Ismail Marzuki lebih sering kita dengar sebagai nama salah satu taman terbesar dan terkenal di jantung kota Jakarta. Mungkin memang itulah kebiasaan kita selama ini. Sering mendengar nama pahlawan bangsa sebagai nama taman, jalan, hingga daerah, tanpa pernah terbersit sekalipun untuk mengenal lebih jauh perjalanan mereka hingga bisa menjadi nama jalan. Saya pun pernah berada di posisi seperti itu, tapi semua berubah saat mendengar lagu "Rayuan Pulau Kelapa" di salah satu scene Pengabdi Setan 2: Communion.
Menekuni "Rayuan Pulau Kelapa" dari Ismail Marzuki
Suasana mencekam yang dihadirkan di momen itu hanya menjadi selimut tipis yang bisa ditembus hati saat mendengar alunan nada dan rangkaian lirik lagu tersebut. Saat mengenal lebih dalam, scene tersebut memang dibuat seakan-akan kita sedang berada di dalam masa Order Baru, di mana setiap malam, acara di TVRI-satu-satunya stasiun TV pada masa itu-selalu ditutup oleh "Rayuan Pulau Kelapa". Fakta yang dibawa ke layar emas itu membuat kita bak didongengkan oleh nyanyian pengantar tidur yang sebenarnya bisa menggugah rasa cinta kita terhadap Tanah Air.
Saya sendiri tidak tahu kenapa TVRI memilih "Rayuan Pulau Kelapa" untuk menjadi lagu penutup dari 'jam malam' seluruh masyarakat Indonesia. Tapi setelah mengenal lebih dalam tentang lagu ini, ada satu premis yang mungkin menjadi dasar keputusan itu: "Rayuan Pulau Kelapa" menjadi kreasi Ismail Marzuki yang paling tepat untuk menggambarkan keindahan alam Indonesia tanpa perlu terasa berlebihan, dan mungkin akan membuat rakyat lebih bersyukur atas kehidupan di negara ini.
Addie Muljadi Sumaatmadja atau biasa kita kenal sebagai Addie MS, sempat menulis artikel penghormatan kepada Ismail Marzuki dengan penjelasan yang sangat tepat tentang "Rayuan Pulau Kelapa" dalam majalah Rolling Stone Indonesia edisi Immortals - November 2008.
Anda dapat perhatikan baik-baik pada lagu "Rayuan Pulau Kelapa", Ismail Marzuki dengan sangat tepat menggam-barkan alam Indonesia yang tenang dan damai. Lirik "Tanah airku aman dan mak-mur/Pulau kelapa yang amat subur/Pulau melati pujaan bangsa/Memuja pulau nan indah permai/ Tanah Airku, Indone-siaku", terdengar sederhana namun dapat merepresentasikan alam Indonesia yang sebenarnya.
Perpindahan nada yang sangat halus-tanpa terdengar berusaha terlalu keras membangkitkan rasa bersyukur atas kekayaan alam Indonesia-menjadi rasa yang paling nyata dari lagu ini. Jika bisa digambarkan, bayangkan kamu sedang duduk di taman dan melihat dedaunan bergoyang karena dorongan angin semilir. Semua terasa adem ayem dan menenangkan.
Tapi bukan berarti lirik lagu ini hanya ditulis cuma demi menjadikannya lagu nasionalis. Ada emosi yang lebih dalam dari pemilihan kata dari Ismail Marzuki. Contohnya bagian chorus: Melambai lambai/Nyiur di pantai/Berbisik bisik/Raja Kelana. Ia menjadi romantis dengan memilih kata "raja kelana" yang memiliki arti "angin" tanpa harus menggunakan kata "angin" sendiri.
Mengutip Addie MS dalam tulisannya, ia merasakan bagaimana Ismail Marzuki tidak menciptakan lirik yang berbunga-bunga seperti lirik lagu zaman sekarang. Malah, Ismail Marzuki membuat lirik yang sederhana, to the point, tapi tetap indah tanpa ada mental menggebu-gebu untuk terdengar puitis. Bagi Addie MS, ada keindahan yang membuat siapapun pendengarnya dapat membayangkan apa yang beliau gambarkan.
Memasuki hari-hari menuju usia 78 tahun Republik Indonesia, saya ingin membawa kita semua untuk memberikan apresiasi lebih besar terhadap "Rayuan Pulau Kelapa". Jangan sampai lagu ini hanya pernah tercatat sejarah sebagai lagu pengantar tidur pada era Orde Baru, atau hanya menjadi bagian kecil dari lagu nasionalis. Lebih dari itu, "Rayuan Pulau Kelapa" ciptaan Ismail Marzuki adalah nota kekaguman yang bisa membuat kita lebih berterima kasih atas perjuangan yang dilakukan oleh setiap insan di Tanah Air untuk keberlangsungan Nusantara.
(tim/DIR)