Dalam film-film Indonesia yang mengambil latar wilayah Timur, ada kecenderungan di mana pemandangan alam dan kekayaan budaya menjadi sorotan utama. Kecenderungan kedua, film-film ini kerap diperankan oleh aktor dan aktris ibu kota yang didandani seperti orang Timur. Dengan kata lain, film-film Timur kerap kali dibingkai melalui kacamata orang Jakarta atau orang Jawa, tanpa adanya representasi yang akurat.
Dalam film Women from Rote Island, Jeremias Nyangoen berusaha keluar dari kecenderungan-kecenderungan tersebut, sembari menyuarakan isu kekerasan berbasis gender. Meski keindahan Rote tetap dihadirkan, tapi aspek ini disandingkan dengan permasalahan kompleks yang dihadapi oleh masyarakatnya. Film ini berupaya untuk menggambarkan sebuah realita pahit, bahwa di wilayah manapun dan dalam budaya apapun, tingginya kasus kekerasan terhadap perempuan masih menjadi momok. Dan, siapapun bisa menjadi pelakunya.
Women from Rote Island memusatkan cerita pada tiga karakter perempuan, yaitu Orpa (Linda Adoe) beserta kedua anaknya, Martha (Irma Rihi) dan Bertha (Bani Sallum Ratu Ke). Nasib buruk terus-menerus mengetuk pintu rumah keluarga Orpa. Dimulai dari kematian Abram, suaminya. Orpa bersikeras menunda pemakaman Abram meski harus melanggar adat lantaran Abram berpesan ia baru boleh dikubur setelah Martha pulang.
Rasa kecemasan yang dialami keluarga Orpa akhirnya menemui titik terang setelah Martha yang bekerja sebagai TKI berhasil pulang ke Rote. Namun, Martha pulang dengan kondisi mental yang terguncang, menandakan bahwa ia mengalami pengalaman traumatis ketika bekerja sebagai di Malaysia. Ia lantas mendapat stigma sebagai "perempuan gila" dan dicap berbahaya oleh para warga. Kondisi ini membuat Martha berada dalam posisi yang rentan, dan merupakan awal mula dari kesengsaraan yang dialami oleh keluarga Orpa.
Kekerasan yang Membangkitkan Kegelisahan
Ketidaknyamanan dan rasa gelisah adalah perasaan yang mendominasi sepanjang film ini diputar. Pasalnya, karakter yang diperankan oleh Irma Rihi mengalami kekerasan seksual secara bertubi-tubi. Adegan kekerasan seksual adalah adegan yang sulit untuk ditelan, dan berpotensi membangkitkan trauma bagi mereka yang pernah mengalami pengalaman serupa.
Penderitaan Martha yang berlapis ini membangkitkan rasa pilu yang sulit untuk dicerna. Sedangkan, sampai akhir film pun Martha tetap menjadi korban, tanpa diberi kesempatan untuk menjadi berdaya. Hal ini cukup disayangkan, sebab Irma Rihi memberikan performa yang prima dalam debut aktingnya. Sedangkan, karakternya terlampau disederhanakan menjadi "perempuan gila korban pelecehan".
Keputusan untuk menempatkan Martha sebagai korban dan bukan penyintas menyimpan sebuah dilema. Di satu sisi, bisa saja ini adalah cerminan dari realita, bahwa di wilayah-wilayah pelosok, korban kekerasan seksual yang tidak bisa mengakses pendampingan psikologis akan selamanya terjebak dalam lubang trauma tanpa adanya tali penolong. Namun di sisi lainnya, bukankah film juga berfungsi sebagai medium untuk bercerita, dan bukan hanya sebagai cerminan atas realita yang suram?
Kekurangan dari segi storytelling juga terlihat dari beberapa adegan yang seharusnya bisa menjadi titik balik yang memberdayakan, tapi justru terasa performatif. Seperti misalnya, saat Orpa memimpin mama-mama Pulau Rote dalam aksi long march ke kantor polisi. Adegan ini seharusnya bisa menjadi momen yang powerful. Tapi, sayangnya, adegan ini muncul secara mendadak tanpa build-up yang solid dan resolusi yang memuaskan.
Hangatnya Solidaritas Mama-Mama Rote
Di tengah kebengisan dan keputusasaan yang datang silih berganti, film ini memberikan penawar berupa kehangatan dan solidaritas dari mama-mama yang saling menjaga satu sama lain. Sejak awal, kita sudah diperlihatkan bagaimana perempuan mengambil peran yang lebih besar dari laki-laki. The women do all the hard work; mulai dari urusan domestik, mencari nafkah, hingga menangkap pelaku pemerkosaan. Jadi, rasanya memang tepat film ini diberi judul "Women from Rote Island".
Linda Adoe berhasil menjadi scene-stealer sebagai Orpa. Ia memerankan sosok ibu dengan sempurna; ibu yang hatinya berkali-kali terluka, namun tetap kuat dan tanpa gentar mencari keadilan untuk anak-anaknya. Setiap duka dan amarah yang dirasakan Orpa tersampaikan dengan efektif dan elegan melalui ekspresi, gestur, serta dialog yang subtil namun menohok.
Pesan paling kuat dari film ini adalah bahwa siapa pun bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, termasuk orang yang dekat dengan kita. Kemudian, yang tak kalah penting, film ini juga menggambarkan ketika negara gagal menyediakan perlindungan dan pendampingan bagi korban kekerasan seksual, yang bisa kita lakukan adalah menjaga satu sama lain. Seperti yang dikatakan Orpa, "setiap hari, orang baik dan orang jahat sama-sama lahir."
(ANL/alm)