Zeke, sebuah nama yang tidak pernah lagi saya temukan di Indonesia sejauh ini, kecuali dimiliki oleh satu orang. Kelangkaannya membuat siapa pun yang menyematkannya dalam nama terlahir dengan keistimewaan. Besar di keluarga tentara, memiliki privilege yang tidak pernah terbayangkan, menyukai The Beatles saat umur belum menyentuh lima tahun, Alfred Hitchcock adalah idolanya, hingga memilih musik sebagai pekerjaan utama; Zeke Khaseli membawa kita masuk ke dalam dunia fantasinya.
Kami berjabat tangan di Blue Doors, Dharmawangsa, pada Selasa pagi di awal September. Sebuah pertemuan pertama dengan vokalis Zeke and the Popo (ZATP) yang sudah saya dengarkan sejak 2007 di coffee shop favoritnya selama "liburan" di Jakarta. Tentu ada alasan kenapa keputusan untuk mewawancarainya bisa muncul. "Kami pikir untuk kickoff, kenapa nggak reintroduce aja lagu-lagu di album Space in the Headlines ke orang-orang yang sudah lama suka atau yang baru dengerin. Terutama album ini kan sudah 17 tahun," jelas Zeke tentang showcase Space in the Headlines di M Bloc yang diadakan beberapa hari sebelumnya.
Space in the Headlines yang masih menjadi satu-satunya album dalam dua dekade karier ZATP memang baru dirilis secara resmi di DSP. Setelah berhasil mengambil rights dari "mereka", akhirnya album yang diilustrasikan dalam gambar oleh Sir Dandy ini bisa kita nikmati semudah itu.
Perayaan dalam bentuk showcase merupakan solusi tepat buat saya pribadi karena otak ini langsung bekerja untuk ngobrol langsung dengan Zeke sebagai mastermind ZATP. Walaupun menurut Zeke, sosok Leonardo Ringo juga punya andil sama besarnya, tapi dengan memasukkan namanya sendiri dalam title band ini, sudah jelas ada cerita yang layak didengarkan. Pengorbanan untuk bangun pagi dan merasakan padatnya commuter line demi bertemu dengannya pun terbayarkan.
Garis Hidup Zeke Khaseli and the Popo
"Gue tuh dikenalin musik saat nyokap mau ngelahirin adek gue. Ditinggalin di rumah terus diputerin video live The Beatles pas umur 4 tahun sama nyokap," cerita Zeke dengan mata berbinar-binar. "Dan itu dengan formasi yang kayak John nyanyi sendiri, George sama Paul sharing mic. Gue nggak tahu lagu apa yang dinyanyiin, tapi berasa kayak 'wow'. Itu yang nempel di core memory gue tentang musik."
Perjalanan musik Zeke tidak pernah seserius itu. Apalagi sampai sekolah musik yang di matanya terasa sangat serius dan orchestra-esque. Beruntung, orang tua Zeke tidak pernah mematahkan mimpinya untuk berkarier di dunia seni. Kalau kalian tahu siapa orang tuanya, maka ketika sekarang bisa melihat sosok pria yang berdansa di atas panggung seperti Zeke sangatlah jauh dari pikiran. Seharusnya dia mengambil jalur serius yang seperti meneruskan tongkat estafet atas nama keluarga besar, seperti anak-anak pembesar lainnya. Namun semesta memang tidak mau membuat Zeke menjadi manusia template. Ia lahir dengan takdir berbeda.
Seattle yang merupakan kotanya Kurt Cobain dan grunge dia injak pada tahun 1995 untuk mengambil pendidikan di Art Institute of Seattle. Pendidikan seni adalah tujuan utamanya. "Gue pas SMA nggak belajar sih, malah main musik terus. Maksudnya, gue belajar tapi gue ngerasa cukup bisa ngambil ilmu-ilmu itu. Cuma nggak yang sampe gue seriusin banget, tapi kalau musik, buat gue itu serius," ucap Zeke.
Persahabatan yang terus dijalin dengan merangkul musik mendasari terbentuknya LAIN. "Di LAIN itu gue ketemu orang yang percaya sama talent gue. Namanya Ari, dia main gitar di LAIN." Lagu "Ghost's Shell" untuk LAIN yang Zeke buat menjadi fondasi dari mindset kalau musik bisa menghidupi jiwanya. Sebelum ZATP, Zeke terlebih dahulu tergabung dalam band LAIN yang juga diperkuat Iman Fattah dan Yuditia Noor, dua nama yang nantinya memperkuat ZATP. LAIN sendiri memiliki satu album berjudul Djakarta Goodbye yang dirilis tahun 2001 dengan eksplorasi musik yang tidak kalah ajaib.
Kepulangan dari Seattle lalu membentuk LAIN pada 1999 hanya menjadi titik awal dari buah yang akan dipetiknya. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 2003, ia mendirikan Zeke and the Popo. "ZATP tuh tahun 2003 baru gue berdua ama Leo aja. Saat itu sudah banyak lagu yang jadi. Terus pas 2006, manggung di Aksara pertama, kita masukin rhythm section, yaitu Iman sama Yudi yang memang sudah di LAIN. Sudah gitu sama Amir, teman gue dari kuliah," cerita Zeke.
Karier ZATP terbilang lebih gebyar dibandingkan LAIN. Namanya seharum musiknya. Popularitas lebih tinggi; namun tetap terasa di bawah radar. Secara musik juga lebih banyak pendengarnya. Buktinya terlihat dari album "putih" alias Unrescued World yang sempat disebarkan pada tahun 2004. Di dalamnya memuat empat lagu yang nantinya akan direkam ulang tiga tahun kemudian untuk Space in the Headlines.
Saat itu "(Ouch) Mighty Love" langsung terpilih sebagai single andalan-terlihat dari jumlah play di Spotify sekarang. Panggung demi panggung coba dijamah di tengah masa tonggak musik indie benar-benar sedang dipakukan. Selain ZATP, saat itu ada The Adams, The Brandals, C'Mon Lennon, The Upstairs, Teenage Death Star, Seringai, sampai The Sastro. Sebagian besar nama yang saya tulis masih aktif hingga saat ini setelah dipertemukan dalam sebuah kompilasi bertajuk JKT:SKRG yang dirilis Aksara Records pada 20 tahun lalu.
Situs Multiply yang sudah mati memperkenalkan saya secara lebih dekat kepada ZATP. Foto-foto di dalamnya memperlihatkan sebuah ruangan besar yang menjadi tempat ZATP sering latihan dan tampil. Belum lagi bantuan O Channel yang lagi getol dalam menampilkan band indie lokal. Saat itu muncul pertanyaan apa musik dari band ini. Rasa penasaran itu pun disambut secara tidak langsung karena Space in the Headlines dilahirkan oleh mereka.
Saya mengeluarkan CD album yang 17 tahun lalu dibeli beberapa minggu setelah dirilis ke pasaran di Duta Suara, Sabang, ke hadapan Zeke. "Thanks, Timo," ucapnya dengan senyum lebar. Kondisinya memang masih bagus karena sudah pernah tidak saya pasang lagi. Bahkan kertas RBT (ring back tone) yang cukup aneh untuk band se-indie ZATP saja masih ada.
Album 'Space in the Headlines' yang telah dilegalisir/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala Prasetya |
"Nah keputusan [bikin RBT] kan industri banget tapi kami ngelakuin ini as indie label gue yaitu Black Morse, terus nyertain Acong (Sir Dandy) juga. Rekamannya pun lo-fi gitu," jelasnya. "Pas kami mutusin bikin RBT, kami percaya sama semua lagunya aja sih. Menurut gue lagunya nggak berubah apa-apa dan video klipnya juga nggak ada aturan apa-apa. Terserah kita. Ya RBT memang culture yang nggak baik sih di saat itu waktu."
Saya pribadi lupa kalau album ini sampai dibuatkan RBT karena sudah tidak pernah membukanya. Zeke berkata kalau lagu "Menu" sampai di-push oleh Telkomsel, sampai penonton yang terpilih karena menggunakan RBT lagu tersebut akan memenangkan hadiah "nonton band Amerika terkenal gitu deh yang lagi main di Indonesia tapi kami sendiri nggak suka. Terus pas akhirnya nonton, kami tinggal deh pemenangnya. Kami malah ke Plaza Senayan," tawa Zeke.
Membahas ZATP tidak akan pernah ada habisnya. Zeke merasakan betul bentuk syukur yang dalam dari kehadiran band ini. "Alhamdulillah ZATP itu satu hal yang gue proud juga sih. Karena LAIN dan ZATP dua-duanya masih ada dengan original member," jawabnya. "Ternyata mereka bisa nerima gue, bisa ngertiin gue; gue bisa ngertiin mereka, kita bisa jalan bareng dan ternyata chemistry bermusik lebih besar daripada pertemanan juga. Apalagi belakangan ini kami sudah makin emotionally attached semua."
Saya melihat ada rasa terselamatkan dari jawaban Zeke. Pertanyaan tentang arti lain dari ZATP pun terucap. Jadi apakah band ini menyelamatkan hidupnya? "Hmmm menyelamatkan ya... ZATP memang jadi fokus utama gue. Cuma kalau menyelamatkan untuk bagian dari kebebasan gue untuk bisa..." tahan Zeke sebentar sambil berpikir.
"Soalnya banyak yang gue rasain akhir-akhir ini ya. Di album Space kan lagu-lagu lama; terus gue hidupin lagi sama anak-anak; lalu gue ngalamin macam-macam dalam hidup belakangan ini; terus gue mainin lagu-lagunya. Nah pas mainin lagu-lagunya tuh gue bisa ngerasain lagu lebih deket aja sama semua itu. Dan itu menjadi momen yang sangat berharga. Kayak lu bisa bisa lupain banyak hal di dalam momen yang eternal life moment gitu," jelas Zeke yang merasa waktu seperti tidak berpengaruh saat sudah di atas panggung. "Kayak ritual lah," singkatnya.
Proses kreatif di dalam ZATP terhitung mudah ditebak. Di dalam album Space in the Headlines yang memuat 13 lagu, hanya dua lagu yang tidak diciptakan Zeke. Ditambah lagi dengan nama Zeke yang terpampang di poster-poster acara musik. Kalau sudah ada namanya sendiri di dalam band ini, maka anggapan kalau Zeke merupakan mastermind-selayaknya Ahmad Dhani di Dewa 19-muncul secara otomatis.
"ZATP itu cuma nama aja kan... Kemarin gue ngobrol sama Leo berdua... Sebenarnya otaknya di kami berdua sih," jujur Zeke. "Tapi kalau dibilang mastermind ya memang lagu-lagu gue. Tapi as a konsep kreatif [di luar musik] ya Leo." Jawaban Zeke sama sekali tidak sok diplomatis untuk menjaga marwah dari anggota lainnya. Ia membuktikan dari fakta kalau karakter tank face di cover Space in the Headlines, serta performance di Goethe Haus tahun 2007 dengan format dua stage lewat teater dan musik merupakan hasil tangan dingin Leo. Pengakuannya membuat Zeke and the Popo memang hanya "meminjam" namanya saja. Toh, nama Zeke sudah terdengar catchy, jadi kenapa tidak dimanfaatkan?
ZATP terasa seperti hidup segan, mati tak mau. Beberapa kali manggung, tapi lebih banyak vakumnya. Hanya saja tidak ada yang bisa mematahkan fakta kalau mereka punya pasarnya sendiri yang tetap setiap sampai kapan pun. Kebesaran nama band ini coba saya gali.
"Nggak ada bayangan ZATP bisa sebesar apa. Jadi memang band ini tuh bikin EP terus, nggak yang fokus bikin album lagi. Perform-nya juga jarang. Kalau perform, kami mau yang spesial. Gue nggak pernah ngebayangin sejauh itu planning-nya. Biarin universe aja yang ngasih jalan," kata Zeke. "Gue selalu mikir ZATP selalu ada warnanya sendiri yang harus gue perhatiin dan gue turutin lah. Gue nggak mau terlalu keluar dari warna itu kali ya. Dengan tone yang gitu, sound-nya kayak gini, visualnya kayak gitu."
Walaupun terdengar let it flow dan biarkan hidup mau membawanya ke mana, Zeke tidak mau sepasrah itu. Apalagi tentang lagu-lagunya. Di matanya, lagu itu punya efek besar untuk memberikan arti hidup bagi banyak orang, termasuk dirinya sendiri. "Lagu itu harus dimainin. Apapun karyanya deh, ya harus ditunjukin! Kalau nggak lu kasih nyawa, dia nggak hidup. Dan dia yang hidupin lu," jawabnya tegas.
Karya, karya, dan karya terus coba diciptakan Zeke tanpa mengenal waktu dan tempat. Medium yang berbeda pun tetap dilahap olehnya. Selain menjadi musisi yang tampil di atas panggung, karya musik Zeke yang lain juga didengarkan dalam film. Ia sudah dikenal sebagai scorer sejak 2008 lewat film fiksi karya Mouly Surya. Piala FFI kategori Penata Musik Terbaik pun ia sabet, termasuk saat mengurus film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2018) dengan sutradara yang sama.
"Gue kalau di musik sudah nggak expect result yang gimana banget. Popstar juga boro-boro. Kalau di scoring, acknowledgement-nya tuh sebetulnya gila," cerita Zeke tentang pekerjaan lainnya yang cukup sulit dijalankan. Bukan perihal dalam kreativitas, tapi lebih kepada jualan jasa yang lebih susah. "Kita bukan tipe yang punya manajer atau punya agent. Tapi as a scorer, gue berharapnya sih kalau kerja sama sutradara, dia tahu kita punya kebebasan mau ngapain juga."
Struggle sebagai scorer akhirnya menjadikan Zeke lebih sering mengerjakan film-film Indonesia saja, dengan semuanya bisa didapatkan dari koneksi yang telah dibangun. Kalau mendapatkan calling dari luar Indonesia, kebanyakan tawaran dari tugas anak kuliah atau film-film di negara seperti Brasil, Tiongkok, atau Hong Kong. Kuatnya international community di industri scoring sedikit membantu dalam mengumpulkan pundi-pundi uang untuk hidupnya.
Selain ZATP, saya menikmati karya scoring Zeke ketika ia membentuk band bernama Mantra bersama Leo, Emil Hussein, Anda Perdana, Yudhi Arfani, dan Mian Meuthia. Mantra mengisi soundtrack Pintu Terlarang (2009) dari Joko Anwar dengan merilis empat lagu: "Why", "Please Operator Please", "Baby", dan lagu favorit "Blessed the Tainted Heart". Selain itu mereka juga meramaikan Rumah Dara (2009) dari Mo Brothers lewat lagu "Photograph of Hell" dan "Cinta Matiku".
Mantra cukup dekat dengan saya saat sering rewatch Pintu Terlarang. Harapan untuk mendengar mereka kembali dalam karya lainnya tetap ada. "Kayaknya ada curse ya kalau nge-band sama gue. Putusnya di saat lagi naik gitu loh. Pas LAIN lagi naik, eh kayak gitu, Mantra juga. Tapi gue bercanda deh hahaha soalnya ZATP nggak kayak gitu," senyum Zeke. Baginya, Mantra bisa saja lanjut tapi tergantung dari masing-masing personilnya, dan apakah ada proyek soundtrack film lagi atau tidak.
Jadi, lebih enak bikin musik untuk band atau film? Pendekatan yang berbeda karena harus menuruti mood sutradara dan produser menjadi pengaruh besar. Sebagai pecinta Alfred Hitchcock yang dikultuskan oleh para pecinta film suspense, termasuk Zeke, ia masih ingin cara produksi sound yang membangun teror secara perlahan. Sayangnya, perubahan pasar yang senang jumpscare harus sedikit menahan seleranya. "Gue nggak suka tapi gue harus tetap ngelakuin. Itu kan agak nyakitin diri gue sebagai pemusik," ujarnya.
GARIS HIDUP YANG DIAMININYA
Gelas kopi yang sudah disisipnya beberapa kali, serta batang rokok yang entah sudah keberapa menjadi waktu yang tepat bagi saya untuk bertanya tentang arti lain di balik kebebasannya dalam berkarya. Tentu semuanya tidak lepas dari privilege yang dimiliki. "Lu sadar kalau punya privilege besar?" tanya saya.
Pertanyaan tentang privilege sama sekali tidak dia patahkan. Zeke tidak takut untuk mengakui kalau ia memiliki keuntungan besar dalam garis hidupnya. "Sadarlah. Gue tahu diri juga. Maksudnya, kalau ngomongin privilege, privilege itu bisa bolak-balik lagi. Lu bisa ngeliat gue punya privilege, gue bisa ngeliat lu punya privilege juga," jawab Zeke dengan raut serius.
"Tapi gue nggak punya privilege untuk punya cerita yang bagus man," ucapnya lirih.
"Mungkin orang bakal mikir, 'Oh dia gampang nih semuanya'. Padahal lu pada nggak tahu mati-matiannya gue bikin lagu, prosesnya, dan lain-lain. Itu privilege juga buat lu yang kalau punya cerita yang bagus dari bawah dan lainnya. Privilege itu relatif banget buat gue. Tapi kalau dalam hal privilege in real world soal materi dan status, gue ada kok, tapi gue tahu cara gunainnya. Gue tahu bataslah kalau selama itu mendukung," tambahnya.
Poster 'Space in the Headlines' di sudut rumah Zeke Khaseli/ Foto: CXO Media/Timotius Manggala Prasetya |
Saya membiarkan Zeke terus berbicara atas pertanyaan pendek yang sudah saya ingin tanyakan sejak tahu bahwa ayahnya memiliki gelar Jenderal Kehormatan Bintang Empat TNI serta mantan menteri di era aftermath Reformasi. "Gue akan gunain privilege gue dengan baik dan tahu etikanya gimana. Gue agak malas ngomongin etika, cuma gue tahu sense sampai mana menggunakan privilege. Tapi gue nggak pernah merasa segitunya kok soal privilege ini," ujarnya lebih lanjut.
"Ya gue tahu lah ini dunia nyata, gue tahu how the world works dan lain-lain. Cuma gue punya dunia gue sendiri aja dan so far sih dengan keyakinan gue sama diri gue, terutama sama lagu-lagu yang sudah gue buat, yang gue pelajarin dan sadari belakangan, gue sendiri tuh sebenernya biasa aja tapi lagunya yang luar biasa," kata Zeke yang terdengar megah.
Zeke percaya dengan privilege, tapi di sisi lain dia juga percaya dengan lagu-lagu yang dibuatnya. Katanya, "Again, single minded focus on creation aja untuk bikin lagu. Lagu yang akan lebih lama hidupnya dibanding umur lu. Dan akan memberikan arti buat semua orang nanti kalau gue sudah mati. Dan sekarang pun sudah banyak juga kan impact yang gue rasain, ya. memang lagunya yang punya power."
Demi sedikit memecah pembicaraan serius ini, saya bertanya seberapa sering kedua orang tuanya mendengarkan musik ZATP dan LAIN. Seraya tersenyum, Zeke menjawab "tidak". Momen yang bisa menyatukan musik ciptaan Zeke dengan selera orang tuanya hanya mengingatkan mereka kembali dengan The Beatles. "Tapi kalau udah macem-macem dengan keanehan musik gue, mereka kayak 'apa nih' hahaha," kekeh Zeke.
"Apakah hidup lu se-seamless itu?" saya kembali mencoba serius. "Nggak seamless sama sekali," katanya.
"Semua yang gue buat ini butuh pengalaman hidup kan semua. Psychic energinya banyak banget kebuang juga, kebuang in a bad and in a good way, both ways gitu," tambahnya dengan membawa cara berpikir psikologi. "Tapi proses mengenal diri sendirinya kan paling berat dalam hidup, untuk kenal diri lu sampai sekarang. Semua orang kayak gitu buat gue. Ada orang mati, tapi besoknya nggak tau dirinya itu siapa. Semua ada ceritanya yang memengaruhi soul lu."
GARIS HIDUP DALAM AMERICAN DREAM
Lahir di Taiwan, tumbuh kembang di Jakarta, mencari ilmu di Seattle, bermusik di The Big Durian, sekarang menetap di The Big Apple. Zeke meresmikan dirinya sebagai New Yorker sejak 1 Januari 2016 dengan disambut blizzard yang amat parah sekaligus mengenal bagaimana kota ini yang sebenarnya.
Keputusan pindah ke New York demi menemani sang istri sekolah film menunjukkan dirinya sebagai suami yang suportif. Jeda yang cukup lama dari musik tentu disadarinya. Alih-alih terasa jadi buang waktu, bagi Zeke itu menjadi rentang waktu yang membuatnya bisa sedikit beristirahat dari riuh rendahnya dunia musik. Ia pun baru aktif lagi dalam karya solonya saat pandemi; sampai-sampai membuat project spesial dengan satu lagu dan satu MV setiap bulannya.
Kota New York dipandang sangat enak di matanya. Bahkan green card sudah di tangan. Apesnya, saat green card di tangan, penjajahan Israel kepada Palestina pecah. Ia sekarang harus bayar pajak hanya untuk membeli bom. "Soalnya urusan kemanusiaan buat gue dan istri tuh penting banget. Kami boikot beberapa hal juga. Susah tinggal di New York karena clash-nya di situ kan," jelas Zeke. "Abis kejadian Ukraina yang mereka sangat support karena tertindas, tiba-tiba mereka nggak ada sama sekali responnya tentang Gaza. Jadi gue eneg banget sama New York di saat itu. Makanya gue pulang enam bulan di sini happy banget karena merasa di 'sisi' yang seharusnya."
Belum lagi persoalan berkarya dengan perbedaan energi cukup signifikan. Ia merasa lebih susah untuk terus aktif bermusik di sana karena muncul kesadaran kalau performance itu penting. Dulu Zeke berpikir dengan pola sederhana; bikin lagu sudah jadi langkah paling utama. Namun sebenarnya performance menjadi paling penting demi menunjukkan seberapa hidup lagu yang diciptakan.
"New York tuh susah banget, man. Untuk indie aja susah banget. Semua harus ngelakuin sendiri karena sebetulnya bukan main-nya bikin musik. Mereka punya kerjaan double job atau apalah dalam hidupnya karena living cost-nya mahal banget. Jadi gue juga bisa ngerti kenapa orang nggak seintens untuk berkomunitas [musik] kayak di sini," ungkap Zeke.
Untungnya masih ada sisi baik dari New York. Dari cara orang dalam berinteraksi dengan boundaries yang seharusnya, sampai kebiasaannya nonton olahraga dengan mudah dan non-stop. Dia mengaku sebagai avid fan of NBA. Ketika musim NBA bergulir, setiap malam pasti ada saja pertandingan yang ditayangkan di TV. Bagi kita yang tinggal di sini, pasti sangat senang bisa nonton NBA dengan mudah, tapi tidak untuk Zeke.
Ia merasa tahun ini sudah harus stop menikmati tontonan olahraga. "Basket ini terlalu ganggu pikiran gue hahaha. Tahun ini, demi musik harus gue stop dulu," ujar Zeke sambil tersenyum. Wajar saja, selain harus mulai memerhatikan karya musiknya sendiri yang terasa lahir kembali, ia juga punya kesibukan lain di sana. Pekerjaan domestik dan membuat scoring menjadikannya sudah sibuk. Kalau malah diganggu nonton NBA, maka mau sampai kapan kita menunggu lagu-lagu terbarunya?
"Karena lu di NYC, lebih milih Knicks atau Nets?" sebuah pertanyaan iseng dari saya. "Nggak dua-duanya, tapi Nets deh karena lebih sidestream. Knicks agak lebay," jawabnya.
"Kalau lu suka tim NBA apa?" Zeke balik bertanya. "Timberwolves," ucap saya singkat.
"Hahaha untung bukan Lakers, anti banget gue sama mereka," balasnya. Tanpa aba-aba, kami saling tos karena saya pun mengamini pandangan dia tentang tim tersebut.
Kondisi penuh perjuangan melawan fokus prioritas membuat Zeke harus disiplin dalam menentukan pilihan. Ia melihat dirinya sendiri sebagai sosok yang cukup disiplin. Itulah kenapa sekarang waktunya ia berubah. "Disiplin itu memang penting, asal lu tahu tujuannya," ucap Zeke yang juga mendukung Seattle Mariners dan Ichiro Suzuki.
"Kalau ngikutin kemauan lu yang short term pleasure, yang muncul ya kayak nonton basket aja. Kalau tim lu menang, lu seneng. Tapi nggak sebanding dengan pleasure kalau nyelesain lagu," tambahnya. "Lagu kan sakral banget. Lain lah level-nya. Masa lu mengorbankan itu demi hal begituan. Jadi disiplin itu penting sih. Disiplin itu kan kayak lu punya janji sama diri lu sendiri."
Bicara soal disiplin tidak akan ada habisnya, apalagi setiap orang punya pandangan masing-masing. Untungnya Zeke punya pola berpikir yang hampir sama dengan saya. Begitu juga dengan harapan yang sudah saya miliki sejak lama, yaitu karya terbaru ZATP. Zeke menjawab kalau tujuannya sekarang sudah jelas; album kedua ZATP dan album solo kelimanya bakal dijalankan. Mau lagi di New York atau akhirnya kembali menetap di Jakarta, misinya sudah disimpan aman di pikirannya.
"Kalau lu jadinya full pindah ke Indonesia, semua project lu pasti jalan?" tanya saya karena ia punya peluang kembali menetap di Jakarta kalau sudah merasa selesai di New York.
"Wah itu mah mau ZATPP, LAIN, solo gue, pasti jalan semua. Energi musik gue bakalan beda. Memang cuma butuh waktu sendiri dulu untuk bikin itu semua," janji Zeke.
***
ZEKE KHASELI DALAM DAFTAR
"Menu" yang dicintai Zeke Khaseli.
Sutradara Terbaik
1. Alfred Hitchcok
2. Federico Fellini
3. Woody Allen
"Alasan gue pindah ke New York tuh juga karena Woody Allen yang ngegambarin gimana New York. Soalnya gue juga punya sisi hubungan manusia ke manusia yang se-deep itu, yang se-romantic. Kayak relating to city yang segitunya. Ada romantisme ke kotanya dan untungnya semua perasaan itu bisa gue dapetin di New York."
Film Terbaik
1. 8½ (Federico Fellini)
"Banyak yang bilang itu film-film anak-anak art school, cuma gue pertama kali jatuh cinta sama film yang sebenarnya itu waktu ngikutin ngikutin kelas yang ngomongin 50 best movies versi gurunya. Salah satunya film ini. Karena dia ngejelasin cuma gini, "Ini self-indulgent banget filmnya, tapi what a self?" Hahaha jadi gue langsung nonton dan penasaran siapa sutradaranya. Terus gue tonton kan. Gue langsung kayak, "Ini gue nih. Gue mau bikin kayak gini nih." Itu karyanya Fellini kan. Sejak itu gue langsung nonton semua katalog Fellini."
2. Broadway Danny Rose (Woody Allen)
"Mungkin belum banyak nonton film yang ceritain manager sebuah artis ini. Di situ gue bisa relate sama karakter si komedian yang dimanajerin sama karakter yang diperanin Woody Allen. Dia tuh kayak tempat sampahnya gitu loh. Kehidupan si komedian itu naik turunnya gawat banget. Pokoknya dynamic-nya gila banget. Terus, gue bisa jadi kayak relate sama karakternya. Empatilah sama si karakter manager itu. Pokoknya film yang deket banget sama kerjaan gue."
3. Vertigo (Alfred Hitchcock)
"Susah banget [cari film terbaik Hitchcock]... Gue ngebayangin semuanya... Bahkan sampai film-film dia di dekade 20-an. Cuma kayak... ya sudah gue Vertigo. Vertigo tuh pas gue photo session yang jaman dulu banget, gue pake baju Vertigo terus-terusan pas lagi buat ZATP soalnya lagi ngefans banget sama film itu."
Album Terbaik
1. The Beatles [White Album] - The Beatles
2. 13 - Blur
3. Wowee Zowee - Pavement
Hal Terbaik di Indonesia
1. "Waves di Bali itu the best banget. Paling suka main sama ombak."
2. "Black Studio karena banyak banget kenangannya"
3. "Zeke and the Popo"
Makanan Terbaik
1. Siomay
2. Pempek
3. Roti Srikaya di Krendang
Tempat Wajib di New York
1. Caffe Vita
"Coffee shop dengan kopi paling enak. Di situ paling the real NYC buat gue. Ketemuan orang dan semuanya di situ. Lokasinya di Ludlow yang jadi terkenal gara-gara bikin muralnya Beastie Boys. Tapi buat locals kayak kami di sana, jadi kayak touristy nih hahaha. Orang-orang pada foto-foto di situ. Tapi keren, itu jalanan paling keren di New York."
2. Kings Theater
"Gue jarang dateng ke venue soalnya kalo jaman sekarang kalo nonton konser... Tapi oke deh gue kasih satu. Kings Theater. Gue nonton Spiritualized dan dapetin banget sih semuanya.Itu gue rekam dan gue dapet yang rasanya religious experience dalam musik. Abis nonton, gue ngobrol sama stranger gitu, kan New York [itu] city of strangers, gue nanya dia mau ke mana dan dari mana. Ternyata dari Texas. Dia ke New York demi Spiritualized doang. Pas gue tanya, 'Abis ini lu mau ke mana?' Dia bilang, 'Gue mau ngikutin Spiritualized ke mana aja.'"
3. Sheep Meadow, Central Park
"Dari semua taman, Central Park aja deh. Paling enak di taman yang deket Imagine Memorial-nya John Lennon. Deket juga sama The Dakota, hotel John ditembak. Tapi juga ada Sheep Meadow yang lebih enak. Buat ngajak orang ke sana, ngobrol, jemur-jemuran, tidur-tiduran, baca buku. Memang dreamy banget sih Central Park. Bayangan orang kan soal New York itu gedung-gedung tingginya, tapi buat gue as a New Yorker sih paling enak Downtown dan Central Park karena dia di tengah-tengah, cuma kalo sudah masuk lu nggak bakal inget bayangan orang soal New York deh."
(tim/alm)