Your favorite band's favorite band begitu kira-kira julukan yang banyak disematkan kepada Barefood. Tak sedikit band lokal yang mengaku terinspirasi langsung oleh unit indie rock asal Bekasi ini, bahkan hingga membentuk band karena menyaksikan penampilan mereka.
Sebagai band, Barefood sendiri tidak bisa dibilang selalu aktif. Sejak dibentuk pada 2009, mereka hanya sempat mengeluarkan tiga rilisan, namun pengaruhnya tidak bisa dianggap remeh. Dalam masa absen mereka dari kancah musik lokal, warna musik yang mereka usung bisa terdengar di sejumlah band lebih muda.
Terlepas dari label semacam '90s revival atau riff kencang yang identik dengan musiknya, rasanya yang paling distingtif dari Barefood adalah energi youthful yang mereka bawa. Mungkin faktor ini jugalah yang membuat pendengar mereka bukan hanya datang dari penggemar indie rock, tapi juga penggemar hardcore atau metal.
Vakumnya Barefood dari panggung akhirnya terbayar pada Sabtu (18/11) kemarin di Toba Dream, Jakarta Selatan. Apakah hal ini patut dirayakan? Tentu, namun mungkin bukan untuk alasan yang diharapkan banyak orang, karena comeback ini juga merangkap sebagai pertunjukan terakhir mereka.
Diberi tajuk "Left Untold: A Final Performance by Barefood", penampilan final ini ditemani oleh sejumlah band sejawat yang memiliki kaitannya masing-masing dengan Barefood; Gascoigne, Sharesprings, Eleventwelfth, dan Jirapah.
Panggung Terakhir Barefood
Menyaksikan show ini jelas memberikan perasaan yang campur aduk dan tidak menentu, kurang lebih seperti cuaca Jakarta pada hari tersebut cerah dan hujan datang silih berganti. Seluruh band "pengantar perpisahan" Barefood tampil dengan prima, yang rasanya tak perlu dipertanyakan lagi. Yang menarik adalah, bagaimana masing-masing mereka punya cerita mengenai Barefood.
Gascoigne mengaku bahwa Barefood meninggalkan "point of reference" mengenai bagaimana menjadi band indie rock yang keren, kemudian Jirapah menyatakan mengenai appeal lintas genre yang dimiliki Barefood. Vokalis Sharesprings, Putriani Mulyadi, merupakan pengisi vokal salah satu lagu Barefood paling ikonik, "Sullen", sementara salah satu gitar yang dipakai dalam EP pertama Eleventwelfth adalah milik Ditto dari Barefood. Banyak koneksi dan pengaruh Barefood pada kancah musik lokal, yang tak sebatas pada influence semata, namun juga cerita-cerita di balik layar.
Setelah empat penampilan pembuka yang terasa terlalu cepat, menjelang pukul 20.30, sang penampil utama pun menaiki panggung. Dibuka dengan track pertama dari EP pertama mereka, "Deep and Crush", sontak antusiasme penonton langsung terbakar oleh Barefood. Sebagai persembahan terakhir bagi para pendengarnya, Barefood sendiri membawakan diskografi penuhnya pada penampilan malam tersebut, dan lagu pemilihan lagu pertama ini agaknya cukup simbolik terhadap perjalanan mereka.
Seperti tak pernah vakum, penampilan Barefood pada malam tersebut masih membawa energi yang sama seperti masa aktif mereka bertahun-tahun lalu. Malam itu, Ditto dan Mamet ditemani oleh Bagas Encek pada drum dan Petir Saputra pada gitar yang melengkapi sound mereka. Di sela-sela lagu, kerap terdengar teriakan "Jangan bubar!" dari penonton, yang seringkali hanya mengundang senyum kecil di wajah kedua founder band tersebut.
Energi penonton dibawa naik-turun mengikuti repertoar yang dibawakan Barefood. Nomor-nomor seperti "Amelie", "Sullen", atau "Biru" memberi penonton kesempatan untuk bernafas, dibanding dengan "Grey Skies", "Breath", atau "Hard" yang menguras tenaga. Yang pasti, suara penonton yang sing-along bisa terdengar sepanjang set.
Menjelang beberapa lagu terakhir, antusiasme penonton pun memuncak. Formasi pun berubah, dengan Pandu Fuzztoni yang telah membantu Barefood pada fase-fase awalnya mengambil posisi drummer dari Bagas. Panggung pun langsung menjadi sasaran serbuan bagi penonton yang ingin melakukan stagedive.
Sayang, situasi sempat sedikit tak terkontrol pada klimaks set. Barisan terdepan yang banyak berisikan perempuan pun terpaksa tergeser karena banyak terkena tendangan dari mereka yang melompat dari atas panggung dan crowdsurfing beberapa bahkan melakukannya sambil berjungkir balik. Memang penampilan seperti ini adalah sarana meluapkan energi, tapi jika penonton yang sudah berada di depan panggung sejak awal harus tergeser karena menghindari terkena tendangan, rasanya sedikit aneh.
Bukankah ruang aman harusnya juga memberi semua penontonnya rasa nyaman sepanjang penampilan? Untungnya, penampilan dari Barefood tetap memukau. Ketika membawakan "Teenage Daydream", terdapat momen puitis di mana sang gitaris, Ditto, turut melompat ke arah penonton yang siap menyambut. Momen tersebut merupakan stagedive terakhir yang dilakukan oleh Ditto bersama Barefood.
Tak banyak basa-basi atau speech bagi penonton yang terlontar dari panggung, hanya performa yang tight, kencang, dan exciting. Lagipula, sejak dahulu Barefood sendiri memang bukan band yang banyak berbicara di atas panggung, kenapa penampilan malam ini mesti berbeda?
Penonton mungkin menginginkan penjelasan atau closure mengenai mengapa mereka memutuskan untuk bubar, namun performa seperti ini lebih sesuai bagi perpisahan band seperti Barefood. Pada akhirnya, selain alasan-alasan mundane seperti kesibukan pribadi dan keluarga yang meningkat seiring bertambahnya usia, apa yang ada di balik perpisahan ini berakhir left untold, seperti nama pertunjukannya sendiri.
Satu hal yang pasti adalah Barefood akan tetap tinggal di benak pendengarnya, baik yang menghadiri pertunjukan malam tersebut atau absen.
(alm/tim)