Interest | Art & Culture

Talking About: Review Sleep Call

Kamis, 07 Sep 2023 18:00 WIB
Talking About: Review Sleep Call
Foto: IDN Pictures
Jakarta -

"Sleep call" menjadi istilah yang menyeruak di tengah hidup Gen Z dan Milenial dalam beberapa tahun terakhir. Aktivitas menelpon sampai larut malam antara dua insan yang sedang memadu cinta menjadi inti dari sleep call. Dan dengan tren yang saat ini muncul, IDN Pictures bersama sutradara Fajar Nugros menghadirkan film Sleep Call dengan tema thriller. Tarikannya cukup jauh jika kita membayangkan sleep call yang harusnya terasa lebih indah, tapi mendapatkan twist menegangkan. Tapi, ya namanya juga film, kan?

Setelah menonton film Sleep Call, tim editorial CXO Media segera melakukan diskusi untuk review film ini. Lewat Talking About, kami membahas berbagai sisi film Sleep Call, dari storyline, karakter, konflik, hingga Laura Basuki.

Peringatan: artikel ini mengandung spoiler untuk film Sleep Call.

Review Sleep Call

Timo: Gue memang sangat menunggu Sleep Call, sih. Teaser dan trailer yang sudah mereka rilis benar-benar bikin gue penasaran. Ekspektasi pun lumayan tinggi pas kemarin nonton. Dan dari apa yang gue saksikan selama 1 jam 40 menit, storyline Sleep Call berjalan lambat banget. Ada beberapa part dari kehidupan Dina (Laura Basuki) yang seharusnya tidak perlu sebanyak itu dimasukin di sini. Contohnya kehidupan dia dan teman-temannya di pantry kantor pinjol itu yang terasa memang mau mencari titik tawa saja. Adegan how to nagih utang di kantor pinjol termasuk too much, sih. Ditambah lagi sedikit cerita sosok "peminjam" itu juga. Menurut kalian, storyline Sleep Call kayak gimana?

Almer: Justru ada bagian-bagian yang menurut gue bagus di sana. Gue suka jukstaposisi antara mereka yang kadang ngomongin agama sambil menjalankan pekerjaan mereka yang "kejam". Mereka sendiri kelihatan kayak sudah desensitized banget sama pekerjaannya dan nggak menganggap bahwa apa yang mereka lakukan tuh punya risiko buat orang-orang lain, yaitu klien mereka. Waktu salah satu klien Dina mengalami "insiden" tersebut juga mereka kelihatan lebih peduli soal merayakan achievement Dina dan bagi-bagi kue untuk dimakan bareng. Benar-benar bleak. Walau secara porsi, gue setuju bahwa fokusnya kadang terlalu berat di sana.

Tasya: Sebenarnya ada banyak adegan yang gue suka di kantor pinjol, terutama ketika mereka memperlihatkan dilema dari para karyawannya. Karakter Dina terlilit utang, tapi dia juga akhirnya jadi sosok penagih utang yang mau nggak mau harus meneror orang. Dan kalau kita mau ngomongin kesehatan mental Dina, latar kantor pinjol itu penting buat menekankan kalau stressor kesehatan mental nggak cuma bawaan dari diri sendiri, tapi juga dari dunia di sekeliling karakternya. Cuma, gue merasa porsi pinjolnya jadi kebanyakan dan konflik dari sleep call itu sendiri malah kurang. Padahal, gue dari awal udah penasaran film ini mau mengemas fenomena sleep call kayak gimana. Ngomong-ngomong soal karakter, kalian puas nggak sama karakterisasi di film ini?

Timo: Di luar urusan pace storyline yang lambat, porsi dengan kesan "ironi" yang membandingkan cara mereka hidup dengan pekerjaan mereka dan realitas di lapangan memang kuat banget di sini. Tapi gue setuju sama Tasya ketika konsep konflik dari fenomena sleep call yang terhitung kurang. Untungnya kalau kita bicara karakterisasi di film ini, memang sangat kuat. Gimana sosok Kristo Immanuel bisa jadi manajer dari para karyawan pinjol dengan sangat kuat. Lalu ada Bront Palarae yang cocok memerankan bapak-bapak bandel. Even Rachel Vennya yang debut akting di Sleep Call juga ciamik sih. Dapet banget setiap karakter dari masing-masing karakter di sini. Shoutout to all the cast!

Almer: Karakterisasi masing-masing tokoh Sleep Call gue rasa memang cukup kuat dan distinct, tapi yang menarik adalah "Rama" yang gue rasa adalah "non-character" di sini. Bahkan, gue awalnya menyangka bahwa dia memang sebenarnya nggak ada. Semua line Rama terasa nggak natural dibanding karakter lain, terutama di bagian dialog-dialog antara dia dan Dina saat dream sequence. Sepertinya ini memang mengimplikasikan bahwa Rama yang kita lihat sepanjang film memang cuma "idea" yang dibangun Dina di dalam kepalanya sendiri. Dari awal kita memang dikasih sejumlah hint soal delusi Dina, yang akhirnya dikonfirmasi di babak akhir film. Sayangnya, gue rasa pacing di akhir malah jadi terasa terburu-buru.

Tasya: Setuju sama Almer, dialog karakter Rama terasa nggak natural dan gue jadi bertanya-tanya seberapa banyak adegan Dina dan Rama yang sebenarnya adalah delusi dari Dina. Tapi di samping itu, gue cukup puas dengan akting dari para cast, terutama Laura Basuki yang total maksimal. Meskipun gue agak bingung penulis film ini mau membawa karakter Dina ke mana, karena jujur gue merasa kasihan sama Dina. Sudah ibunya sakit, terus dia terlilit utang, dan masih di-sexualize sama hampir semua karakter laki-lakinya, terus ending-nya ternyata dia adalah pembunuh yang punya kondisi mental. Ini juga sih yang bikin gue kurang puas sama ending-nya. Tapi overall, good job buat para cast-nya.

Timo: Oh iya, Rama ya. Jujur gue menunggu gimana permainan Bio One di film ini. Ternyata masih bisa membuat gue puas karena memang disesuaikan banget dengan kondisi storyline dari Sleep Call. Nah bicara soal Dina alias Laura Basuki, dia beneran "diperas" habis-habisan sih. Bahkan sampai ada kalimat promosi, "Dari 164 scene, 160 scene-nya ada Laura semua" yang ternyata membuat gue sendiri iba dengan Dina yang kena masalah mulu. Dari masalah keluarga, di kantor, sampai percintaan yang nggak ada habisnya. Gilanya, Laura Basuki beneran bisa meranin itu semua dengan optimal sih. Walaupun ya kembali lagi, ada beberapa scene 18+ yang kalau pun nggak ditaruh di film ini, tidak akan memengaruhi jalannya cerita juga.

Almer: Beberapa adegan yang dibahas menurut gue lumayan fetishistic dan bisa jadi triggering. Di sisi lain, banyak scene yang gue rasa keren framing dan tone warnanya. Setelah diperlihatkan bahwa kontras di antara adegan-adegan yang "dreamy" dan "gritty" ini memang menggambarkan kondisi psikologis Dina yang meromantisasi situasinya sendiri, gue merasa bahwa ini adalah pendekatan yang menarik. Tapi kembali lagi, karakter Dina benar-benar jadi pusat cerita yang dieksploitasi habis-habisan. Jujur gue nggak tahu apakah hal ini merupakan commentary terhadap sesuatu, tapi gue merasa hal yang sama dengan Tasya yang bingung soal mau dibawa ke mana karakter Dina ini sebenarnya. Overall gue nggak merasa film ini cukup thrilling, tapi gue selalu dibawa penasaran oleh alurnya.

Tasya: Sebagai film thriller, gue nggak berhasil dibuat tegang oleh filmnya. Tapi, konsep cerita dan premis yang diusung Sleep Call cukup segar, dan menurut gue itu layak diapresiasi. Meskipun sampai sekarang masih ada 1 part yang masih mengganjal, yaitu penggunaan alegori Rama dan Sinta di bagian ending. Kisah Rama dan Sinta seakan mau mempertegas female agency, tapi akhirnya jadi terasa ironis karena karakter Dina yang dibangun sebagai victim justru nggak mendapatkan arc yang progresif.

Timo: Kalau memang disebut sebagai film thriller, gue sama sekali nggak merasakannya sih. Malah lebih disturbing buat beberapa momen. Sayang sih, karena sejak awal sudah digadang-gadang sebagai film thriller. At the end of the day, untungnya Sleep Call memang hadir dengan gaya cerita yang berani dan layak buat jadi bahan diskusi.

(tim/tim)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS