Tahun 2012 memiliki nilai sejarah yang bermakna untuk dunia maya Indonesia. Tidak, saya tidak sedang membahas tentang kesuksesan karier politik Joko Widodo memimpin Jakarta yang didukung oleh "pasukan" online hingga membawanya seperti sekarang ini. Melainkan, netizen yang dikejutkan film pendek arahan Joko Anwar berjudul Siksa Kubur (Grave Torture). Langkah yang langka dari pria yang juga merilis Modus Anomali pada tahun yang sama ini seperti memberikan kita pancingan soal bagaimana kreativitasnya ketika membuat film horor. Tujuh menit menyiksa dari film pendek itu sebenarnya sempat terkubur di internet, namun semuanya berubah ketika akhirnya edisi film panjang dari Siksa Kubur dirilis pada Lebaran 2024.
Perjalanan tahun 2012 ke tahun 2024 memakan waktu 12 tahun, yang artinya Joko Anwar telah bertumbuh menjadi sutradara yang semakin nyaman dipeluk industri, tapi untungnya tidak melupakan esensi gaya bertuturnya melalui gambar bergerak. Kesuksesan Pengabdi Setan, Perempuan Tanah Jahanam, dan Pengabdi Setan 2: Communion sudah memberikan kita gambaran antusiasme penonton saat Siksa Kubur dirilis. Didukung copywriting "Anda Akan Percaya" yang mengarahkan kita untuk mempercayai siksa kubur, ketakutan yang dibangun dalam film ini apakah benar adanya?
Review Siksa Kubur
Storyline Siksa Kubur diambil dari ajaran agama Islam, sebuah fondasi yang sangat tepat untuk disajikan untuk masyarakat negara Islam terbesar kedua, yang membuat saya mulai mengukur seberapa jauh pengaruh agama di dalam film ini. Long story short, hadirlah kakak beradik bernama Sita dan Adi-diperankan oleh Widuri Puteri-Muzakki Ramdhan saat masih kecil, lalu dilanjutkan Faradina Mufti-Reza Rahadian ketika sudah dewasa-yang masih mencari jawaban atas ancaman siksa kubur bagi manusia setelah mati.
Kematian orang tuanya yang menjadi korban bom bunuh diri karena dalih agama semakin memperkuat Sita untuk menemukan jawaban yang terus menjadi beban hidupnya selama ini. Hidupnya yang berputar 180 derajat membuatnya memiliki misi khusus: adakah siksa kubur untuk para pendosa?
Siksa Kubur dimulai dengan intro scene yang sangat terang. Sama sekali jauh dari apa yang biasa Joko Anwar lakukan. Dan hal itu sudah membuat saya sendiri berburuk sangka, tentang apa yang akan terjadi setelahnya. Semuanya yang terang akhirnya ditarik ke dalam kegelapan. Membekasnya intro scene Siksa Kubur terus bereskalasi hingga menciptakan efek slow burn yang benar-benar terasa. Babak pertama film ini melahirkan kegelisahan yang aneh. Ada rasa tidak nyaman saat kita dibawa semakin masuk ke perjuangan hidup Sita-Adil yang dikelilingi orang-orang berdosa, sekaligus kekuatan agama yang dampaknya sempat tidak dirasakan mereka berdua.
Film Khas Joko Anwar
Banyak sekali hal positif yang bisa di-highlight dari film ini. Faradina Mufti sukses membuat satu catatan emas lewat kemampuan beraktingnya. Sempat melihatnya dalam Perempuan Tanah Jahanam, penampilan di sana masih jauh dari potensi terbaiknya. Kita akan melihat bagaimana ia bisa menjadi orang paling ignorant sepanjang film, sekaligus menjadi orang paling merasa takut karena kepercayaannya selama ini. Bahkan saya yang nonton pun ikutan takut karena melihat dia ketakutan. Inilah panggung terbesar Faradina Mufti.
Reza Rahadian yang sempat mendapatkan cibiran karena "Reza lagi, Reza lagi..." sama sekali tidak mengecewakan. Perannya sebagai Adil dewasa yang harus menjadi pegawai di kamar mayat selalu membuat saya tidak nyaman. Apa yang ia kerjakan saja sudah tidak lazim, apalagi saat nanti kamu mengetahui nasib hidupnya ketika sudah dewasa. Jangan tutup mata saat long scene yang harus diakui, bisa menjadi momen paling penuh komentar spontan dari penonton.
Nama-nama besar lain di Siksa Kubur memainkan porsi yang tepat. Tidak ada yang mengambil potongan "kue" terlalu berlebihan. Untung saja hasilnya seperti itu. Inilah kenapa sempat ada bayangan bahwa film ini hampir menjadi film Joko Anwar terbaik. Coba kalian rasakan sendiri, bagaimana satu jam pertama sudah sangat menghipnotis. Saya pun sempat memperhatikan scoring yang membekas karena seperti memberitahu kita bahwa akan ada perubahan tensi untuk sisa film ini. Pasang kuping dan mata kalian. Begitu pun dengan dialog yang diutarakan karena bisa membuat kita lebih memahami kenapa begini, kenapa begitu.
Namun, seperti film khas Joko Anwar, juga ada penurunan kekuatan storyline dalam 30 menit terakhir film ini. Transisi yang terlalu padat untuk segera menyelesaikan cerita membuat kesempatan emas menjadi film terbaiknya terlewat sudah. Tren yang masih ia jaga hingga Siksa Kubur ini pun cukup disayangkan.
Untungnya, permainan khas Joko Anwar tetap terasa. Jumpscare-nya tidak banyak, tapi tepat guna. Teknik jumpscare yang dipakai masih mengandalkan permainan ucapan, ruang kosong di layar, dan perpindahan kamera yang cepat. Jangan, kamu jangan berpikir ini bentuk repetitif dari film horornya selama ini. Akuilah kalau ini gaya jumpscare Joko Anwar yang memang works. Jadi atas dasar apa harus diubah? "Don't change the winning team", jika saya boleh meminjam kutipan dalam dunia sepak bola.
Tagline "Anda Akan Percaya" menjadi sangat tepat untuk menggambarkan after effect dari Siksa Kubur. Setelah credit title muncul, masih ada perasaan tidak nyaman yang seakan mempertanyakan jalan berpikir para penonton yang masih melangsungkan perintah agama. Bahkan saya sempat merenungkan dalam hati, "Gila, buat orang yang masih mengaku punya agama, pasti bakalan takut sama film ini." Jika sudah ada niat menonton Siksa Kubur, segerakanlah. Anda pasti percaya.
(tim/alm)