Kuartal keempat 2023 sudah ditahbiskan menjadi rentang waktu yang akan dipenuhi oleh banyak rilisan film horor Indonesia. Sebelum beneran masuk ke dalam persembahan yang akan mengundang rasa takut, kaget, dan usaha untuk menutup mata serta telinga, Di Ambang Kematian curi start pada akhir September lewat satu tagline yang bisa menjadi dua sisi mata pisau: "Kisah Nyata Mengenaskan dari Thread Viral @jeropoint".
Bagi yang sudah membaca thread tersebut, setidaknya 60% cerita sudah tergambarkan dengan jelas di bayangan. Sekarang, yang menjadi pertanyaan adalah, "Apakah kengerian yang diangkat dari teks menjadi visual bisa tersampaikan dengan optimal?" Jawabannya ada dalam review Di Ambang Kematian di bawah ini.
Review 'Di Ambang Kematian'
Setiap orang butuh uang, setiap keluarga butuh masa depan. Kalimat tersebut layak menjadi pengingat bagi keluarga yang menjadi inti cerita Di Ambang Kematian. Sosok bapak yang diperankan Teuku Rifnu memilih jalan berbeda untuk mendapatkan kekayaan dan memastikan masa depan melalui pesugihan. Ia merasa semuanya baik-baik saja. Tapi perjanjian yang ia buat dengan sosok "berbeda" malah menambah masalah; tumbal yang diminta bukan lagi kambing, melainkan nyawa keluarganya sendiri yang diambil.
Satu per satu pun mati. Istrinya, lalu anak pertamanya. Ternyata dari sana, tercipta satu pola yang disadari olehnya. Tumbal nyawa tersebut ternyata diminta selama 10 tahun sekali. Setiap malam tahun baru, tidak ada lagi kebahagiaan yang dirasakan. Malah, ketakutan atas kematian yang sudah pasti datang dengan cara paling sadis yang tidak pernah kita bayangkan; bahkan oleh penonton sendiri.
Kata "sadis" cocok disematkan kepada cara Di Ambang Kematian mengolah semua adegan gore dan jumpscare. Wajah penuh darah, tangan penuh luka, hingga bentuk yang tidak lagi kita kenal terpampang secara nyata dalam film ini. Makanya tidak aneh kalau film ini memiliki rating 17 tahun ke atas-yang bisa saja tetap dilanggar para penonton yang tidak tahu diri dengan mengajak anak di bawah umur buat nonton Di Ambang Kematian.
Beruntung, film ini tidak hanya berbicara soal adegan sadis. Storyline yang sangat padat bisa dirasakan oleh para penonton. Bahkan satu jam pertama terasa cepat karena kita dibawa masuk ke dalam cerita yang berjalan dengan tepat. Penulisan skenario yang juga konsisten membuat tidak ada hal yang perlu dikritik dari sini. Bahkan detail sekecil rumah yang harus selalu direnovasi-karena memang identik dengan orang yang melakukan pesugihan-juga diangkat di sini.
Bagaimana dengan akting dari para karakter di sini? Teuku Rifnu menjadi highlight yang sudah pasti terjadi, bahkan sebelum film ini pun mulai. Ia memang aktor yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sosok bapak yang sadis demi melancarkan praktik pesugihan bisa ia perankan dengan tepat. Sebaliknya, sosok bapak yang ingin menjaga keamanan keluarganya juga berhasil ia hadirkan dengan baik pula. Sedangkan untuk karakter-karakter lain, seperti Nadia (Taskya Namya) dan Yoda (Wafda Saifan) masih terbilang bisa dinikmati tanpa ada ruang untuk memberikan sanggahan.
Setidaknya tidak ada yang perlu dipertanyakan di sini. Kita bisa menonton Di Ambang Kematian sebagai jawaban atas cerita yang menggantung dari thread @jeropoint. Setelah keluar bioskop, jawaban yang ingin dicari sejak beberapa waktu lalu akhirnya bisa diselesaikan oleh Di Ambang Kematian. Mau dibilang happy ending atau sad ending, hanya tinggal dilihat dari sisi yang mana. Karena pada akhirnya, ketika pesugihan sudah menjadi jawaban atas doa manusia, yang ada hanyalah penyesalan yang tidak akan pernah ada ujungnya.
(tim/alm)