Menjadi penggemar komik selama lebih dari satu dekade ke belakang memiliki suka-dukanya tersendiri. Popularitas adaptasi medium komik-terutama dalam genre superhero-meningkat pesat sejak akhir dekade 2000-an. Walau film adaptasi komik memang sudah eksis sebelumnya, kesuksesan trilogi The Dark Knight dan dimulainya proyek ambisius Marvel Cinematic Universe mengantarkan genre ini ke kesadaran publik secara masif.
Tentu hal ini adalah sesuatu yang exciting-melihat berbagai karakter dan cerita yang dulunya hanya tertuang dalam panel-panel halaman secara nyata di layar lebar adalah pengalaman yang bisa membuat semua penggemar komik merasa seperti anak kecil kembali. Namun, seiring waktu, popularitas inilah yang menjadi downfall dari CBM (comic book movies/film adaptasi komik).
Besarnya volume CBM membuat pendekatannya menjadi formulaik-tak sulit menebak alur cerita dari tiap film berbeda, humor yang disisipkan, hingga kaitannya dengan film atau serial lain dalam franchise yang sama. Output yang kian cepat juga membuat kualitas dari tiap film maupun serial menjadi tak sekuat seharusnya. Sebelum terlalu lama, superhero fatigue atau kebosanan terhadap genre superhero pun melanda audiens umum dan penggemar komik.
Review Spider-Man: Across the Spider-Verse
Sulit rasanya untuk tetap merasa excited terhadap film adaptasi komik baru, namun Spider-Man: Across the Spider-Verse berhasil mematahkan kebosanan itu. Sebagai film kedua dalam trilogi animasi Spider-Verse, film ini berhasil mencapai apa yang belakangan ini gagal diraih oleh adaptasi live action. Jika pada Spider-Man: Into the Spider-Verse, karakter utama kita, Miles Morales, masih menavigasi tanggung jawab yang dimilikinya sebagai Spider-Man, pada film kedua ini ia telah sedikit demi sedikit beradaptasi pada perannya.
Masalah ditangani Miles dalam kehidupannya tentu bukan hanya kriminal belaka, karena sebagai remaja, ia juga menghadapi alienasi dan perasaan terisolasi dari sekitar-sulitnya mengomunikasikan apa yang ada di benaknya, beranjak menuju dewasa, hingga pencarian kinship dengan orang-orang di sekitar. Terlepas dari semua kesulitan dalam menyeimbangkan kedua sisi hidupnya, outlook optimis yang tetap dimiliki Miles sepenuhnya menggambarkan Spider-Man sebagai karakter.
Secara naratif, Spider-Man: Across the Spider-Verse mengambil skala yang jauh lebih besar dari film pertamanya. Jika film pertama membicarakan tentang bagaimana Miles menerima identitas dan tanggung jawabnya sebagai Spider-Man, sekuel ini malah mempertanyakan tentang ekspektasi yang datang dengan identitas tersebut-dan bagaimana caranya melepaskan diri dari bayang-bayang ekspektasi. Fokus cerita pun tidak sepenuhnya jatuh pada Miles, karakter-karakter seperti Spider-Woman dari Earth-65-Gwen Stacy-serta Peter B. Parker dari Earth-616 juga diberikan spotlight beserta masalah-masalah yang mereka hadapi. Selain jajaran karakter lama, berbagai Spider-People baru dari semesta berbeda juga turut diperkenalkan; Miguel O'Hara (Spider-Man 2099), Jessica Drew (Spider-Woman), Pavitr Prabhakar (Spider-Man India), Hobie Brown (Spider-Punk), dan banyak lainnya.
Walau bukan termasuk bagiannya, Spider-Man: Across the Spider-Verse mengeksekusi konsep multisemesta yang tengah banyak dieksplorasi oleh Marvel Cinematic Universe dalam beberapa film dan serial ke belakang secara sangat baik-melalui pembahasan tentang konsekuensi dari tindakan yang memengaruhi semesta lain. Lebih dari narasi tentang menerima "takdir", tema yang dieksplorasi film ini justru berfokus pada cara untuk menemukan jalan sendiri. Karakter antagonis dari segala arah, penceritaan yang padat, narasi yang saling terhubung, dan alur cerita yang dinamis mungkin akan membuat penonton merasa overwhelmed dalam film yang tidak dieksekusi dengan baik, namun kasus tersebut tidak terjadi dalam Spider-Man: Across the Spider-Verse.
Eksplorasi Visual dan Audio
Sebagai sekuel dari salah satu film animasi paling inovatif, wajar jika ekspektasi terhadap arahan kreatif Spider-Man: Across the Spider-Verse sangat tinggi. Tidak berhenti pada pendekatan visual yang membuat film pertamanya ikonik, sekuel ini melakukan eksplorasi visual lebih jauh tanpa menghilangkan identitas unik yang telah dibangun. Seluruh semesta berbeda didesain dengan art style yang juga berbeda, pun juga dengan tiap karakternya. Referensi terhadap panel komik juga tetap hadir, dengan editor's note yang memberi konteks bagi sejumlah adegan dan efek-efek visual yang stylized.
Scoring gubahan Daniel Pemberton dan soundtrack dari Metro Boomin turut membangun mood film yang bergerak dengan cepat. Terkadang menegangkan, kemudian tenang di momen-momen selanjutnya, bagaimana elemen audio dan visual dalam film melengkapi satu sama lain dan narasi keseluruhannya adalah hal lain yang membuatnya notable.
Adaptasi Ideal Komik
Keberhasilan sekuel ini kembali memperlihatkan potensi yang dimiliki medium animasi, yang seringkali terlupakan dalam pembicaraan tentang sinema. Ketika menontonnya, ada pula pertanyaan yang muncul; apakah adaptasi komik memang lebih ideal dituangkan dalam bentuk animasi? Tak bisa disangkal bahwa banyak elemen animasi yang tidak bisa dilakukan oleh film live action, dan excitement ketika menonton Spider-Man: Across the Spider-Verse terasa seperti menyaksikan panel-panel komik menjadi "hidup"-bukan sekadar dituangkan ke layar lebar. Ada rasa kagum yang terasa nyata dalam atmosfer bioskop dari setiap orang yang menontonnya, melebihi banyak CBM lain.
Spider-Man: Across the Spider-Verse juga memperlihatkan bahwa adaptasi komik yang baik tak perlu sepenuhnya mengikuti alur cerita komiknya. Terdapat tiga event Spider-Verse besar dalam komik-tidak semuanya memiliki cerita yang baik-dan film ini tidak mengambil ceritanya secara mentah. Alih, alih, trilogi ini mengambil konsep dan premis yang telah ada sebelumnya dan mengembangkannya menjadi sesuatu yang fresh namun tetap terasa familiar. Bahkan, origin story dari banyak karakternya pun jauh berbeda dengan komiknya. Walau banyak penggemar komik yang menyatakan bahwa akurasi terhadap material aslinya adalah hal yang sakral, rasanya tak akan ada yang memprotes perbedaan-perbedaan dalam film ini.
Terlepas dari karakterisasi salah satu antagonis yang terasa "di luar karakter", rasanya tak ada lagi hal yang bisa saya kritik dari film ini-bahkan hal tersebut pun tak mengganggu saya karena karakter tersebut merupakan versi lain dari iterasi komiknya. Tak mudah untuk mencapai kesempurnaan, tapi film ini sangat mendekatinya. Pada akhirnya, Spider-Man: Across the Spider-Verse bisa disandingkan sejajar dengan sekuel-sekuel kedua ikonik lain sepanjang sejarah budaya pop; Star Wars: The Empire Strikes Back, The Dark Knight, hingga The Lord of the Rings: The Two Towers-film yang membuat penonton tidak sabar untuk menyaksikan konklusi ceritanya.
(alm/tim)