Satu dekade tentu bukan waktu yang singkat dalam berkarier-namun pada saat yang bersamaan, ia juga bisa berlalu begitu saja tanpa terasa. Dalam rentang waktu tersebut, tentu banyak perubahan yang terjadi. Mulai dari pendewasaan diri, perkembangan pribadi, hingga progresi kekaryaan—hal-hal yang tidak terasa ketika terjadi, namun ketika dilihat kembali ke belakang ternyata sangat signifikan.
Inilah kiranya yang tengah dirasakan oleh musisi Danilla Riyadi. Album debut yang membuat namanya dikenal, Telisik, akan genap berumur 10 tahun pada Maret tahun ini. Awal ia bermusik tentu lebih awal lagi dibanding itu.
"Gila, ya. Sama sekali tidak terasa seperti sudah 10 tahun," ujar Danilla sambil tertawa kecil dalam percakapan bersama CXO Media mengenai perjalanan kariernya. Ia mengaku bahwa ketika menyadari "anak pertama"-nya hampir menginjak usia satu dekade, ia beserta Lafa Pratomo—kolaborator dekatnya—hanya bisa terdiam dan saling menatap saja.
"Sempat ada momen di mana aku memperhatikan anak-anak band aku, yang dulu rambutnya masih hitam sekarang ada ubannya, yang tadinya enggak pakai kacamata sekarang pakai kacamata. Dipikir-pikir, semuanya tumbuh bareng sama aku, susah-senangnya semua bareng," ungkapnya mengenai lingkungan terdekatnya.
Ada campuran perasaan terharu dan thankful yang dialami Danilla ketika menyadari hal ini—yang membuatnya teguh untuk mendedikasikan segalanya untuk timnya. Walau belum bisa memberitahu secara pasti, ia menyatakan bahwa tengah mempersiapkan suatu hal yang spesial bersama timnya untuk memperingati 10 tahun Telisik.
Tujuannya, menurut Danilla, adalah untuk "Membebaskan Telisik dari Telisik"—sekaligus juga merayakan album yang membawanya sampai pada titik saat ini. Ketika melihat kembali ke beberapa tahun ke belakang, Danilla berkata bahwa tahun 2019 adalah salah satu fase paling berkesan.
"Waktu tuh kayak berhenti. Dengan intensitas panggung yang tinggi [pada masa tersebut], aku lama-lama bertambah dewasa. Kalau ada panggung dan aku lagi capek, aku harus tetap bisa good mood—ini yang membuat aku merasa 'naik level'. Itu juga salah satu tahun terbaikku yang dipatahkan oleh COVID. Setelah masuk ke new normal, memori terakhir aku tuh masih di 2019, sedangkan sekarang semuanya sudah berubah drastis," ucapnya.
Masa-masa ia tur dengan mobil sendiri, membuat copy CD secara mandiri, mencetak sampul rilisan dengan seadanya, juga adalah periode yang selalu ia kenang. Distribusinya albumnya? Ke mana saja yang mau menerima, mulai dari restoran, tempat mi ayam, hingga warung pecel. Walau distribusi secara digital jauh lebih praktis dan efektif, Danilla mengaku merindukan pendekatan do-it-yourself seperti ini. Ia pun ingin mencoba melakukan ini lagi suatu hari nanti, walau formatnya mungkin berbeda.
Perihal progresi karya, Danilla merasa bahwa ketika mendengar kembali beberapa lagunya terdahulu, kadang ia merasa seperti sedang mendengarkan karya orang lain. Seluruh albumnya bagaikan diary entry dari berbagai fase hidup yang bisa didengarkan oleh orang lain. Ketika hidupnya sendiri telah berbeda, mendengarkan kembali album lama untuk Danilla bisa memberi kesan yang turut berbeda secara personal.
Membicarakan tentang Telisik, terdapat satu lagu yang memiliki kesan haunting yang jauh berbeda dibanding dengan lagu-lagu lainnya. "Junko Furuta" menceritakan tentang akhir hidup dari sang pemilik nama lagu, seorang siswi SMA yang diculik, diperkosa, dan disiksa selama 40 hari sebelum akhirnya meninggal dunia. Ada satu memori pribadi soal lagu ini ketika saya menyaksikan penampilan Danilla hampir satu dekade lalu.
Sebelum membawakan lagu ini, Danilla menyampaikan bahwa kasus pembunuhan Junko Furuta memiliki signifikansi pribadi baginya. Rupanya, kasus tersebut yang tak pernah meninggalkan kepala saya setelah pertama kali mendengar lagunya juga tak pernah meninggalkan kepala Danilla sejak ia pertama kali membacanya.
Ketika ia belum menulis lagu apa pun untuk Telisik, kisah Furuta-lah yang muncul di benaknya. Proses penulisannya sendiri membuat Danilla meneteskan air mata, dan emosi yang terkandung pun selalu terasa setiap ia membawakan lagu ini.
"Untuk Junko Furuta, harusnya dia enggak meninggal dengan cara itu. Dia dulu cantik dan dia harus meninggal tidak dalam keadaan tersebut," ungkapnya.
Bagi Danilla yang pernah mengalami sexual harassment ketika masih duduk di bangku SD, terdapat sentimen pilu yang tidak bisa ia bayangkan dari kisah hidup Furuta. Tribute bagi tragedi perih ini, kini menjadi suatu hal yang empowering.
Dengan nama dan popularitas jauh lebih besar dibanding ketika album debutnya pertama diluncurkan, Danilla pada hari ini tentu memiliki tanggung jawab lebih besar baik terhadap timnya maupun penggemarnya. Seperti perkataannya, ia nampak telah jauh bertumbuh untuk mengisi peran tersebut. Tanpa mau dikotak-kotakkan ke dalam kategori atau jenis musik tertentu, diary entry Danilla akan selalu menarik untuk ditunggu.
(alm/DIR)