Greta Gerwig berhasil mewujudkan sesuatu yang hanya bisa dimimpikan banyak orang: membuat Barbie dan dunianya menjadi kenyataan. Kenyataan itu muncul dalam bentuk Barbie, sebuah film action comedy yang strategi pemasarannya telah menjadi buah bibir banyak orang selama beberapa bulan ke belakang. Sebagai sebuah produk mainan, Barbie memiliki banyak kontradiksi—ia dicintai sekaligus dibenci. Dengan berani, Barbie berupaya untuk merefleksikan semua kontradiksi itu secara blak-blakan dalam sebuah film satir yang menyenangkan.
Barbie dibintangi oleh deretan cast papan atas, seperti Margot Robbie, Ryan Gosling, Simu Liu, Emma Mackey, dan America Ferrera. Tak hanya itu, soundtrack Barbie juga diisi oleh musisi yang merajai tangga lagu, seperti Dua Lipa dan Billie Eilish. Strategi pemasaran yang over the top membuat Barbie menjadi film yang ditunggu-tunggu. Apalagi, campur tangan Greta Gerwig (Lady Bird, Little Women) sebagai sutradara membuat pecinta film berharap banyak untuk film ini. Jadi, apakah Barbie berhasil memenuhi ekspektasi yang diciptakannya sendiri?
Dunia Tidak Seindah Barbieland
Kehidupan di Barbieland bagaikan utopia. Para Barbie tinggal di dreamhouse dengan interior serba pink dan menjalani hari dengan penuh senyuman. Sore mereka bersantai di pantai, lalu malam berpesta di bawah bola disko. Ada berbagai macam Barbie yang tinggal di sini; Barbie peraih Hadiah Nobel, Barbie fisikawan, Barbie pekerja konstruksi, hingga Barbie presiden. Singkatnya, di Barbieland, dunia dijalankan oleh para Barbie. Sementara itu, kesibukan para Ken sehari-hari adalah memperebutkan perhatian para Barbie.
Sampai suatu hari, Stereotypical Barbie (Margot Robbie) mengalami sesuatu yang tidak seharusnya dialami oleh Barbie—ia mengalami krisis eksistensial. Dimulai dari pikiran tentang kematian yang tiba-tiba muncul, Barbie kemudian mengalami beberapa malafungsi; seperti kakinya yang tiba-tiba menjadi datar dan selulit yang tiba-tiba muncul di pahanya. Pikiran depresif yang dirasakan Barbie ternyata ditularkan oleh manusia yang memainkannya di dunia nyata. Bersama Stereotypical Ken (Ryan Gosling), Barbie lalu berpetualang ke dunia nyata untuk menemukan jawaban.
Namun, realita dunia nyata tidak seindah Barbieland. Di dunia nyata, Barbie harus berhadapan dengan seksisme dan laki-laki yang memegang kontrol atas segalanya. Bahkan Mattel, perusahaan yang memproduksi Barbie dan mempromosikan ide "women can be everything", dipimpin oleh sekelompok laki-laki berdasi. Tapi bukan hanya Barbie yang dikejutkan oleh realita ini, Ken yang insecure akhirnya mengalami intellectual awakening dengan melihat bagaimana patriarki bekerja. Lewat jalan yang berbeda, keduanya pun akhirnya mengarungi perjalanan untuk menemukan jati diri.
Satir yang Renyah
Meski film ini diproduksi atas kerjasama Warner Bros dengan Mattel selaku pemilik brand, tapi bukan berarti Barbie tidak memiliki perspektif kritis. Justru, Barbie memiliki unsur self-awareness yang cukup mencengangkan, sehingga membuat film ini menjadi satir yang renyah. Dengan naskah yang witty dan cerdas, Gerwig mampu memasukkan kritik tajam terhadap Mattel dan Barbie sendiri.
Barbie mencoba menjawab sebuah pertanyaan penting: bagaimana sebuah boneka yang merepresentasikan standar tidak realistis terhadap perempuan bisa menjadi simbol pemberdayaan?
Dalam proses menjawab pertanyaan ini, Barbie mengemukakan berbagai isu masyarakat kontemporer; mulai dari standar kecantikan yang tidak realistis, refleksi mengenai representasi, hingga toxic masculinity. Jawaban dari pertanyaan besar tersebut akhirnya datang dari karakter Gloria (America Ferrera), seorang ibu yang bekerja di Mattel. Lewat Gloria, Gerwig memberikan sebuah pesan yang cukup tajam: berdaya bukan berarti sempurna dan bisa melakukan segalanya.
Sayangnya pesan yang disampaikan oleh Gloria—yang seharusnya bisa menjadi highlight dari Barbie—tidak mendapat porsi yang cukup. Pada satu titik, dialog yang diucapkan para karakternya terasa repetitif dan banal. Sampai-sampai, rasanya semua kata kunci mengenai patriarki dan feminisme dijejalkan ke dalam naskah film berdurasi 2 jam. Pun segala hal yang diungkap oleh Barbie sebenarnya bukan sesuatu yang baru diketahui—sehingga pada beberapa bagian, penyampaian isu dalam film ini terasa kurang meyakinkan.
Absennya Nilai Sentimental
Satu hal lain yang sedikit mengecewakan dari Barbie adalah kurangnya dimensi personal yang seharusnya bisa dieksplorasi lebih jauh dalam film ini. Sebagai mainan, Barbie bukan hanya ikonis, tapi juga memiliki nilai sentimental bagi kita yang tumbuh besar bersamanya. Namun Gerwig—dan co-writer Noah Baumbach—gagal memanfaatkan aspek ini secara maksimal untuk merangkai storytelling yang menggugah.
Gerwig sebenarnya sudah meletakkan fondasi agar Barbie menjadi kisah yang emosional melalui kehadiran 2 karakter, Gloria dan Ruth Handler (Rhea Perlman) yang merupakan pencipta dari boneka Barbie. Dua karakter ini adalah jangkar yang mengaitkan karakter Barbie dengan semesta yang lebih kompleks. Keduanya menjadi penanda bahwa pemaknaan Barbie dari masa ke masa tidak terlepas dari campur tangan individu yang memaknai Barbie secara personal dan berbeda-beda. Sayangnya, relasi antara Barbie dengan keduanya kurang dieksplorasi. Seperti Ken, nasib mereka hanyalah sebagai pelengkap.
Nilai sentimental yang dibangkitkan oleh Barbie sangat bergantung pada nostalgia penonton terhadap mainan yang mengisi masa kecil mereka. Namun, nostalgia saja tidaklah cukup. Secara teknis, Barbie memiliki modal yang kuat untuk menjadi film terbaik tahun ini; mulai dari production design yang memanjakan mata, akting yang kuat dari para cast, hingga premis yang menarik. Film ini melampaui berbagai ekspektasi, tapi di saat yang bersamaan, ia juga gagal memenuhi beberapa ekspektasi.
Meski demikian, rasanya kurang adil apabila film ini dinilai hanya berdasarkan naskahnya. Sebab, masih ada banyak aspek dari film ini yang layak mendapatkan pujian. Seperti Margot Robbie dan Ryan Gosling yang tampil bersinar sebagai Barbie dan Ken. Bagi kita yang tumbuh besar bersama Barbie, melihat dunia ini dihidupkan ke layar lebar adalah suatu kegembiraan tersendiri. Mengesampingkan beberapa kekurangan yang dimiliki film ini, Barbie tetap mampu memberikan pengalaman menonton yang wholesome.
(ANL/alm)