banget. Terus liriknya gue nggak ada maksud buat dukung stasiun TV lokal Indonesia. Gua suka aja sama hal yang unik. Menarik gitu loh. Bisa ke mana aja jalannya. Mungkin nggak harus ke arah situ artinya. Tapi kan orang baca itu artinya langsung kayak, "Oh lu nyerang sesuatu nih", padahal sebenarnya nggak gitu sih.

"I-Novel" tuh dibikin pas gue kuliah sebagai lagu untuk final paper demi lulus dapetin [gelar] Bachelor of Art. Gue bikin paper yang ngejelasin tentang "I-Novel" dari bukunya Plato yang lagi ngejelasin tentang 'The Allegory of the Cave'. Ceritanya tentang filosofi manusia-manusia yang dirantai dalam sebuah gua, terus ngelihat proyeksi dari pertunjukan bayangan. Di belakangnya itu ada lampu dan ada gambar yang dikasih lihat. Kayak wayang gitu dengan ditembak ke dinding gua.

Mereka hanya melihat ke satu arah terus menerus. Tiba-tiba bergerak satu orang, rantainya diputus, nggak dijelasin gimana putusnya, tapi akhirnya dia keluar gua. Dia ngelihat benda-benda sesungguhnya bukan yang imagery diproyeksikan gitu. Dia ngelihat realitanya, seperti matahari, lalu liat mukanya sendiri dari refleksi air dan alam. Kemudian dia berusaha cerita ke temen temennya yang di dalam gua, tapi tau nggak efeknya apa? Digebukin sampai mati.

Jadi human nature tuh ada kejadian gitu-gitunya. Nah si Plato yang jelasin itu. Itu gue masukin ke paper gue dengan interpretasi lewat musik video yang gue buat berbarengan sama "I-Novel". Dan gue juga ngambil sedikit dari kesukaan gue sama Friedrich Nietzsche yang Thus Spoke Zarathustra. Sampe ambil satu kelas juga demi itu. Eksperimen gue dengan thoughts segitunyalah, sampai gue coba jadiin sebuah filosofi ala gue gitu, dan akhirnya jadilah "I-Novel".

Makanya ada kata-kata "gravity" yang sangat penting. Di "Subtext" juga sering muncul karena menceritakan hukum malam. Tapi simbolnya bisa macam-macam kan. Kalau Nietzsche bilang ada spirit of gravity yang selalu neken lu untuk nggak bisa. Lu harus ngelawan hal itu dengan will, dengan decision lu. Mungkin maksudnya, universe has its own ways. Lu kayak punya rasa untuk define or trying to take back gitu. Semacam "ini hidup gue, bukan miliknya". Jadi kayak faith predeterement atau determine. Kita nggak tau dynamic-nya kan.

At this point, gue embracing apa pun, kayak "kasih aja semua kejadian ke gue". Mau beauty, mau teror, sini lu kasih gue. Bodo amat. Tapi maksudnya, pada saat gue nulis lagu "I-Novel" tuh ada semacam proses mengenal diri lagi sih. Gila banyak banget gue jelasin ginian hahaha.

Jadi single pertama tuh apa?

"Profesor Komodo". Kami sadar nggak mau "Mighty Love" pokoknya. Padahal "Mighty Love" pasti bisa nge-boost tapi kami maunya "Profesor Komodo". Again, orang milih single di zaman itu mesti bikin MV, mesti ke media dan lainnya. Lagu ini yang paling ngasih energi apinya dululah. "Profesor Komodo" itu bisa ngasih semangat, tapi semangat aneh gitu kan. Teler, blur nggak jelas gitu. Tapi intinya semangat.

Nah "Menu" emang lebih mellow, cuma melankolis gitu. Dan video klipnya juga aneh banget sih sampai saat ini. Ya begitulah intinya. Dua lagu itu yang jadi single ZATP.

Gue nonton MV "Menu" di O Channel. Di "Menu" kalian naik kereta, terus sepi lagi. Tumben. Sekarang sih nggak mungkin sesepi itu.

Eh bener juga lu sepi. Bisa gitu ya sepi. Sekarang kan rame banget. Nanti deh coba gue obrolin sama anak-anak kenapa kok waktu itu sepi.

Dari 13 lagu, mana yang lagu paling bagus buat lu?

Duh, berubah-ubah ya tapi sekarang gue cinta banget sama "Subtext".

Soalnya yang tadi gue bilang, gue punya cerita di kepala gue yang kemana-mana gitu. Tapi gue berusaha banget untuk ngasih order dari ke-chaos-an itu. Maksudnya, gue juga sadar, "Oh gue bisa bikin lagu ya". Gue sadar, "Oh gue bisa bercerita ya". Soalnya gue agak lepas kalau cerita album gue yang solo. Gue bercerita, tapi bercerita mimpi gue yang ngejadiin album tiga dan empat itu. Gue berusaha ingat mimpi gue untuk diceritain.

Nah kalau "Subtext", ini cerita dengan kesadaran pemikiran, "Oh gue mau bikin cerita kayak film gitu". Kayak Alfred Hitchcock. Maksud gue, gue suka cerita jadul gitu loh. Semacam lebih romantic, tapi ada unsur klasiknya juga. Kalau jaman sekarang kan rumit-rumit tuh, tapi nggak masalah juga kalau suatu hari gue mau cerita yang rumit.

Sekarang di feed Instagram gue nge-post "Subtext". Lagi-lagi kehendak universe juga tuh. Gue nggak minta orang itu nge-shoot dengan bagusnya dan fokus banget ke gue nyanyi di situ. Tapi dia nge-post, terus gue minta videonya sama dia di IG. Gue post aja deh. Gue seneng tuh kayak gitu-gitu. "Jadi lagu bisa kayak gini nih..."

[Gambas:Instagram]

Lagu paling emosional?

"Profesor Komodo" kali ya... Karena kemarin pas di We The Fest (WTF), gue bilang ke anak-anak, kalau disuruh milih satu lagu buat promonya ZATP di WTF, gue pasti pilih "Profesor Komodo". Soalnya gue asbun aja, ngomong kalau gue mati sekarang terus gue tiba-tiba muncul di dunia baru, lalu ditanya Tuhan "lo mau bawain lagu apa sekarang?" Gue bakal bawain "Profesor Komodo".

Menurut lu, Space in the Headlines menjadi album yang terlalu maju pada zamannya kah?

Dulu album ini ada usaha masuk label [mainstream] dengan materi yang sekarang lu dengerin dan nggak minta diotak-atik lagi. Kata label juga gitu, "Lo lahirnya kecepetan nih". Bukan jadi pengalaman pertama gue denger diginiin sama orang saat ngenalin musik gue. Dibilangnya musik kami ini terlalu cepatlah, dibilangnya apa lah. Sekarang di 2024 ini masih kecepatan nggak gue tanya? Hahaha.

Tapi gue juga ngeliat album ini memiliki lagu dari tahun '90-an, ada juga yang dari tahun 2000-an. Gue tuh nggak berhenti, man. Gue bikin lagu udah banyak banget sampe hampir 100 lagu kali sekarang dari solo gue serta lain-lain. Tapi emang orang senengnya sama [musik] ini. Emang gue nggak terlalu promo, cuma kayak perkembangan musik dan perjalanan musiknya udah panjang banget, tapi orang ingetnya ya LAIN, ZATP. Ini personal ya, tapi ZATP juga udah banyak lagunya dan kita punya kekuatan dengan tim. Semua pada makin maju. Kalau ngomongin terlalu cepet, gue ngefans sama orang-orang yang kayak gitu juga. Kan John Lennon juga kayak gitu. Jadi ya udahlah hahaha.

Tapi lu puas sama album ini?

Lebih ke lega dibandingkan puas. Soalnya kayak tadi gue cerita, perjalanannya itu loh dengan up and down-nya. Kayak kita udah ngerekam satu album tapi crash, hard disk-nya nggak bisa diselametin, mesti ngerekam ulang lagi dan kita emang nggak terlalu puas sama beberapa.

Kayak "1.1 Trillion Wood Cutters" tuh gue lebih suka yang album Unrescued World. "Mighty Love" gue suka yang versi sana juga, tapi pas gue denger yang sekarang dari "Mighty Love" di album Space in the Headlines, kok gue merasa kayak ada rasa tenangnya ya, kayak kita nggak terlalu nafsu bawainnya gitu. Kayak "oke juga nih".

Gue inget banget satu take pas bagian verse, gue nyanyinya kayak orang gila. Gue rasain banget liriknya seperti apa. Pas di situ, karena udah sering banget bawain "Mighty Love", gue malah suka banget sama lagunya. Gue nyanyi sambil berdiri di atas kursi dan itu kursi mau jatuh gitu. Makanya gue kaya ketawa-tawa gitu nyanyinya, kayak goblok-goblokan aja nyanyi "Mighty Love". Kaya ada spirit-nya lagi tapi rekamannya emang nggak se-proper yang sebelumnya sih. Lebih terasa lo-fi.

***

12 jam berlalu setelah obrolan panjang kali lebar dengan Zeke, saya menyempatkan diri datang ke showcase kecil-kecilan di rumahnya sebelum ia kembali ke New York. Suasananya cukup hangat di tengah malam yang cenderung dingin dengan bau petrichor. Lebih banyak didatangi oleh teman-temannya sendiri dibandingkan pendengar di luar circle-nya, Zeke tampil membawakan lagu-lagu dari album solonya yang lebih jauh di luar kotak.

Semua penonton duduk manis di ruangan yang tidak asing bagi saya sambil menikmati sajian audio-visual dari Zeke yang dilanjutkan oleh Sir Dandy dan Holy City Rollers sebagai bintang tamu lainnya. Di sana, saya malah lebih sering memerhatikan suasana sekitar dibandingkan fokus kepada siapa yang menguasai mikrofon.

Saat Zeke tampil, kedua orang tuanya sempat muncul; sedikit menengok keriuhan apa yang terjadi di dalam rumah mereka. Tidak jauh dari pintu kedua orang tuanya berdiri, ada lukisan yang diterangi lampu sorot demi menunjukkan cinta kasih sekaligus kegagahan dari apa yang melatarbelakangi kehidupan Zeke.

Di sisi yang berseberangan, tepat di tempat saya duduk bersila, ada poster dari cover Space in the Headlines yang berukuran cukup besar. Tidak pakai pikir panjang, saya mengabadikannya sebagai bentuk kenang-kenangan. "Kapan lagi dateng ke rumahnya Zeke Khaseli?" pikir saya malam itu. Jika diletakkan di sebuah galeri, ada rasa kepantasan dari komposisi seni yang melebur dalam bentuk suara dan ilustrasi.

Sedikit demi sedikit serpihan memori yang pernah saya lihat selama belasan tahun mengenal band ini terkumpul menjadi sebuah gambar utuh. Saya mewujudkan apa yang selama ini hanya ada di layar laptop dan bayangan mengenai ZATP dan segala remeh-temehnya. Ternyata ruangan tempat saya berada telah saya lihat belasan tahun lalu di internet. Belum lagi kemisteriusan sosok Zeke telah coba saya kupas dalam dinginnya lapisan bawah gunung es. Diakhiri dengan presentasi album Space in the Headlines yang telah saya rasakan sebagai salah satu prodigal son jagat musik lokal.

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS