Interest | Art & Culture

Review The Exorcist: Believer: Sekuel Penuh Pertanyaan

Rabu, 11 Oct 2023 16:30 WIB
Review The Exorcist: Believer: Sekuel Penuh Pertanyaan
The Exorcist Foto: IMDb
Jakarta -

Setengah abad lalu, sutradara William Friedkin membuat terobosan dalam genre horor dengan The Exorcist. Film mengerikan nan aneh pada masa itu membuat semua orang terkemuka, menjadikan The Exorcist sebuah film horor klasik yang tersohor di antara penggemar horor. Bahkan tak sedikit yang memberi label The Exorcist sebagai film horor paling bagus yang pernah dibuat.

Tampak belum puas dengan usahanya untuk terus melakukan follow-up dari film Halloween, sutradara David Gordon Green mencoba untuk menerapkan metode yang sama untuk film The Exorcist melalui The Exorcist: Believer. Projek remake ini akan menjadi sebuah trilogi dengan sekuel berjudul The Exorcist: Deceiver yang berencana akan rilis tahun 2025.

[Gambas:Youtube]

The Exorcist: Believer mengisahkan kisah eksorsisme 2 anak perempuan bernama Katherine dan Angela yang berlagak terganggu usai hilang tiga hari setelah melakukan komunikasi dengan arwah di hutan sesudah pulang sekolah.

Terdapat satu dialog yang mengindikasikan bahwa iblis yang merasuki kedua gadis ini merupakan iblis yang dulu menghantui Regan, protagonis dalam film original The Exorcist. Kenyataannya, iblis Pazuzu tidak melakukan comeback di film ini. Hal ini terungkap melalui sebuah interview NME di mana sutradara David Gordon Green menyatakan keinginannya untuk mengeksplor mitologi dalam projek reboot ini dengan menghadirkan 'teman' dari iblis Pazuzu bernama Lamashtu.

Lantas, mengapa informasi ini malah didapatkan di luar film, di saat penggemar horor berbondong-bondong menantikan film ini untuk mendapatkan insight yang segar tentang semesta The Exorcist?

Memang tak banyak film horor yang mencoba mengeksplorasi konsep double possession. Terlepas adanya jumpscare yang tereksekusi dengan baik, elemen horor dari dua anak yang kerasukan ini bahkan tak sebanding dengan aksi kesurupan Regan yang jauh lebih disturbing. Bahkan double possession ini terasa tidak tersinkron karena episode kesurupan yang dialami Katherine dan Angela tidak berhubungan.

Satu sisi, premis reboot ini berbeda dengan film pertamanya yang tak lagi menyorot satu korban dan satu kepercayaan. The Exorcist: Believer bukan cuma memperlihatkan dua orang yang kerasukan, tapi juga menggabungkan dua kepercayaan dalam proses eksorsismenya; ajaran nasrani dan kepercayaan tradisional dari Afrika.

Inilah yang menjadi daya tarik The Exorcist: Believer yang secara gamblang menyatakan bahwa eksorsisme itu tak semata-mata alat andalan 'milik' kepercayaan nasrani untuk mengusir setan. Di seluruh penjuru dunia, agama atau kepercayaan lain juga mempraktikkan eksorsisme dengan metodenya sendiri   terlepas dari elemen The Exorcist: Believer yang tetap didominasi dengan ajaran nasrani. Mungkin, elemen ini yang sengaja ingin ditunjukkan oleh David Gordon Green, bahwa banyak yang sudah berubah dalam produksi Hollywood.

Jarak antara cerita lama dan cerita baru ini tidak hanya terkekang dengan masalah waktu. 50 tahun berlalu, perubahan dunia semakin ekstensif, termasuk perihal eksorsisme yang konsepnya   at least dalam film   juga tidak bisa lagi dipahami dengan mindset yang kaku dan sempit. Double the possession, double the beliefs, double the complex. Bukan satu spesifik keyakinan yang sebenarnya menjadi alat kuat untuk mengusir any evil forces. Terlepas apapun sistem kepercayaannya, yang paling penting adalah ikatan dan kasih sayang antara pihak yang terlibat dalam musibah tersebut.

Meski demikian, The Exorcist: Believer juga tidak bisa di bilang memuaskan. Dirangkai dengan plot yang slow-paced, film ini awalnya terkesan menjanjikan. Terlebih saat ayah Angela, Tanner (Leslie Odom Jr.) mengunjungi ibu Regan, Chris MacNeil (Ellen Burstyn) yang menjadi titik koneksi antara film originalnya. Namun, surprise appearance ini terkesan hanya seperti hiasan kecil dalam Believer karena MacNeil menghabiskan screentime-nya berbaring di ranjang rumah sakit. Hal ini membuat korelasi plotline antara masa lampau dan masa kini terasa dangkal.

The Exorcist berhasil mencapai status film cult   favorite bukan tanpa alasan. So, the question lies; mengapa Hollywood selalu berusaha untuk mendaur ulang sebuah karya yang sebenarnya sudah cukup sempurna, bahkan bisa dibilang sudah menjadi sebuah legacy?

(HAI/tim)

Author

Hani Indita

NEW RELEASE
CXO SPECIALS