Poros bola disko yang terus berputar untuk merefleksikan larutnya malam tidak akan lengkap tanpa didukung musik yang tepat. Lebih akrab dengan electronic music, beragam turunan "racunnya" bisa kita pilih sesuai kemauan. Dari house, techno, atau yang cenderung underground seperti drum & bass; menikmati referensi yang telah digali dapat mengembalikan kesadaran bahwa ada local hero yang patut diapresiasi secara layak. Duo yang berkonspirasi selama lebih dari dua dekade ini membuktikan betapa kuatnya alter ego yang dibalut kesadaran penuh soal kecintaan terhadap musik bisa menjawab kebutuhan pasar yang kecil nan melekat.
Perjalanan panjang Dubyouth Soundsystem dimulai dari pertemanan Heruwa dan Metzdub yang berada dalam satu payung yang sama: Shaggydog. Heruwa merupakan vokalis band asal Yogyakarta tersebut, sedangkan Metzdub berperan sebagai manajernya. Keakraban dari segi bisnis sekaligus personal ternyata melebar hingga menyentuh ranah musik, terkhusus drum & bass yang sering mereka nikmati dalam waktu bersamaan.
Dubyouth Soundsystem, From Yogyakarta to the World
"Awalnya kenal genre drum & bass itu dari temen dan nonton Javabass Soundsystem dulu. Inget banget dulu nonton di Pyramid Cafe," ucap Heruwa. "Tahun 2000-an kan masih marak rave party. Terus kami sering dateng dan nonton Javabass. Kok ini beda ya ada unsur Jamaika-nya," tambah Metzdub yang akrab disapa Memet. Perkenalan terhadap drum & bass di era terbatasnya informasi tidak menurunkan rasa eksplorasi keduanya. Simpang siur persoalan dari mana asal genre tersebut sampai siapa saja musisinya tetap memperkuat niat mereka untuk membentuk Dubyouth Soundsystem.
Identik dengan pergerakan musik Yogyakarta, malah Bumi Parahyangan yang menjadi saksi kelahiran Dubyouth Soundsystem. Kejadiannya sekitar awal dekade 2000-an di studio Noin Bullet, tempat Shaggydog "bertapa" merekam album. Heruwa dan Metzdub berhasil meyakinkan diri masing-masing untuk membentuk duo elektronik yang membawakan drum & bass dengan tambahan bumbu dub dan reggae. Pemilihan namanya sendiri sudah merepresentasikan bagaimana musik yang akan diciptakan dan latar belakang kondisi saat itu.
"Nama Dubyouth itu sebenarnya dari bahasa slang Yogya. 'Dab' itu kan 'mas', sedangkan 'yut' itu 'rum'. Kalau digabung maka jadilah 'dabyut' yang artinya 'masrum' (magic mushroom). Kalau bahasa Inggrisnya sih pemuda-pemuda yang suka musik dub," jelas Metzdub yang disambut Heruwa kalau nama asli Dubyouth Soundsystem memang dari bahasa prokem Yogya. "Toh ngasih namanya juga sambil stoned," kekeh Heruwa.
Misi utama terciptanya Dubyouth Soundsystem terdengar sederhana. Mereka mengaku hanya demi bisa manggung di rave party atau home session tanpa harus bayar bersama teman-teman. Apalagi lingkungan mereka sendiri suka party tapi bukan penikmat house music. Daripada mengharapkan orang lain, maka lebih baik bergerak sendiri dengan membentuk duo yang menjawab kebutuhan.
Heruwa yang sudah terlebih dahulu dikenal di Shaggydog tidak menyangkal kalau Dubyouth Soundsystem memang menjadi wadah untuk musik kesukaannya sendiri. Berkat kehadiran alter ego ini, ia bisa memasukkan unsur electronic dengan synthesizer, drum machine, dan efek digital lainnya. Perubahan musik dari Shaggydog dengan reggae dan ska lalu ditambah unsur drum & bass, kemudian baru diolahnya dalam bentuk digital lewat bantuan software Fruity Loops yang Heruwa pelajari di komputer kantor kakaknya setelah melewati jam operasional.
Sedikit "naik kelas" dari party kecil-kecilan menjadi aksi di galeri seni dengan bayaran 200 ribu membuat mereka sadar kalau kini sudah waktunya membuat lagu sendiri dengan influence yang sudah dibawa masing-masing. "Lagu pertama kami tuh 'Love 2 C U Dance', habis itu 'Bomb da Town', dan berlanjut terus," kata Heruwa. "Influence kami sebenarnya sama aja, tapi akhirnya terus berkembang sampai saat ini." Sekarang Metzdub yang mengidolakan Lee "Scratch" Perry dan UK Apache malah lagi suka memerhatikan karya BTS yang menurutnya menjadi peleburan beragam tipe beat. "Musiknya mereka tuh easy listening. Hampir semua beat musik itu diambil jadi satu lagu. Tiba-tiba ada drum & bass, terus trap, house. Tapi diambil cheesy-nya gitu."
Rasa penasaran tentang siapa influence Dubyouth Soundsystem bisa kalian cari tahu dengan mudah. Dengarkan saja "Millenium Rude Boys" sambil membaca liriknya. Di sana ada Shy FX, Cutty Ranks, Congo Natty, Roni Size, dan pastinya Robert Nesta Marley yang disebutkan dalam kalimat penuh rasa hormat. "Sebenarnya masukin nama-nama itu karena awalnya cuma tahu mereka doang," ucap Heruwa seraya tertawa.
Menciptakan tiga lagu yang sudah disebut di atas serta "Dancehall King" dilakukan dalam tahun yang sama, namun lewat jalur promosi yang organik. Tidak ada strategi pembagian press release ke media atau menggunakan jalur Spotify yang belum sempat diciptakan. Mereka membagikannya secara gratis melalui Myspace. "Pas udah banyak yang download, [kami] stop tuh buat unduh gratis di Myspace, eh tapi udah disebarin sampe masuk playlist warnet," tambah Heruwa.
"Promosi" yang dipupuk sejak dini lewat jalur warnet dan panggung ke panggung dalam skala mikro membuat Dubyouth Soundsystem sadar sudah waktunya membuat album. Rentang waktu tujuh tahun dirasa cukup untuk kembali mengambil langkah besar. "Dulu kan bikin empat lagu pertama Dubyouth santai, ya. Cuma pas bikin album, ada rasa tanggung jawabnya. Spontanitasnya tuh agak kurang. Jadi rada kesusahan, termasuk nyari siapa yang mau mixing karena caranya beda," kata Heruwa yang ditambahkan Metzdub kalau Erix Soekamti yang menjadi penyelamat untuk urusan post production. "Dia pas mixing juga nggak tahu harus gimana. Pokoknya suaranya enak dan bayarnya bisa nanti hahaha."
Album Dubyouth akhirnya dirilis dengan bantuan distribusi demajors pada tahun 2012. Butuh waktu sekitar dua tahun hingga salah satu impian mereka berhasil terwujud. Efeknya pun terasa. Mereka melihat Dubyouth Soundsystem semakin besar berkat karya penuhnya. Namun rasa lapar yang bisa muncul akibat naiknya popularitas tidaklah terjadi. Ada kesadaran kalau musik yang dimainkan memang lebih baik dilakukan dalam panggung lebih kecil karena Dubyouth Soundsystem memang segmented.
"Waktu itu kita pernah main di Blora. Acaranya Gudang Garam. Panggungnya gede banget kayak buat band. Kita cuma berdua di tengah berdua hahaha. Jadi aneh. Orang-orang yang nonton juga nggak ngerti soal musiknya. Jadi kita merasa kurang sreg juga. Kalau diundang paling karena panitianya aja yang suka. Mereka nggak mikir penontonnya ngerti atau nggak hahaha," cerita keduanya tentang salah satu panggung paling memorable.
Saya mengenal Dubyouth Soundsystem sejak tahun 2008 ketika mendapatkan hadiah CD kompilasi dari Trax Magazine dan mengunduh kompilasi Yes No Wave secara legal. 15 tahun kemudian, Wild Ground Festival 2023 menjadi panggung pertama saya menikmati musik duo ini. Di sana mereka tampil lewat format band demi mengikuti Groove Armada dengan Metzdub pada gitar. Riuh rendah penonton membuat saya sadar bahwa Dubyouth Soundsystem memang bukanlah unit drum & bass biasanya. Ada daya magis yang membuat cerita perjalanan panjang mereka harus diabadikan dalam dunia maya.
Bertambahnya umur dengan asam garam blantika musik nasional membuat pertanyaan tentang seberapa besar ambisi mereka pun terucap. "Kalau aku pribadi sih emang dibawa santai aja. Dubyouth ini emang buat party dan musical experiment buatku sendiri. Walaupun akhirnya lumayan menghasilkan. Cuma semangat underground-nya sih yang mau dijaga. Karena hal-hal underground itu keren. Dalam arti culture, fashion, music-nya tuh keren, dan malah dicolong di dunia mainstream. These are our things," tegas Heruwa.
Ambisi yang dibawa santai cukup terlihat ketika vinyl album perdana mereka dirilis beberapa waktu lalu melalui dukungan Kamengski Records. Proses yang panjang, serta harus berurusan dengan lembaga bea cukai nan menyebalkan tidak sampai menurunkan misi mereka. Dubyouth Soundsystem masih akan terus melaju tanpa berusaha menekan gas terlalu dalam. "Kami masih punya satu collab lagi dengan MC dari Paris. Bakalan dirilis dalam format single nanti," jelas Heruwa yang lagi sering mendengarkan Chase & Status.
Beruntung, skena drum & bass yang tetap hidup di kota Yogyakarta cukup mendorong mereka untuk melaju. Anak muda berbeda generasi dari Heruwa dan Metzdub tetap mau menggerakan kolektif yang bermain dalam genre ini. Bahkan event drum & bass bertajuk LOCUS yang sempat digelar di Bali menjadi bukti kalau pasarnya memang ada. Setidaknya pergerakan itu bisa membuat hasrat berkarya Dubyouth Soundsystem tetap menyala sampai ujungnya nanti.
Hubungan Dubyouth Soundsystem dengan Yogyakarta membuat kita tahu harus berbuat apa ketika liburan ke sana. Selain datang demi kulineran sate klatak, gudeg koyor, atau mampir ke Warung Heru; kita bisa sadar kalau Dubyouth Soundsystem ada di kota ini. Seperti kata Metzdub, "Kalau mau seneng ya dengerin Dubyouth. Jadi kalo ketemu temen dan mau masalah hilang, dateng aja ke kami. Kami senang menjadi sosok seperti itu karena mungkin kami lelaki penghibur hahaha."
(tim/alm)