Interest | Art & Culture

Biennale Jogja 2023 Mengumpulkan Mereka yang Terpinggirkan

Kamis, 16 Nov 2023 15:19 WIB
Biennale Jogja 2023 Mengumpulkan Mereka yang Terpinggirkan
Foto: CXO Media/Timotius Manggala
Jakarta -

Yogyakarta tidak pernah kehabisan karya yang bernafaskan kesenian. Ketenangan yang terasa bagi siapa pun yang datang ke kota ini terkadang membuat ide-ide kreativitas mengalir dengan deras. Acara kesenian pun menjadi salah satu daya tarik Yogyakarta yang kali ini kembali menghadirkan Biennale Jogja 2023 yang digelar pada 6 Oktober hingga 25 November.

Kehadiran Biennale Jogja memang selalu ditunggu-tunggu. Pameran seni dengan berbagai aktivasi yang seru untuk diikuti kembali ditunjukkan Biennale Jogja. Khusus untuk tahun ini, mereka memilih empat lokasi sebagai ruang untuk memamerkan karya seni dalam berbagai medium dari beragam negara. Pemilihan negara mana yang ditunjuk, serta menyamakan tema utama dari Biennale Jogja pun telah dikurasi sedemikian rupa.

Mereka menjadikan kata "titen" sebagai bentuk representasi utama Biennale Jogja. "Titen" merupakan salah satu cara pandang yang ditawarkan sebagai mengedepankan kembali pengetahuan lokal yang dihidupi oleh masyarakat setempat, sehingga menjadi bagian dari tubuh dan jiwanya. Pengertian yang tertulis di salah satu sudut Taman Budaya Yogyakarta yang menjadi salah satu ruang pameran ini memuat pemahaman yang lebih mendalam sebelum para pengunjung bisa berputar-putar di sana.

Biennale Jogja 2023 Demi Mereka yang Terpinggirkan

Memasuki Taman Budaya Yogyakarta setelah melalui perjalanan yang disinari teriknya matahari membawa saya ke dalam pengalaman baru yang tidak pernah direncanakan sebelumnya. Mengapa kita harus melihat karya seni hingga jauh-jauh ke Yogyakarta? Kenapa "titen"? Ternyata, Biennale Jogja memang beda.

Pesan yang mereka bawa lewat "titen" tidak sebatas penjelasan kecil seperti di atas saja. Dalam tradisi Jawa sendiri, "titen" memiliki pengertian aktivitas mengamati secara seksama tanda-tanda alam serta hal-hal yang terjadi dalam kehidupan sehingga hasil pengamatan itu bisa menjadi pengetahuan yang dirawat dalam mitologi serta kepercayaan lokal. Pengetahuan ini juga bisa digunakan dalam kehidupan sehari-hari, contohnya memprediksi bencana alam dan perubahan cuaca.

Arti yang lebih mendalam untuk dipahami oleh masyarakat berpikiran modern seperti sekarang ini memang tidak akan selamanya langsung diterima. Namun saat kaki ini melangkah ke sudut lainnya, Biennale Jogja 2023 mulai mempersembahkan perspektif kesenian dari sisi yang berbeda-beda, tapi lucunya, jauh lebih mudah diterima.

Bayangkan saja, setelah membaca introduction dari panitia Biennale Jogja, saya langsung disuguhkan sudut pameran yang dipersembahkan kolektif Ruang Perempuan dan Tulisan dengan pameran karya "20 Puan Ilustrator". Berangkat dari usaha merespon karya Sudjinah berjudul Mereka yang Tersisih, mereka memperkenalkan sepuluh tokoh penulis perempuan Indonesia dari berbagai zaman yang telah dilupakan atau tersisihkan akibat gejolak politik dan pelanggaran HAM. Pernah mendengar nama-nama seperti S. Rukiah, Suwarsih Djojopuspito, Omi Intan Naomi, Ratna Indraswari, Sugiarti Siswadi? Atau mungkin nama lain, yakni Saadah Alim, Maria Ulfah, Hamidah, Dahlia, dan Charlotte Salawati?

Jika sudah pernah mendengar beberapa nama tersebut, selamat untuk Anda. Namun jika belum, inilah mengapa Ruang Perempuan dan Tulisan ingin memberikan kabar bahwa masih ada penulis perempuan Indonesia yang telah terbukti menyumbangkan karya dan pemikiran besar pada masing-masing era. Kaki ini mulai berpindah ke bagian sebelahnya, di mana ada karya fotografi dari Fazal Rizvi dengan judul Licking salts, won't heal you dengan pendekatan realisme lewat objek yang benar-benar sesuai judulnya; foto lidah yang sehabis menjilat garam Himalaya. Namun tidak serta merta hanya itu saja, karena ada message tentang bagaimana garam Himalaya yang telah menjadi objek komodifikasi atas nama industri di luar wilayah asal mereka sendiri.

Dari Barat Papua Hingga Selatan Benua

Sebegitu menariknya karya-karya yang dihadirkan dalam Biennale Jogja membentuk satu style seru yang membuat mereka tidak hanya menunjukkan seni dalam bentuk visual saja. Ada space khusus yang diberikan untuk memperkenalkan sebuah grup band underground tapi sudah berstatus legendaris bernama Black Brothers.

Kehadiran mereka dari Papua Barat memberikan nuansa musik yang tentunya membawa soul berbeda dibandingkan nama-nama lain yang saat itu sedang naik daun. Namun di luar musikalitas yang terasa kaya, ada cerita pilu tentang kiprah mereka yang sudah pasti mendukung kemerdekaan dari Tanah Papua. Bahkan sampai ada isu tentang keinginan mereka mencari suaka ke Belanda yang tentunya dibantah langsung. Beberapa artikel yang menceritakan karier Black Brothers membuat kita akan lebih mengenal mereka yang sebenarnya sudah lenyap ditelan zaman.

Selanjutnya, Biennale Jogja juga menghadirkan spirit kehidupan dari benua Eropa dan Asia dari sisi selatan hingga tenggara. Apa yang mereka lakukan ini sebenarnya memang dijalankan sesuai dengan misi awal untuk berdialog dengan negara bekas jajahan lain di Asia dan negara bekas penganut sosialisme di Eropa. Kategorisasi yang diciptakan oleh Biennale Jogja memang unik, dan inilah yang membuat karya-karya yang hadir juga menembus berbagai belahan dunia, termasuk dari Nepal yang berhasil menggambarkan budaya seni di sana.

Pada akhirnya, Biennale Jogja 2023 terasa spesial dan istimewa. Para pengunjung pun secara pelan tapi pasti bergerak dari satu karya ke karya lain dengan memperhatikan sudut demi sudut. Taman Budaya Yogyakarta yang menjadi salah satu venue memang tepat karena sesudah keluar dari sana, anak-anak teater menguasai bagian teras yang membuat kesenian ini memang harus dijalankan secara hangat dan untuk semua generasi.

[Gambas:Audio CXO]

(tim/alm)

Author

Timotius P

NEW RELEASE
CXO SPECIALS