Interest | Art & Culture

Mendengar 17 Lagu untuk Menjadi Indonesia

Sabtu, 17 Aug 2024 10:37 WIB
Mendengar 17 Lagu untuk Menjadi Indonesia
17 Lagu Menjadi Indonesia/ Foto: Istimewa
Jakarta -

Rasa cinta kita terhadap tanah air tidak berbatas pada bulir-bulir air yang menitik di mata ketika "Indonesia Raya" berkumandang saat Timnas Indonesia berlaga, apalagi yang hanya diputar setiap tanggal 17 Agustus di Istana Merdeka. Maksudnya, tanpa perlu terbang ke IKN, karena upacara seremonialnya sudah dipindah ke sana, kita masih bisa menikmati makna Indonesia yang lebih nyata tanpa harus menunggu beberapa momen sekali. Berikut adalah 17 lagu pilihan CXO Media yang punya setalian makna tentang kehidupan berbangsa di Indonesia.

"Peacock Dog" (Philosophy Gang, 1977) - Harry Roesli Gang

Sekilas, idiom "Peacock Dog" akan terdengar janggal apabila kita sedang membayangkan bangsa Indonesia. Namun, lewat bebunyian kaya ragam-berisi bauran irama rock, funk, jazz, folk, blues, hingga R&B-di dalam lagu ini, juga dengan lirik kritis berbalut satire di sana-sini; niscaya, siapapun yang mendengarnya segera sadar kalau: metafora burung gaib, Garuda yang maha gagah, nyatanya tidak lebih tepat disandingkan dengan lima sila mulia.

Justru sebaliknya, jika kita mau memandang cermat kondisi Indonesia, baik pada situasi kiwari maupun sewaktu Harry Roesli Gang perdana melantangkan "Peacock Dog" tahun 1973 silam-semasa rezim penguasa Indonesia kedua sedang galak-galanya, maka khayalan mengenai Merak yang penuh pesona namun sering dirasuki sifat menyebalkan Anjing, mungkin akan tampak lebih relevan. - RA

"Di Udara" (Efek Rumah Kaca, 2007) - Efek Rumah Kaca

Album perdana Efek Rumah Kaca menjelma sebagai mesin waktu dari isu-isu di Indonesia pada dekade 2000-an, termasuk "Di Udara" yang menjadi bentuk penggambaran hidup aktivis Munir Said Thalib hingga harus gugur di ketinggian 40.000 kaki. Tidak banyak bermain lirik implisit, Efek Rumah Kaca menjadikan "Di Udara" bukan hanya sebagai lagu catchy tapi juga dipenuhi rasa mencekam terhadap ancaman dari melawan ketidakadilan di bumi pertiwi. - TM

"Bongkar" (SWAMI 1, 1989) - Swami

Tanpa perlu berbelit kata, "Bongkar" adalah suara paling murni yang pernah dinyanyikan dari, oleh, dan untuk rakyat Indonesia, ketika telah muak dengan para pesuruh negara yang kian pongah dan lalim saat memerintah. "O o ya o...." - RA

"Republik Sulap" (Presiden, 2009) - Tony Q

Mengandalkan irama yang medok, Tony Q mempersembahkan musik Reggae kepada Indonesia dengan penuh cinta, rasa damai, tanpa luput dari elemen perlawanan. Salah satu buktinya, terwakilkan saat mantra "Bimsalabim abrakadabra/ Ketepus" dicengcet-cengcetkan sepanjang "Republik Sulap" mengakun halus namun tajam ke segala sisi. Entah, sang empunya sedang merekam fenomena ajang pencarian pesulap berbakat Indonesia di masa itu; atau menyentil kehebohan magic "percandian" dari para politisi nakal; yang pasti, kehadiran "Republik Sulap" di tahun Pemilu itu laik diputar ulang agar kita tidak mudah melupakan kejanggalan yang pernah terjadi di negeri ini. - RA

"Mentari" (Lagu-lagu Terbaik, 2024) - Iwan Abdurahman

Semerdu-merdunya balada ialah yang membicarakan kebenaran. Maka, jika ada balada yang merdu menyuarakan kebenaran, maka "Mentari" milik Iwan Abdulrachman adalah jawaban teratasnya. Kendati tak mendengung berulang-ulang di TikTok, siapapun yang pernah mendengar atau ikut menyanyikannya saat turun ke jalan pasti tahu, betapa lagu-yang diciptakan sekitar akhir 70an-ini punya gelora yang mampu membakar hati. "Hari ini hari milikku/ Juga esok masih terbentang/Dan mentari kan tetap bernyala/Di sini, di urat darahku//" - RA

"Pemuda" (Pemuda, 1979) - Chaseiro

Bayangan tentang hidup bermasyarakat yang harus bersatu dan berbudaya akan selalu muncul saat mendengar "Pemuda" yang awalnya dimaksudkan untuk profesi wartawan. Perubahan makna di dalamnya malah membuat karya ikonik Chaseiro ini membuat kita sadar bahwa jangan sampai ada konflik yang membuat kita semua pecah, karena tidak ada hal yang paling menakutkan daripada melihat Indonesia tercerai-berai. - TM

"Marching Menuju Maut" (The Brandals, 2003) - The Brandals

Lagu pertama dari album perdana yang sudah menjelaskan seberapa gila lirik yang akan didengarkan. Ketika aktivitas long march yang identik dengan demonstrasi akan selalu melawan maut, The Brandals mengubahnya secara deskriptif bahwa kita tinggal di nation of disaster. Apakah masih sampai sekarang? - TM

"To the So Called the Guilties" (To the So Called the Guilties, 1967) - Koes Bersaudara

Perkara keasikan memainkan irama musik Barat, empat orang Koes dijebloskan ke hotel prodeo. Pasca bebas akibat pergantian rezim, bunyi "Ngak Ngik Ngok" ala Koes yang semula tabu lantas dikonversi ke nada-nada yang kian segar, liar, dan lebih brilian. Dalam hal ini, lagu "To the So Called the Guilties" dari album berjudul sama seolah menandakan pencapaian: musik rock Indonesia telah berhasil merangkum ekspresi perlawanan yang dimuntahkan rakyat. Gilanya, album sarat balas dendam ini perlahan diakui sebagai salah satu mahakarya garage rock dunia.

"Masalah Kami di Negeri Ini" (III, 2016) - Rajasinga

Unit grindcore Rajasinga tidak hanya mau bersenang-senang sambil begajulan. Ada masanya untuk memberikan teguran kepada pembesar kalau hajat hidup masyarakat terlalu dipenuhi masalah, dan kamilah yang harus merasakannya. Kalau Rajasinga saja sudah mulai menaikkan suara kegelisahan mereka terhadap para penguasa, memang negeri ini sedang tidak baik-baik saja. - TM

"Resesi" (Resesi, 1983) - Chrisye, Eros Djarot, Yockie S.

Kolaborasi trio penuh talenta menggambarkan situasi depresif yang hinggap di antara masyarakat Indonesia. Peliknya, wacana di dalam "Resesi" menyerupai siklus yang tidak berhenti berulang hingga zaman sekarang. Namun untungnya, selagi melapur masalah aktualisasi diri, lagu 4 menit 48 detik yang penuh jebak-jerumus dunia ini ditutup dengan secercah nasihat: mengajak setiap kaum muda untuk mulai menatap masa depan dengan lebih terang. - RA

"Sistem" (MK II, 1998) - Puppen

Tarikan nafas terakhir Orde Baru menjadi masa yang melahirkan berbagai peristiwa simbolik yang patut direkam dalam bentuk alunan nada. "Sistem" menjadi representasi perjalanan panjang perlawanan yang telah muak atas sistem represif penguasa. Saat negara hadir dengan atmosfer yang mengancam, maka tinggal menunggu bom waktu untuk meledak. - TM

"Huma di Atas Bukit" (God Bless, 1975) - God Bless

Hapus "Rumah Kita" dari daftar lagu yang menggambarkan Indonesia karena "Huma di Atas Bukit" membawa kita ke cinta tanah air yang lebih alami. Puitisnya lirik tentang alam tanah air disambut alunan piano mendiang Yockie Suryo Prayogo nan monumental menjadi bentuk sempurna dari representasi musik rock era 70-an. Tutup matamu sambil merefleksikan kalau masih ada rasa bersyukur untuk tinggal di tanah ini. - TM

"Kembali Ke Akar" (Archipelago Rebels, 2021) - Navicula

Nusantara sebagai negara kepulauan yang diberkahi kekayaan alam lebih sering dikhianati oleh insan-insan yang lupa cara menjadi bijak. Navicula mengingatkan kita untuk jangan pernah mengkhianati anugerah-Nya terhadap Indonesia. Lebih baik kita mulai berubah mulai sekarang daripada sabda alam terlanjur menunjukkan kemurkaannya. - TM

Nyanyikan Lagu Perang (Blacklight Shines On, 2007) - Koil

"Sampai kapan kau akan terus menunggu / Mendengar buaian lagu-lagu merindu / Dari seorang biduan yang punya banyak pasangan / Dari seorang pahlawan yang menambah garis kemiskinan / Dari seorang sastrawan yang menulis sejarah kebohongan / Dari seorang bersinar hitam yang mengaku dirinya Tuhan".

Jadi, mau sampai kapan? - TM

"Hari Terakhir Peradaban" (Hits Kitsch, 2014) - FSTVLST

Farid Stevy dengan kata-katanya yang ilustratif seakan memaksa kita untuk mengaku, bahwa manusia hari ini, tanpa peduli gender, latar tradisi, profesi, religi, alias kita semua, adalah makhluk yang hidup di gelembung materialisme absolut. "Seperti pesta kostum yang berarakan/Dalam karnaval kemunduran/Seperti pesta megah yang menghajatkan/Hari terakhir peradaban". Tidakkah, kita? - RA

"Gossip Jalanan" (PLUR, 2004) - Slank

Harmonika bluesy yang bunyi hampir sepanjang lagu hanya kalah dengan ayat-ayat faktual yang dinyanyikan Kaka dari satu bagian ke bagian lain di seluruh lagu ini. Entah, sejatinya lagu keempat dari pada album ke-13 Slank ini diciptakan untuk mengurai fakta, meramalkan masa depan, atau malah menyebar gosip yang gobloknya malah diamini para penjahat sekarang. Intinya, kalimat "Kacau balau negaraku ini" terdengar lebih jujur daripada lagu anyar Slank soal si anu yang dihadiahi istilah "baik".

"Bola Raya" (Dosa, Kota, dan Kenangan, 2015) - Silampukau

Melalui dawai-dawai akustiknya, duo Silampukau mempersembahkan se-pigura kenangan terbaik untuk mantan anak-anak Indonesia yang pernah bercita-cita menjadi pemain sepak bola sungguhan. Sungguh, lagu ini mampu melampaui standar puitis. Sebab, selain memanggil romantisme permainan bola di aspal yang bergawang sandal, kritik menukik mengenai fasilitas sepak bola bertarif mahal juga disepak keras, sampai mencetakkan pernyataan tegas "Kami hanya main bola/persetan dengan gedungmu!" di peluit akhir.

(cxo/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS