Interest | Art & Culture

Mengejar Kebaruan Bersama Dewa Alit dan Gamelan Salukat

Kamis, 22 Aug 2024 18:30 WIB
Mengejar Kebaruan Bersama Dewa Alit dan Gamelan Salukat
Mengejar Kebaruan Bersama Dewa Alit dan Gamelan Salukat/Foto: CXO Media/Almer Mikhail
Jakarta -

Budaya jelas tidak bersifat statis, namun terkadang beberapa produknya terasa sulit untuk bertransformasi. Terutama bagi kesenian tradisional, sepertinya ada rasa enggan untuk mendobrak "kesakralan" tradisi dari nenek moyang. Yang pasti, hal ini tidak berlaku bagi Dewa Alit dan pendekatannya terhadap gamelan. Terlahir dari keluarga seniman di Bali dan mulai menciptakan komposisi musik sejak remaja, Dewa Alit menggabungkan unsur-unsur budaya tradisional dengan perspektif yang memandang jauh ke depan.

Bersama kolektif Gamelan Salukat yang ia dirikan sejak 2007 untuk memainkan komposisi-komposisinya secara spesifik, Dewa Alit meruntuhkan semua persepsi yang kita mungkin miliki tentang musik gamelan. Terinspirasi dari sistem musik tradisional Bali serta musik Barat, Dewa Alit merancang seperangkat gamelan dengan tuning system yang unik—memadukan dua skala gamelan tradisional Bali. Dalam tiga komposisinya, "Ngejuk Memedi", "Likad", dan "Siklus" yang dipertunjukkan pada Chasing the Phantom di Salihara International Performing-arts Festival 2024, Dewa Alit dan Gamelan Salukat memperdengarkan sound mereka yang tidak bisa direplikasi.

Dengan ansambel yang seluruhnya terdiri dari instrumen perkusi, suara yang dihasilkan oleh Gamelan Salukat kerap tak terdengar seperti gamelan. Komposisi yang dinamis dari Dewa Alit kadang terdengar mengalun dengan tenang dan dreamy, lalu pada bagian lain menjadi urgen. Banyak lapisan nada kompleks yang hanya bisa diapresiasi secara penuh ketika menyaksikan penampilan langsung Gamelan Salukat. Namun begitu, walaupun mata kita bisa melihat dari mana seluruh bunyi datang, bukan berarti telinga kita bisa mencerna karakter bebunyian tersebut.

Dalam banyak bagian, musik Gamelan Salukat terasa lebih cocok untuk melatari film fiksi ilmiah. Tak jarang ada nada yang muncul tanpa bisa diprediksi, memberikan musik mereka karakter "glitchy" yang sulit untuk didefinisikan. Struktur komposisi dan pola ritmenya pun tidak biasa, menjadikan penampilan Gamelan Salukat—yang bagaikan mesin di mana semua komponennya berjalan dengan sempurna melengkapi satu sama lain—semakin impresif. Terlebih lagi, mereka tidak mengikuti lembar partitur konvensional seperti pada orkestra.

Terdapat motif yang berulang dalam komposisi-komposisi yang dimainkan, mengalun timbul-tenggelam namun hadir secara konstan; dengan latar ambient, bersahutan dengan notasi lain, hingga di tengah gempuran nada yang bermain intens. Jika secara spirit musik Gamelan Salukat kadang terasa seperti free jazz, nyatanya seluruh bagian dari komposisi-komposisinya terstruktur secara intensional. Setiap bagian dari ansambel seakan berdialog dengan satu sama lain, kadang dalam harmoni, kadang dalam disonansi. Bahkan ketika mereka berhenti bermain, terdapat gaung nada yang menggantung di udara—membuat mereka yang menonton terus menebak akan ke arah mana komposisi ini membawa mereka selanjutnya.

Dengan tajuk Chasing the Shadow, wajar rasanya jika Jika perasaan urgen yang timbul ketika menyaksikannya terasa persis seperti mengejar sesuatu. Tentu, sang komponisnya pun memiliki tujuan yang dikejar dalam kekaryaannya. Nama pertunjukan yang juga merupakan judul album terakhir Dewa Alit dan Gamelan Salukat ini merupakan translasi langsung dari "Ngejuk Memedi", yaitu mengejar makhluk halus, keberadaan mistik, atau sesuatu yang eksistensinya tidak bisa kita pahami. Dalam konteks ini, sepertinya tidak gegabah jika menyimpulkan bahwa yang mereka kejar adalah kebaruan.

"Bingkai tradisi yang sangat kuat mengikat diri kita, terutama cara pikir. Kalau kita tidak membuka itu dengan cara baru, dengan bahasa baru, maka kita akan tetap ada di daerah itu. Makanya, kami memakai satu bahasa baru di sini," ungkap Dewa Alit dalam percakapan bersama CXO Media setelah pertunjukan. Mengenai apakah terdapat penolakan dari pelaku gamelan tradisional, ia secara langsung menjawab bahwa hal tersebut pasti terjadi, namun bukan itu yang menjadi perhatiannya. "Kami kan membuat sesuatu yang baru karena mau [hal tersebut] tetap hidup. Ada perjuangan ke masa depan yang perlu kami capai, bukan sekedar berputar di tempat."

Pertunjukan Chasing the Shadow di SIPFest pada tanggal 20 dan 21 Agustus 2024 sendiri merupakan kali pertama Gamelan Salukat bermain dengan instrumen mereka sendiri di Jakarta. Mayoritas penampilan mereka di luar Bali menggunakan gamelan tradisional yang disediakan oleh penyelenggara acara, sehingga karakter suara yang dihasilkan tidak bisa mengekspresikan identitas mereka secara penuh—menjadikan penampilan mereka di SIPFest sangat istimewa. Selain Dewa Alit dan Gamelan Salukat, masih terdapat sejumlah penampil yang menarik di SIPFest 2024. Kunjungi sipfest.salihara.org untuk melihat daftar lengkap penampilan dan rangkaian acara.

(alm/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS