Setiap dua tahun sekali, Komunitas Salihara menyelenggarakan gelaran selama sebulan yang menghadirkan seniman maupun kelompok seni tari, teater, dan musik mulai dari yang muda hingga yang sudah ternama. Gelaran ini dinamai Salihara International Performing-arts Festival, atau singkatnya SIPFest. Setelah hadir secara daring pada tahun 2020 ketika pandemi COVID-19 dan secara hibrida pada tahun 2022 ketika masa pemulihan, tahun 2024 menjadi momen di mana SIPFest akan kembali hadir secara luring sepenuhnya.
"Orde Seni Baru" dan Kebebasan dalam Berkarya
Tema sekaligus jargon "Orde Seni Baru" yang hadir di SIPFest 2024 ini mengacu pada pernyataan Direktur Program Komunitas Salihara Arts Center, Nirwan Dewanto, bahwa kita—secara kolektif—tidak hanya memiliki orde politik. Ada pula orde seni yang dapat mengajak kita memperbaharui diri dan membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutup oleh kekuasaan resmi.
"Seni bukan hanya mengatasi politik, tapi juga mengisi ruang-ruang yang tidak diisi oleh politik. Seni memberikan alternatif terhadap klise dan kemandegan yang dijajakan oleh politik. Seni mengajak kita memperbaharui diri kita dan masyarakat kita. Seni itu menggoda, mengejutkan, sekaligus menyenangkan. Membuka ruang-ruang kreativitas yang tertutupi kekuasaan resmi. Kita memimpikan orde yang lain melalui kesenian. Kita menyurung orde kesenian, alih-alih orde politik, untuk mengembangkan kebangsaan dan kemanusiaan," ungkap Nirwan Dewanto.
Gelaran ini sendiri bisa dibilang sebagai puncak dari seluruh program Komunitas Salihara selama dua tahun ke belakang persiapannya. Selama kurang lebih sebulan, SIPFest akan menghadirkan rangkaian acara yang menampilkan ragam pertunjukan seni dari negara-negara seperti Australia, Jerman, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia.
Penampilan pertama yang akan membuka SIPFest pada 3 Agustus 2024 adalah tari KUSUKUSU II oleh penari dan koreografer asal Papua, Jecko Siompo, dan Animal Pop Family. Bentuk tari Animal Pop sendiri mengambil inspirasi dari gerak-gerik binatang, dipadukan dengan gerak tradisi modern dan animasi. Sehari sebelum penampilan tari, yaitu pada 2 Agustus 2024, Jecko dan Animal Pop Family juga akan mengadakan lokakarya tari yang dapat diikuti oleh peserta mulai dari usia tujuh tahun. Seluruh pemegang tiket pertunjukan KUSUKUSU II pun bisa mengikuti lokakarya.
Adapun penampil lain yang akan bergantian hadir sepanjang durasi SIPFest antara lain Lucy Guerin Inc. (Australia), CCOTBBAT (Korea Selatan), Chong Kee Yong & Ensemble Studio C (Malaysia), Numen Company (Jerman), Jason Mountario & Trio, Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, dan Teater Koma (Indonesia).
Daftar penampilan dan lokakarya, detail agenda, serta jadwal lengkap rangkaian acara SIPFest 2024 bisa dilihat langsung di situs resmi sipfest.salihara.org. Di laman yang sama, pengunjung juga bisa langsung melakukan pemesanan tiket atau reservasi dengan harga mulai dari Rp75.000 (pelajar) hingga Rp155.000 (umum).
Rangkuman Sejarah Skenografi Indonesia
Sebagai "intro" bagi gelaran SIPFest 2024, Galeri Salihara juga masih menampilkan pameran Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia yang merangkum sejarahskenografi di Indonesia selamaberdekade-dekade ke belakang. Jika istilahskenografi masih terdengar asing, maka memperkenalkannya kepada publik lebih luas merupakan salah satu hal yang dilakukan pameran ini dengan baik.Skenografi,sederhananya, merupakan praktik membangun lingkungan atau atmosfer panggung yang melatari pertunjukan teater, musik, dan tari.Perwujudannya bisa berbentuk pengaturan komposisi tata panggung, cahaya, suara, unsur gambar, hingga aroma.
Suasana ruang pamer Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia/ Foto: CXO Media/Almer Mikhail |
Porsi besar pameran ini berfokus pada karya-karya Roedjito yang sangat signifikan dan berpengaruh di disiplin skenografi Indonesia. Roedjito juga merupakan salah satu pendiri jurusan Seni Rupa di LPKJ—sekarang IKJ—di mana ia mengajar skenografi. Ketika memasuki ruang pamer pun, pengunjung langsung disambut oleh jaring-jaring yang menggantung dari langit-langit galeri. Instalasi ini merupakan replika dari elemen panggung pementasan Dhemit (1987) oleh Teater Gandrik. Jaring-jaring tersebut merupakan representasi dari sulur-sulur pohon preh atau beringin, yang konon merupakan tempat tinggal para dedemit atau makhluk halus.
Naskah Dhemit sendiri bercerita tentang rencana penebangan pohon tersebut oleh manusia, yang akan berujung pada hilangnya tempat tinggal para makhluk halus. Kisah ini sangat kontekstual dengan tahun pementasan, yaitu masa di saat Orde Baru sedang gencar-gencarnya melakukan penggusuran di mana-mana. Jika replika pohon preh di pameran ini dibuat dari jaring baru, pada pementasan asli Dhemit jaring yang digunakan adalah bekas jaring pengaman yang biasa ditemui di proyek pembangunan.
Ada pula replika bongpay atau nisan karakter Sampek dari pementasan ikonik Teater Koma, Sampek Engtay. Karya gubahan Nano Riantiarno yang pertama kali dipentaskan pada tahun 1988 ini diambil dari cerita rakyat Tiongkok, yang diadaptasi ke dalam konteks lokal. Karakter Sampek dalam pementasan ini berasal dari Pandeglang, sedangkan Engtay berasal dari Serang—kemudian keduanya bertemu di Jakarta. Pada masa tersebut di mana memunculkan identitas Tionghoa tengah dilarang keras, pelarangan penayangan Sampek Engtay oleh negara menjadi wajar. Uniknya, Sampek Engtay kemudian malah menjadi karya Teater Koma yang paling sering dipentaskan setelah jatuhnya Orde Baru, bahkan hingga ratusan kali.
Salah satu bagian lain yang patut diperhatikan adalah sudut yang memperlihatkan irisan arsitektur dan skenografi. Beberapa yang disoroti adalah Jay Subyakto dan Avianti Armand. Dalam pementasan Ariah (2012) di Monas, Jay Subyakto merancang permukaan panggung miring yang menantang keseimbangan para penari yang tampil. Bentuk-bentuk geometris, garis-garis saling-silang, hingga ruang-ruang yang ketat menjadi ciri khas rancangan Jay Subyakto yang merefleksikan latar belakangnya sebagai arsitek. Beda halnya dengan Avianti Armand yang banyak membangun ruang dengan penggunaan ilusi termasuk cahaya dan warna.
Terlepas dari minimnya dokumentasi bagi skenografi pada dekade-dekade lalu, Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia merangkainya secara apik. Melalui pameran ini, pengunjung bisa melihat perkembangan disiplin yang berperan besar di balik layar teater ini. Rupa Panggung: Sepilihan Skenografi Indonesia masih bisa dikunjungi hingga 4 Agustus 2024, dengan harga tiket Rp25.000 (pelajar) dan Rp35.000 (umum).
(alm/tim)