Sepasang suami-istri berusia lanjut pergi mengunjungi anak-anak mereka yang telah lama merantau ke ibu kota. Seperti dalam kehidupan nyata, kunjungan atau acara keluarga tidak pernah berjalan seideal yang diinginkan—masalah-masalah seperti kesibukan yang tidak mudah ditinggalkan atau ekspektasi yang tidak terpenuhi, seluruhnya mempertegas jarak yang ada antara keluarga. Terdengar cukup sederhana, tapi melalui premis yang familiar ini, sutradara Yasujiro Ozu berhasil menciptakan salah satu film paling ikonik sepanjang sejarah, Tokyo Story (東京物語, Tōkyō Monogatari).
Dirilis tepat pada hari ini, 70 tahun lalu (3 November 1953), Tokyo Story baru mendapatkan perhatian internasional bertahun-tahun setelah penayangan perdananya. Sempat dinilai "terlalu kental dengan budaya Jepang" oleh distributor film internasional, nyatanya pengalaman dan emosi karakter-karakter di dalamnya bersifat universal—melewati batasan-batasan budaya, hingga waktu. Bahkan berdekade-dekade setelahnya, cerita yang terkandung di dalamnya masih terasa relevan.
Shūkichi dan Tomi Hirayama tinggal di Onomichi, kota dengan kontur geografis unik di Hiroshima bersama anak termuda mereka, Kyōko. Mereka memutuskan untuk mengunjungi anak-anak tertua mereka yang telah bertahun-tahun membangun karier dan keluarga di Tokyo, jauh dari Onomichi. Terlepas dari niat untuk bercengkrama bersama keluarga, kesibukan kedua anak tertua mereka, Kōichi dan Shige, membuat mereka tidak bisa leluasa menghabiskan waktu bersama. Kōichi bekerja sebagai dokter di klinik kecil miliknya sendiri sedangkan Shige memiliki bisnis salon. Ketika keduanya tidak sempat untuk "menjamu" orang tuanya, "tugas" ini kemudian dilimpahkan pada Noriko, menantu dari Shūkichi dan Tomi sekaligus istri dari adik ketiga Kōichi dan Shige yang meninggal saat perang.
Walau sudah lama tak bertemu, kunjungan Shūkichi dan Tomi seakan menjadi beban bagi anak-anak mereka yang terjebak dalam kesibukan masing-masing. Para orang tua merasa sungkan mengganggu keseharian anak-anak mereka, sedangkan para anak merasa tidak enak karena tidak memiliki waktu yang cukup bagi orang tua mereka. Kekecewaan dan rasa tidak enak ini tidak pernah diperlihatkan secara eksplisit, namun interaksi yang canggung dan basa-basi yang terus terlontar menggambarkan bagaimana sifat hubungan mereka sebagai orang tua dan anak saat ini.
Sebagai solusi, Kōichi dan Shige memberangkatkan orang tua mereka ke resort pemandian air panas di Atami. Walau Shūkichi dan Tomi berulang kali mengungkapkan betapa beruntungnya mereka, tak sulit melihat bahwa mereka lebih menginginkan menghabiskan waktu bersama keluarganya. Setelah menghabiskan semalam tanpa istirahat cukup karena keramaian pengunjung lain, Shūkichi dan Tomi memutuskan untuk kembali ke Tokyo—di mana kedua anaknya tidak bisa menerima mereka bermalam. Apa yang terjadi selanjutnya mungkin adalah jukstaposisi paling puitis sepanjang film; Tomi bermalam di apartemen menantunya, Noriko, sedangkan Shūkichi mengunjungi teman lamanya yang kini tinggal di Tokyo.
Walau bukan anak kandung, Noriko menyambut Shūkichi dan Tomi dengan jauh lebih baik daripada anak-anaknya sendiri. Pada malam terakhir Tomi menginap di apartemennya, mereka berdua berbagi momen perbincangan yang intim soal suami Noriko yang telah meninggal, Shōji, dan masa depan Noriko. Sebagai kontras, Shūkichi yang menghabiskan malam bersama dua orang teman lamanya, membahas kekecewaan mereka terhadap kehidupan masing-masing-termasuk soal anak. Shūkichi yang selama ini hanya berbicara dengan bahasa yang implisit, kemudian jujur mengatakan bahwa ia pun memiliki sejumlah ekspektasi yang tidak terpenuhi oleh anak-anaknya, walau ia tetap merasa bahwa ia beruntung.
Keesokan harinya, Shūkichi dan Tomi memutuskan untuk pulang ke Onomichi. Di stasiun, tepat sebelum kepulangan mereka, Tomi menyatakan kepada anak-anaknya bahwa perjalanan ini merupakan pengalaman berharga yang mempertemukan mereka dengan satu sama lain, dan bila terjadi apa-apa, mereka tak perlu mengunjungi Tomi di Onomichi. Ucapan ini secara praktis memberitahu kita apa yang akan terjadi setelahnya, karena kita sebagai penonton pun telah diperlihatkan soal kondisi kesehatan Tomi yang menurun sejak awal film dalam momen-momen kecil. Walau penyakitnya melanda di tengah perjalanan pulang, Tomi tetap menyatakan rasa syukur karena momen tersebut membuat ia dan Shūkichi mampu bertemu dengan Keizo, anak laki-laki termuda mereka yang bekerja di Osaka dan sebelumnya hanya sempat disebut namanya.
Dalam momen sebelum melanjutkan perjalanan pulang, Shūkichi dan Tomi sempat berbincang tentang bagaimana mereka lebih beruntung dari mayoritas orang lain. Dalam perjalanan yang relatif singkat, mereka sempat bertemu dengan seluruh anak mereka, bahkan menikmati liburan di pemandian air panas. Jelas terlihat bahwa apa yang tersirat dari interaksi mereka memiliki makna yang sama pentingnya dengan kata-kata mereka. Tak bisa disangkal bahwa ada kekecewaan-kekecewaan yang terbentuk dari jarak dan waktu antara mereka dan anak-anaknya, namun begitu banyak pula hal yang bisa disyukuri. Ini merupakan momen terakhir di mana kita bisa melihat Shūkichi dan Tomi bercakap-cakap, sebelum Tomi jatuh koma dan meninggal di rumah mereka. Kini, giliran anak-anak mereka yang berkunjung ke Onomichi. Apakah kunjungan kali ini lebih ideal dan memberikan penutupan yang "rapi" bagi kisah keluarga mereka? Tentu, jawabannya tidak.
Sebagai latar cerita dan kota yang namanya muncul dalam judul, Tokyo sendiri tidak pernah ditampilkan menjadi fokus dalam film ini. Karena universalitasnya, kisah ini bisa terjadi di mana pun. Yang mengambil bagian utama adalah interaksi antar tokohnya, yang penuh dengan emosi tersirat. Baik secara naratif maupun ditampilkan melalui pendekatan teknis, semua karakternya tampak layaknya manusia, dengan kekurangan atau aspek negatif yang dimiliki masing-masing. Sesuai signature Ozu, sepanjang mayoritas film kamera diletakkan setinggi satu meter dari lantai—eye level bagi orang Jepang yang duduk di atas tatami—meminimalisir kedalaman bidang dan memberi fokus pada komposisi tiap adegan.
Hampir seluruh adegan diambil dengan statis oleh kamera yang tak bergerak—yang berpindah hanyalah karakter-karakter dalam frame, beserta detail dari tiap adegan. Bukaan pintu menuju koridor menunjukkan aktivitas yang terjadi di sekitarnya. Obat nyamuk bakar yang disimpan di sudut ruangan tampak sedikit demi sedikit kian habis, mengomunikasikan waktu yang telah berjalan lama. Setelah tiap dialog, Ozu pun tidak langsung berpindah ke adegan selanjutnya, ia justru membiarkan momen berlangsung sedikit lebih lama. Detail-detail kecil seperti inilah yang menjadikan Tokyo Story dan film-film Ozu lainnya menjadi "hidup" dan "manusiawi".
Melalui pendekatan yang minimal dan meditatif, Ozu berhasil mengeksplorasi kompleksnya emosi dan hubungan antar anggota keluarga dalam premis cerita yang sederhana serta familiar. Mengingat usianya yang telah genap 70 tahun, rasanya Tokyo Story akan tetap puitis bahkan ketika disaksikan berpuluh-puluh tahun mendatang.
(alm/tim)