Jakarta Film Week bisa disebut sebagai pesta sinema untuk para pecinta film dalam berbagai cerita, latar belakang, dan ketertarikan. Selama kurang-lebih satu minggu, kita disajikan barisan film panjang hingga pendek dari total 44 negara yang bisa ditonton secara gratis. Memang, tidak semuanya bisa ditonton mengingat waktu yang kurang tepat, atau tiket yang sangat sulit didapatkan karena terbatas berdasarkan jumlah kursi. Namun, sisi menarik Jakarta Film Week terlihat dari banyaknya film pendek yang disajikan secara lengkap dan eksklusif di Kineforum, Taman Ismail Marzuki.
Salah satunya hadir dalam program 'Global Short Competition' yang merangkum kekayaan sinema dari beragam negara dengan konsep limited seats yang pastinya mengundang minat besar. Kami pun berkesempatan untuk melihat langsung 'Global Short Competition 1' yang berisi lima film, Glorious Revolution, Invisibles, Things Unheard Of, Will You Look At Me, serta Basri & Salma In A Never-Ending Comedy.
Menyelami Global Short Competition 1 Jakarta Film Week
Selama kurang lebih 1,5 jam, sajian kelima film itu memberikan perspektif baru tentang betapa liarnya ide hingga kesederhanaan kreativitas yang ketika dibalut imajinasi tanpa batas, maka lahirlah film-film yang berdampak besar. Melihat lima storyline, dari yang nyeleneh, menyentuh, sampai membuat dahi mengernyit, kami mencoba menilik ulang 'Global Short Competition 1' Jakarta Film Week.
Glorious Revolution
"Konflik revolusi Ukraina yang dipertontonkan dari sisi berbeda. Tidak ada aksi heroik yang coba ditonjolkan, karena yang ada hanya rasa nanar seorang ibu yang harus mengurus jenazah anaknya yang sebenarnya termasuk pejuang, tapi tidak mendapatkan penguburan yang layak. Metafora yang ingin dibangun terlihat dari bagaimana Ukraina yang dipandang sebagai negara baik dengan mengajak rakyatnya berjuang, tapi tidak mau menunjukkan rasa tanggung jawab atas mayat warganya sendiri yang sudah ikut turun langsung. Jadi, untuk apa berjuang kalau pengorbanan yang sudah dilakukan malah tidak dihargai?" - TM
"Di tengah Kerusuhan Euromaidan 2014 di Ukraina, seorang ibu yang kehilangan anaknya menempuh kesulitan bertubi-tubi untuk prosesi penguburan. Di hadapan tragedi apa pun, birokrasi tidak pernah kehilangan keruwetannya-dan "uang pelicin" memiliki kuasa yang tak tersentuh. Mereka yang sudah meninggal mungkin tak peduli soal apa yang terjadi pada jenazahnya, dan Glorious Revolution memperlihatkan bahwa prosesi penguburan lebih memiliki makna bagi mereka yang ditinggalkan. Setelah revolusi berlangsung dan jasad mulai terkumpul, agaknya yang tersisa hanyalah perkara administratif." - AM
Invisibles
"Di antara lima film, Invisibles jadi satu-satunya karya yang sedikit membuat dahi ini mengernyit. Shot-shot aesthetic yang mengikuti kehidupan masyarakat asli suatu hutan seperti ingin menunjukkan betapa mistisnya kehidupan di sana. Apalagi ditambah konflik senjata yang membuat nyawa mereka terancam, hingga membuat seorang anak harus masuk ke dunia mistis untuk bertemu sosok misterius. Proses masuk ke dalam alam lain, lalu suguhan ending-nya pun, masih tetap membuat dahi ini mengernyit, ditambah garukan kepala. Terasa seperti film arthouse." - TM
"Menceritakan tentang kehidupan masyarakat tradisional dan kedekatan mereka dengan hutan, Invisibles mengikuti kisah seorang bocah bernama Azen yang secara tiba-tiba mampu melihat makhluk-makhluk misterius di dalam hutan. Azen yang sebenarnya enggan untuk menerima peran dalam menjembatani dunia makhluk halus ini dengan manusia seakan "terlempar" ke dalam situasi yang berubah dengan cepat dan disorienting. Pembawaan film yang setara disorienting dengan narasinya membawa kita sebagai penonton untuk mengalami kebingungan yang sama." - AM
Will You Look at Me
"Sebuah personal message yang sangat mendalam. Kehidupan Shuli Huang sebagai sutradara dipertontonkan secara implisit sekaligus eksplisit. Implisit dari segi visual, namun eksplisit dari audio percakapannya bersama ibunya sendiri. Penggunaan kamera Super 8 membuat Will You Look at Me menyentuh level aesthetic yang sulit disamai oleh film-film lainnya di sini. Apalagi ketika digabungkan dengan kisah hidupnya yang lahir sebagai pria gay, lalu harus menerima segala bentuk judgement dari orang tuanya, membuat Shuli Huang mempertontonkan sisi hidupnya yang langsung ia tumpahkan dengan cara bercerita sederhana. Momen percakapan terakhir di film ini menjadi puncak dari segala bentuk kepasrahan untuk menerima keadaan hidup dari hubungan ibu dan anak" - TM
"Disebut sebagai esai personal sang sutradara, Shuli Huang, Will You Look at Me mengikuti kesehariannya melalui lensa kamera Super 8. Narasi sang sutradara menyoroti hubungannya dengan orang-orang terdekat, termasuk teman-teman yang tengah mencari tempat mereka masing-masing di dunia, pasangannya yang akan pindah ke Belgia, serta ibunya. Visual yang disajikan merupakan fragmen-fragmen dari apa yang ada di sekitar Huang-yang kadang tak memiliki kaitan langsung dengan narasi atau justru sangat kontras. Keduanya membentuk presentasi cerita yang sangat intim, bagaikan melihat ke dalam kehidupan seseorang. Judul asli film ini, 当我望向你的时候 (Dang Wo Wang Xiang Ni De Shi Hou), jika diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris kurang lebih memiliki arti "When I Look at You". Melihat posisi penulisan judul pada trailer, di mana judul berbahasa asli secara posisi dituliskan sebelum judul yang diterjemahkan, maka secara penuh judulnya terbaca sebagai "When I Look at You, Will You Look at Me". Judul penuh dari kedua bahasa yang saling melengkapi ini seakan memperlihatkan rumitnya hubungan dan komunikasi dua arah dari tokoh-tokoh sentral film ini, Shuli Huang dan ibunya. Kompleksitas hubungan ini berakar dari sulitnya ibu Huang memahami profesi dan identitasnya sebagai seorang pria gay-yang memuncak menjelang akhir film saat dialog di antara keduanya kian intens. Disandingkan dengan visual kedekatan mereka berdua di momen-momen lain dalam hidup, potret intim ini menjadi kian puitis." - AM
Things Unheard Of
"Level bahagia setiap orang sudah pasti berbeda-beda, dan itu ditunjukkan secara sangat lugas oleh Things Unheard Of. Masyarakat desa di sebuah bukit di Turki yang hanya bisa menikmati tayangan TV sebagai satu-satunya hiburan, namun harus merasakan represi pemerintah yang tidak menyukai acara dari suku Kurdi yang sebenarnya minoritas di sana. Kehidupan anak perempuan bersama neneknya yang bisu bersama ibunya di film ini memang tidak membawa cerita yang kompleks. Tapi semuanya terasa manis saat TV yang sudah hancur menjadi medium dongeng yang berhasil menciptakan kreativitas untuk menghibur beberapa keluarga di sana. Scene terakhir yang penuh senyum menjadi rangkuman manis untuk menutup inti cerita dari hubungan nenek-cucu lewat kebisuan yang selama 15 menit terus ditampilkan" - TM
"Dampak dari ketegangan berdekade-dekade antara Turki dan masyarakat etnis Kurdi diperlihatkan dalam tingkatan kecil pada Things Unheard Of. Ketika tentara Turki memutus akses tayangan televisi di sebuah desa kecil tidak bernama dengan penyitaan parabola, pembenaran mereka memiliki nuansa chauvinisme yang kental; untuk apa menonton tayangan televisi Kurdi? Apa kanal televisi lokal Turki tidak cukup baik? Sayang, bagi mereka yang memiliki akses terbatas pada dunia, pemboikotan ini juga turut memutus akses mereka terhadap hiburan dan informasi. Bagaimana pemutusan akses ini akhirnya berujung pada bersatunya masyarakat desa untuk berkumpul dan menghibur satu sama lain memperlihatkan bahwa dalam situasi seberat apa pun, kreativitas dan rasa kebersamaan manusia akan selalu bersinar." - AM
Basri & Salma in A Never-Ending Comedy
"Toxic-nya obrolan keluarga besar antara anak-menantu-mertua yang semuanya berkutat hanya dalam ruang sempit persoalan pernikahan dan punya momongan menjadi inti cerita film ini. Berangkat dari kehidupan masyarakat di Makassar, sepasang suami-istri malah harus mengurusi ekspektasi keluarga besarnya sendiri yang ingin mereka segera punya keturunan. Tidak asing kan? Tapi Khozy Rizal membalut cerita yang sudah sangat umum ini untuk ditarik ke arah yang lebih nyata. Eksplisit, tanpa tedeng aling-aling, dan sikat-padat-jelas. Memang benar-benar komedi sesuai judulnya, tapi yang berujung ke arah miris." - TM
"Di Makassar, sepasang suami-istri pemilik usaha odong-odong yang telah menikah selama lima tahun berusaha menavigasi tuntutan keluarga soal memiliki keturunan. Terlepas dari keengganan keduanya, beban ekspektasi ini sedikit demi sedikit juga semakin bersarang di pikiran. Ungkap Khozy Rizal, sang sutradara, warna-warni lampu odong-odong seakan menerangi suramnya latar kota di mana masyarakatnya masih dibebani ekspektasi patriarkis yang telanjur mengakar kuat dalam tradisi. Memiliki keturunan seakan menjadi standar yang perlu dipenuhi setiap pasangan, namun menciptakan lingkungan yang sehat dan kondusif bagi sang anak adalah urusan belakangan. Mungkin sedikit pahit jika mengartikan "komedi yang terus berputar" pada judul sebagai siklus budaya patriarkis yang terus berulang, namun bagi mereka yang berada di dalamnya dan mencoba keluar, rasanya menertawakan situasi absurd ini bisa cukup membantu." - AM
(cxo/tim)