Selain bom atom, terdapat satu hal lain yang identik dengan J. Robert Oppenheimer; satu kutipan dari syair Bhagavad-Gita, bagian dari Mahabharata. "Now I am become Death, the destroyer of worlds", konon merupakan salah satu bagian syair yang terlintas dalam pikirannya saat ia menyaksikan tes peledakan bom The Manhattan Project. Penggalan syair tersebut merupakan dialog yang diucapkan Krishna-inkarnasi dari Dewa Wisnu ketika ia memperlihatkan wujud semestanya di hadapan Arjuna saat Arjuna dihadapkan dengan serbuan tentara musuh yang juga mencakup teman-teman yang ia kenal.
Pada situasi tersebut, yang disampaikan Krishna pada Arjuna adalah terlepas dari apa pun yang mereka lakukan, perihal hidup dan mati berada pada kekuasaan yang lebih tinggi, bukan mereka. Walau petikan ini dimaksudkan untuk memberikan ketenangan pikiran bagi Arjuna, sepertinya hal yang sama tidak pernah dirasakan oleh Oppenheimer pasca keterlibatannya dalam penemuan bom atom. Kompleksitas emosi dari salah satu fisikawan paling brilian sepanjang sejarah modern inilah yang menjadi subjek dari film terbaru Christopher Nolan, Oppenheimer.
Diangkat dari biografi American Prometheus: The Triumph and Tragedy of J. Robert Oppenheimer karya Kai Bird dan Martin J. Sherwin, Oppenheimer menceritakan tentang berbagai fase hidup sang fisikawan secara non-linear, dengan keterlibatannya pada The Manhattan Project dan proses pemeriksaan latar belakang oleh Komisi Energi Atom Amerika Serikat (United States Atomic Energy Commission/AEC) yang dialaminya bertahun-tahun kemudian, pada 1954. Dengan Cillian Murphy sebagai pemeran utama dan cast berkaliber tinggi, Nolan berhasil menghasilkan film bernarasi padat yang agaknya sama kompleksnya dengan sang figur utama yang diangkatnya.
Walau film ini bisa dibagi menjadi sejumlah babak secara garis besar, penonton tidak dibawa ke dalam cerita yang intensitasnya meningkat secara bertahap, melainkan langsung "dilempar" ke dalam narasi maju-mundur berbagai fase penting dalam kehidupan Oppenheimer. Mulai dari masa Oppenheimer sebagai pelajar pascasarjana, mengajar di University of California, Berkeley, mengepalai The Manhattan Project, hingga tahun-tahun setelahnya. Deretan karakter di sekitar Oppenheimer memperlihatkan bagaimana hubungan-hubungan yang ia bangun membawanya ke berbagai momen krusial yang secara bersamaan mendukung dan memperumit perjalanan hidupnya.
Sepanjang film, Oppenheimer digambarkan sebagai pribadi yang enigmatis. Tidak ada sosok yang digambarkan bisa mengenal Oppenheimer secara utuh; baik pemikirannya, apa yang ia percayai, hingga emosi yang ia rasakan. Namun, bukankah hal yang sama juga berlaku bagi kita semua? Tampaknya, skala kompleksitas ini pun berbeda bagi figur kolosal seperti Oppenheimer.
Kolosal, Namun Bukan Tanpa Kekurangan
Pada satu momen dalam babak pertama film, Oppenheimer muda yang frustrasi ketika tidak diperbolehkan menghadiri kelas dari fisikawan Niels Bohr di Christ's College, Cambridge karena eksperimennya di kelas yang belum berhasil memutuskan untuk meracuni apel supervisornya, Patrick Blackett. Oppenheimer yang menyesali niatan tersebut pada keesokan harinya dengan panik mencoba mengambil apel tersebut dari meja Blackett sebelum ia sempat memakannya. Keengganan dalam mengambil nyawa seseorang ini terasa ironis, mengingat apa yang menunggu Oppenheimer dalam hidupnya bertahun-tahun kemudian.
Krisis moral akan andilnya dalam menciptakan bom atom diperlihatkan bahkan ketika Oppenheimer memberikan pidato pasca berhasilnya pengeboman Amerika Serikat ke Hiroshima. Ia menyatakan penyesalannya bahwa bom tersebut tidak berhasil dikembangkan tepat waktu untuk melawan Nazi, namun keengganan ketika ciptaannya digunakan untuk mengebom Hiroshima dan Nagasaki di mana Jepang pada saat tersebut sebenarnya tengah menuju kekalahan dalam Perang Dunia 2 adalah hal yang tidak boleh diperlihatkannya.
Fakta bahwa bom atom akan terus eksis di dunia, bahkan setelah perang berakhir, adalah poin yang terus ditekankan sepanjang film. Atas pemikirannya, Oppenheimer memberikan umat manusia "alat" dan pengetahuan untuk saling menghancurkan. Dengan fokus pada pergulatan internal Oppenheimer, film ini tidak memperlihatkan dampak nyata dari pengembangan bom atom-baik bagi masyarakat Jepang maupun penduduk asli Amerika Serikat yang tadinya menempati Los Alamos, pusat riset The Manhattan Project.
Apakah beban moral yang diemban oleh Oppenheimer sebagai kepala pengembangan proyek ini lebih berat dari mereka yang secara nyata terdampak olehnya? Tak ada yang bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi sosok yang bertanggung jawab atas kematian ratusan ribu nyawa sekaligus mengubah jalannya dunia. Namun apakah beban ini lebih berat dari kehilangan keluarga dan tempat tinggal atas temuan tersebut?
Dengan cast yang bertabur bintang di antaranya Robert Downey Jr., Matt Damon, Rami Malek, Florence Pugh, dan Emily Blunt performa akting dari masing-masing tidak perlu diragukan lagi. Namun, ada titik di mana kehadiran para bintang A-list ini cenderung distracting. Banyaknya karakter ditambah nama besar yang memerankannya kadang bisa membuat penonton malah berfokus dalam mengenali masing-masing pemeran dibanding mengikuti narasi. Durasi yang panjang juga membuat beberapa bagian film terasa draggy, dengan dialog yang sulit dicerna tanpa konteks saintifik dan historis bagi penonton.
Terlepas dari sejumlah kekurangan tersebut, Nolan berhasil merangkum kisah ini dengan apik dan engaging. Sinematografi dari Hoyte van Hoytema dan scoring dari Ludwig Goransson pun sudah tidak perlu dipertanyakan lagi keseluruhan komponen ini sukses membangun mood yang kolosal, megah, dan terasa larger than life.
Tentu terdapat ekspektasi yang tinggi bagi film ini, lengkap dengan momen-momen di mana penonton telah memiliki bayangan tentang apa yang akan terjadi dan Oppenheimer menyampaikannya secara memuaskan. Tantangan dalam membuat film historis tentu ada pada fakta bahwa semua orang telah memiliki gambaran umum tentang alur dan akhirnya, maka bagaimana penonton sampai ke titik tersebut adalah hal krusial. Ketegangan yang dibangun dari framing, scoring, hingga penggunaan warna menjadi faktor penentu dalam menghasilkan narasi yang compelling.
Menghadapi musuh dan mengambil nyawa bagi Arjuna yang memercayai bahwa "jiwa" merupakan entitas yang tidak bisa mati, mungkin bisa dilakukan dengan hati yang lebih tenang-perkara hidup dan mati merupakan bagian dari siklus yang berada di luar kuasanya. Seperti banyak hal tentang dirinya, apa yang dipercayai Oppenheimer mengenai siklus hidup dan mati tidak bisa ditebak, namun tak sulit menebak bahwa hal ini memiliki tempat khusus dalam pikirannya.
Dunia tentu tak lagi sama pasca penemuan bom atom, namun pertanyaan mengenai apakah ia menuju ke arah yang lebih baik atau lebih buruk tetap tak terjawab, berdekade-dekade setelah kematian Oppenheimer.
(alm/DIR)