The Idol akhirnya berakhir setelah episode kelima sekaligus terakhir yang berjudul "Jocelyn Forever" tayang Senin lalu (3/07/23) waktu Indonesia. Mulanya, serial yang dibuat oleh Sam Levinson (kreator Euphoria) dan Abel "The Weeknd" Tesfaye ini diprediksi akan mengikuti jejak kesuksesan Euphoria.
Namun biaya produksi yang dikabarkan mencapai $75 juta ternyata tak berbuah manis. Sejak pertama kali ditayangkan hingga serial ini berakhir, The Idol mendapatkan banyak ulasan negatif dari kritikus dan audiens. BBC menyebutnya sebagai "2023's biggest TV disaster" dan The Guardian menyebutnya sebagai "one of the worst programmes ever made."
Premis utama dari The Idol sebenarnya cukup menarik, yaitu mengenai sisi gelap industri musik yang digambarkan melalui hubungan antara pop star bernama Jocelyn (Lily-Rose Depp) dengan pemilik klab malam sekaligus cult leader bernama Tedros (Abel Tesfaye). Kritik membanjiri serial ini sejak episode pertama; mulai dari adegan erotis yang bizarre dan terkesan eksploitatif, dialog yang ditulis dengan buruk, serta akting Tesfaye sebagai Tedros yang terasa cringe.
Sampai di penghujung cerita, serial ini masih tetap banjir kritik. Kekecewaan orang-orang sebenarnya wajar belaka, sebab ekspektasi terhadap The Idol melambung tinggi sejak Sam Levinson menjanjikannya sebagai "biggest show of the summer". Apalagi, The Idol tayang di slot waktu yang sebelumnya diisi oleh Succession, salah satu serial terbaik yang pernah tayang di HBO.
Semakin tinggi ekspektasi orang-orang, semakin keras kritik yang muncul. Tapi, kegagalan The Idol sebenarnya sudah bisa diprediksi bahkan sebelum serial ini tayang, ketika kabar tentang pergantian sutradara tercium oleh media dan publik.
Diliputi Kontroversi Sebelum Tayang
Pada awal Maret, Rolling Stone menerbitkan artikel berjudul 'The Idol': How HBO's Next 'Euphoria' Became Twisted 'Torture Porn'. Dalam artikel ini, 13 narasumber yang terdiri dari cast dan crew membeberkan berbagai masalah yang terjadi di masa produksi, utamanya ketika sutradara Amy Seimetz mendadak keluar di tengah proyek. Seimetz kemudian digantikan oleh Sam Levinson, yang membuat perubahan drastis dengan melakukan banyak rewrite dan reshoot.
Baik HBO ataupun Seimetz tidak menjelaskan penyebab di balik keputusan tersebut, namun Abel Tesfaye selaku creator dikabarkan tidak senang dengan arah dari serial ini yang terlalu condong ke "perspektif perempuan". Namun menurut para crew, pendekatan yang digunakan Levinson justru mengubah pesan keseluruhan yang ingin disampaikan melalui The Idol.
"Saya bergabung karena serial ini awalnya adalah satire tentang fame...tapi alih-alih menjadi satire (The Idol) justru menjelma jadi hal-hal yang ingin disindirnya," ucap seorang anggota produksi sebagaimana dikutip dari Rolling Stone. Salah satu keresahan yang dirasakan kru produksi muncul dari banyaknya adegan seks yang disturbing, bahkan melebihi Euphoria. Bahkan, salah seorang dari mereka mengatakan The Idol versi Levinson "seperti rape fantasy yang dimiliki oleh laki-laki toxic."
Artikel Rolling Stone tersebut tampaknya membuat Tesfaye tersindir. Sesaat setelah artikel tersebut terbit dan viral, Tesfaye mengunggah potongan clip The Idol yang pada akhirnya tidak ditayangkan di akun Twitter pribadinya dengan caption "Rolling Stone did we upset you?" Namun segala upaya untuk mengatasi dampak pemberitaan Rolling Stone seketika kandas ketika The Idol ditayangkan. Sebab berbagai testimoni buruk dari para cast dan crew akhirnya terbukti dalam produk akhir serial ini.
Kegagalan The Idol
Ada banyak alasan mengapa The Idol gagal menjadi serial yang sukses. Salah satunya yaitu bagaimana serial ini terkesan seperti mengeksploitasi seks dan nudity. Nudity bukan hal baru bagi Levinson, sebab formula ini juga ia gunakan dalam Euphoria yang mengangkat eksplorasi seksualitas di kalangan remaja. Tapi di The Idol, nyaris setiap episodenya memuat adegan S&M antara Jocelyn dan Tedros. Sayangnya, adegan-adegan ini tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan karakter ataupun cerita.
Hal ini membuat audiens bertanya-tanya, untuk apa sebenarnya adegan seksual dipertontonkan secara terus-menerus di serial ini? Apakah untuk menunjukkan bahwa Jocelyn, sebagai seorang perempuan, juga memiliki fantasi seksual? Atau untuk menggambarkan dinamika relasi antar Jocelyn yang mentalnya sedang rapuh dengan Tedros yang manipulatif? Pertanyaan ini pada akhirnya tidak terjawab, sebab motivasi dari karakter Jocelyn ataupun Tedros sukar untuk dipahami.
Hal ini menuntun kita kepada kegagalan The Idol yang kedua, yaitu penulisan karakter yang seadanya beserta akting yang kurang memadai. Karakter yang cukup memikat di serial ini justru datang dari para pemeran pendukung, seperti Xander yang diperankan oleh Troye Sivan dan Destiny yang diperankan oleh Da'Vine Joy Randolph. Jocelyn, misalnya, ia digambarkan sebagai pop star yang menjadi korban dari industri musik yang eksploitatif. Tapi kemudian karakternya tidak pernah berkembang dari narasi itu.
Perkembangan karakter Jocelyn baru muncul di episode terakhir, ketika Tedros menyadari bahwa Jocelyn selama ini berbohong tentang ibunya yang abusive. Sehingga audiens seakan diajak untuk menyadari bahwa Jocelyn-lah yang selama ini memanipulasi Tedros. Akan tetapi, bagian yang seharusnya menjadi plot twist ini pun kurang meyakinkan dan tidak masuk akal.
Kegagalan ketiga The Idol, dan mungkin yang utama, adalah bagaimana ia gagal meyakinkan audiens mengenai pesan yang ingin disampaikan melalui cerita ini. Tentu saja, karya sinematik tidak memiliki kewajiban untuk memberi pesan moral kepada penonton, tapi setidak-tidaknya, realita yang ditampilkan di layar kaca harus bisa dicerna dan diterima. Sementara itu dengan plot setengah matang dan dialog seadanya, para creator The Idol sendiri sepertinya bingung ke mana arah dari narasi yang ingin mereka sampaikan.
Dengan semua kegagalan itu, bukan berarti The Idol tidak memiliki potensi. Premis awal mengenai sisi gelap industri musik dari perspektif pop star perempuan sebenarnya sangat menarik. Beberapa hari setelah The Idol berakhir, foto-foto yang diduga berasal dari set The Idol versi Amy Seimetz bersirkulasi di media sosial. Para penggemar pun banyak yang berandai-andai, apabila versi Amy Seimetz yang dipakai mungkin The Idol akan sukses.
Di luar kegagalan dari segi penceritaan, The Idol seharusnya menjadi pengingat bahwa "perspektif perempuan" tidak seharusnya dianggap sebagai inconvenience dalam proses kreatif. The Idol berusaha keras untuk menjadi serial yang edgy dan provokatif. Tapi pada akhirnya serial ini terasa seperti mimpi buruk bagi para penonton. Dan syukurlah mimpi buruk ini sekarang sudah berakhir.