Acara sastra terkemuka di Asia Tenggara, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) kembali hadir tahun ini dan resmi dibuka pada Rabu malam (18/10/23) di Puri Agung Ubud. Di hari jadi ke-20, UWRF menawarkan rangkaian program yang lebih komprehensif, tema yang lebih beragam, serta ratusan pembicara yang akan menyapa para pembaca.
Selama 4 hari, mulai dari 19 Oktober hingga 22 Oktober 2023, lebih dari 200 pembicara-yang terdiri dari penulis novel, penyair, jurnalis, hingga aktivis-akan mengisi rangkaian program yang terdiri dari panel diskusi, peluncuran buku, masterclass, pemutaran film, serta pertunjukan seni dan musik. Mengusung tema "Atita, Wartamana, Anagata" yang berarti masa lalu, masa kini dan masa depan, tema ini diilhami oleh konsep kearifan lokal Bali Tri Semaya.
Sebuah pandangan filosofis mengenai waktu yang dipandang sebagai suatu hal yang bersifat non-linear, sirkular dan kolektif. Sehingga, pandangan ini membantu kita untuk melampaui individualisme dan mulai berpikir tentang cara untuk bersama-sama merawat satu sama lain sebagai umat manusia, dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Selain menjadi melting pot bagi pecinta sastra, UWRF juga dikenal sebagai platform yang mempertemukan berbagai penulis dari seluruh dunia untuk bertukar gagasan mengenai isu kontemporer yang relevan dengan masyarakat hari ini. Tahun ini, beberapa tema menarik yang diangkat adalah refleksi mengenai situasi politik Indonesia, upaya dekolonisasi lewat karya sastra, serta krisis iklim.
Tidak tanggung-tanggung, UWRF menghadirkan aktivis lingkungan terkemuka dari India, Vandana Shiva, yang kiprahnya telah membentuk wajah gerakan lingkungan selama beberapa dekade terakhir. Selain itu, ada pula seniman dan penulis berdarah Kuba-Amerika, Edel Rodriguez; penulis kelahiran Sri Lanka pemenang Booker Prize, Shehan Karunatilaka; jurnalis terkemuka dari Australia, Leigh sales; jurnalis dan penulis kelahiran Kurdish-Iran, Behrouz Boochani; hingga profesor antropologi ternama, Wade Davis.
Kemudian dari kancah nasional ada penyair dan jurnalis, Goenawan Mohamad; penulis pemenang Booker Prize, Eka Kurniawan; penulis dan pemikir feminisme, Intan Paramaditha; pendongeng legendaris kelahiran Aceh, Agus Nur Amal (PM Toh); budayawan dan ahli matematika, Sujiwo Tejo; aktivis lingkungan Farwiza Farhan, dan masih banyak lagi. Nama-nama yang mengisi rangkaian program UWRF merupakan cerminan dari semangat yang dibawa festival ini untuk menjadi platform pertukaran gagasan.
"Selama ini, banyak yang mengatakan UWRF adalah festival hak asasi manusia yang dikemas sebagai festival penulis. Jadi kita memang memilih sosok yang mendiskusikan atau menuliskan isu-isu yang menjadi kekhawatiran bersama. Dengan harapan, kita bisa mengubah mindset orang-orang atau menawarkan inspirasi kepada mereka," ucap Janet DeNeefe selaku Festival Founder dan Director dalam konferensi pers di Indus Restaurant, Ubud, Bali.
Selain menjadi platform, UWRF juga berupaya untuk memfasilitasi para penulis agar bisa terus berkembang dan terkoneksi dengan pembaca. Dalam konferensi pers, Goenawan Mohamad menyampaikan bahwa salah satu masalah besar yang dihadapi penulis Indonesia ialah readership yang jumlahnya sangat kecil.
"Pendidikan sastra sejak Orde Baru dikurangi, sehingga menjadi tidak ada artinya bagi apresiasi sastra," ucapnya. Dengan demikian, festival ini memiliki fungsi penting sebagai upaya untuk menumbuhkan dan merawat apresiasi kepada para sastrawan.
Bagi kalian yang ingin mendengar perspektif para penulis, berbagi gagasan dengan para aktivis, atau sekedar menyaksikan pertunjukan dari para seniman, kalian bisa membeli tiket festival di sini atau kunjungi akun Instagram @ubudwritersfest untuk informasi lebih lanjut.
(cxo/DIR)