Duka yang dirasakan oleh bumi dan para makhluk yang menghuninya adalah bom waktu yang akan meledak seiring waktu terus bergulir—setidaknya itulah yang diekspresikan oleh Teater Garasi melalui pertunjukan "Waktu Batu. Rumah yang Terbakar". Apa jadinya ketika mitologi Jawa dibaca ulang menggunakan perspektif kontemporer untuk mengekspresikan duka ekologis akibat krisis iklim, lalu disajikan melalui pertunjukan silang-media yang menggabungkan teater, sinematografi, dan video game? Hasilnya adalah pertunjukan teater yang kompleks dan segar; penuh terobosan dari segi produksi, tapi tetap menghasilkan pesan yang resonan.
"Waktu Batu. Rumah yang Terbakar" merupakan versi keempat dari proyek Waktu Batu yang dimulai sejak 2001. Lebih dari 2 dekade kemudian, tepatnya pada 2022, Waktu Batu diundang untuk diciptakan dan dipentaskan kembali di Festival Indonesia Bertutur, Borobudur, Jawa Tengah. Lalu akhirnya di bulan Agustus tahun ini, giliran warga Jakarta dan sekitarnya yang berkesempatan untuk menyaksikan Waktu Batu dalam rangkaian kegiatan Djakarta International Theater Platform, pada 17 dan 18 Agustus 2023 di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki.
Pertunjukan "Waktu Batu. Rumah yang Terbakar"/ Foto: Teater Garasi/Mohammad Amin |
Berangkat dari Keresahan Generasi Muda
Waktu Batu versi terkini adalah karya yang lahir dari kolaborasi seniman lintas wilayah, lintas generasi, dan lintas disiplin. Pertunjukan ini disutradarai oleh Yudi Ahmad Tajudin dan ditulis oleh Ugoran Prasad. Kemudian bagian produksi diisi oleh seniman lintas disiplin antara lain Tomy Herseta, Luna Kharisma, dan Retno Ratih Damayanti. Para performer pun juga datang dari berbagai generasi, yaitu Andreas Ari Dwiyanto, Erythrina Baskorowati, Arsita Iswardhani, Tomomi Yokosuka, Enji Sekar, Wijil Rachmadhani, Putu Alit Panca Nugraha, Syamsul Arifin, dan Putri Lestari.
Adanya dialog antara seniman lintas generasi menjadi titik berangkat yang penting bagi proses penciptaan "Waktu Batu. Rumah yang Terbakar". Kehadiran seniman dan performer muda dalam pentas ini meyakinkan Yudi Ahmad Tajudin sebagai sutradara untuk menggarap kembali Waktu Batu. Sebab, tema duka ekologis muncul dari keresahan mereka sebagai generasi yang benar-benar merasakan dampak kerusakan lingkungan. Dengan adanya perspektif baru dari generasi muda, karya ini pun bisa menjadi lebih aktual.
"Fokus tema ecological grief itu dari mereka, bukan dari saya atau Ugoran Prasad. Awalnya saya ragu, jangan-jangan ini greenwashing, cuma masuk ke dalam isunya tapi nggak sampai ke pemikiran yang lebih jauh. Tapi, argumentasi yang mereka sodorkan membuat kami sadar bahwa ini tidak terhindarkan, kami harus memasuki isu itu," ucap Yudi kepada CXO Media pada Rabu (16/8/23).
Luna Kharisma—salah satu seniman muda yang terlibat dalam pertunjukan sebagai asisten sutradara—juga menuturkan bahwa isu lingkungan berkelindan dengan isu awal yang diangkat Waktu Batu versi terdahulu. Waktu Batu awalnya mengangkat mitologi Jawa (Watugunung, Sudamala, dan Murwakala) untuk membicarakan kontak antara masyarakat Jawa dengan sesuatu yang "asing", yang akhirnya memunculkan refleksi mengenai kolonialisme dan kapitalisme. Ketika hal ini dikaitkan dengan isu kontemporer, pada akhirnya perbincangan mengenai isu lingkungan yang dirasakan hari ini pun menjadi tak terhindarkan.
Pertunjukan "Waktu Batu. Rumah yang Terbakar"/ Foto: Teater Garasi/Mohammad Amin |
Dapur, Perempuan, dan Ecological Rage
Selain kapitalisme dan kolonialisme, patriarki juga dimunculkan sebagai momok yang memengaruhi relasi kuasa dalam isu duka ekologis pada pertunjukan ini. Dalam salah satu adegan, para karakter perempuan berdiskusi mengenai politik dapur dan bagaimana dapur menjadi simbol pengekangan terhadap perempuan. Selama percakapan ini berlangsung, Watugunung tak berhenti merengek meminta makan kepada Sinta—ibunya yang kemudian juga menjadi istrinya.
Percakapan pun lalu beralih ke pidato Silvia Federici yang membahas bagaimana kapitalisme membuat perempuan terkucilkan dari sektor pertanian. Kombinasi antara percakapan yang saling bertabrakan dengan visual adegan memasak yang berulang dan semakin detik semakin chaotic, membuat rasa duka yang dibangun dari awal pertunjukan menjelma menjadi amarah yang menggema.
Adegan di atas menunjukkan kematangan Teater Garasi dalam mengeksplorasi aspek artistik pertunjukan, tapi sekaligus juga menjadi bukti keberanian mereka untuk menginterogasi aspek misoginis dari mitologi Jawa yang digunakan dalam pementasan ini. Penajaman perspektif gender merupakan salah satu aspek yang membedakan Waktu Batu versi sekarang dengan yang terdahulu—sebab menurut Luna Kharisma, kita tidak mungkin membicarakan masalah lingkungan tanpa membicarakan perempuan sebagai pihak yang paling terdampak atas isu ini. "Makanya kemudian muncul pengetahuan-pengetahuan dari dapur, terus kemudian ada kemarahan, [itu] bukan lagi ecological grief, tapi sudah ecological rage. Ini saatnya kita marah," ucap Luna.
Dalam pertunjukan ini, yang lampau dan yang futuristik hadir secara bersamaan—baik filosofinya maupun teknologinya. Ada banyak sekali yang terjadi di atas panggung pada waktu yang bersamaan, sehingga timbul efek chaos. Namun, hal tersebut justru membuat pertunjukan ini semakin relevan, sebab rasa kekacauan itulah yang menjadi pengantar bagi duka ekologis. Lebih dari pertunjukan yang estetik dan kompleks, "Waktu Batu. Rumah yang Terbakar" adalah ajakan bagi kita semua untuk mengambil sikap terhadap krisis iklim yang telah menimbulkan duka dan luka.
(ANL/alm)