Sejak kecil, kita sudah diperkenalkan dengan berbagai sosok hantu perempuan yang menakutkan dan menebar teror, baik itu melalui mitos lokal yang berkembang di lingkungan sehari-hari ataupun melalui film horor yang ditayangkan di layar lebar. Misalnya saja, ada sosok Wewe Gombel yang dipercaya sebagai roh jahat perempuan yang suka menculik anak-anak ketika matahari sudah tenggelam. Selain itu, ada juga Kuntilanak—hantu paling populer se-Asia Tenggara yang sering muncul di film horor Indonesia.
Dalam sinema lokal, sosok Kuntilanak setidaknya sudah 9 kali diangkat ke dalam film; Kuntilanak (2006), Kuntilanak 2 (2007), Kuntilanak 3 (2008), Keranda Kuntilanak (2011), Kuntilanak 1 (2018), Kuntilanak 2 (2019), Mangkujiwo (2020), Kuntilanak 3 (2022), dan Mangkujiwo 2 (2023). Perempuan memang kerap dimunculkan sebagai hantu dalam film horor Indonesia. Pun dalam film yang tidak berangkat dari mitos lokal dan menghadirkan sosok hantu yang orisinil, perempuan lagi-lagi mengambil peran sebagai hantu. Contohnya dalam film Pengabdi Setan (2017), di mana hantu utamanya adalah sosok "ibu" yang dibalut dengan kerudung putih.
Dalam penelitian yang dilakukan Justito Adiprasetio dan Annissa Winda Larasati (2022), ditemukan bahwa dari 559 film horor yang diproduksi selama periode 1970-2019, sebanyak 338 film menghadirkan sosok perempuan sebagai hantu utama. Jumlah ini amat signifikan apabila dibandingkan dengan film horor yang menghadirkan laki-laki sebagai hantu, yaitu sebanyak 135 film, serta film horor yang menghadirkan laki-laki dan perempuan sebagai hantu yaitu 86 film.
Menurut analisa Adiprasetio dan Larasati, dalam film-film ini perempuan kerap digambarkan sebagai objek hasrat laki-laki, sumber masalah, dan korban kekerasan—sampai akhirnya mereka menjadi arwah gentayangan yang menuntut balas kepada orang-orang yang telah menyebabkan kematian mereka. Jadi, ada paradoks yang menyelimuti representasi perempuan di film horor. Mereka digambarkan sebagai korban, tapi di sisi lain mereka juga digambarkan sebagai hantu yang memiliki sisi monstrous.
Memang, ada banyak film horor yang berangkat dari mitos dan legenda urban. Dengan kata lain, dominasi hantu perempuan dalam sinema Indonesia sebenarnya merupakan cerminan akan konteks sosial budaya masyarakat Indonesia yang patriarkis. Bagaimana tidak, perempuan hanya memiliki dua opsi—menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan atau menjadi hantu yang meneror publik.
Namun, fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Sosok monster perempuan dalam mitos lokal dan sinema dunia juga memiliki pola yang sama. Sebut saja sosok Medusa yang berasal dari mitologi Yunani. Dalam berbagai adaptasi budaya pop, Medusa digambarkan sebagai perempuan licik berambut ular yang akan mengubah orang menjadi batu. Padahal, ia merupakan "korban" dari mitologi yang bias gender dan misoginis.
Jess Zimmerman dalam buku yang berjudul Women and Other Monsters: Building a New Mythology, menulis bahwa figur monster perempuan adalah bagian dari dongeng pengantar tidur yang diciptakan oleh masyarakat patriarkis untuk masyarakat patriarkis. Melalui kisah yang diceritakan terus-menerus ini, imajinasi terhadap perempuan terus-menerus direproduksi dan akhirnya menjadi suatu norma yang diterima.
Ada imajinasi bahwa perempuan adalah monster dan monster adalah perempuan. Di satu sisi perempuan diobjektifikasi untuk memuaskan hasrat seksual laki-laki. Di sisi lain, ketika perempuan menjadi korban kekerasan, ialah yang dicap sebagai pelaku. Perempuan selalu menjadi pihak yang disalahkan, bahkan atas perbuatan laki-laki. Pada akhirnya, dominasi hantu perempuan dalam film horor Indonesia bukanlah kebetulan belaka. Melainkan sebuah gejala akan bagaimana masyarakat kita memandang dan memperlakukan perempuan.
(ANL/DIR)