Setiap kali episode baru Succession tayang di HBO, media sosial selalu berubah menjadi forum diskusi bagi para penggemar serial ini. Tak ada konflik penuh plot-twist atau kematian yang mengejutkan dalam Succession (kecuali di episode 3 season 4), yang ada hanyalah percekcokan dan pengkhianatan di antara anggota keluarga Roy. Dari musim pertama hingga musim keempat, kita melihat bagaimana Connor Roy, Kendall Roy, Shiv Roy, dan Roman Roy, memperebutkan titel sebagai penerus ayah mereka, Logan Roy—pendiri perusahaan konglomerat Waystar Royco.
Senin kemarin (29/5, waktu Indonesia), Succession resmi berakhir dengan tayangnya episode 10 musim keempat yang berjudul "With Open Eyes". Tak semua serial populer bisa memiliki ending yang sempurna, karena para fans memiliki ekspektasi yang berbeda-beda. Tapi, Succession berhasil melakukannya. Di sini, tim editorial CXO Media—Almer dan Tasya—mendiskusikan kesan dan pendapat mereka setelah menyaksikan episode terakhir Succession.
Peringatan: artikel ini mengandung spoiler untuk episode akhir Succession.
Almer: Jadi, gimana pendapat lo tentang ending Succession?
Tasya: Gue puas banget, sih. Ada banyak momen emosional yang nggak gue temukan di episode-episode sebelumnya. Salah satunya momen pas Kendall, Roman, dan Shiv nonton video Logan sambil duduk dengan ekspresi yang berkaca-kaca. Kayaknya itu satu-satunya momen di mana mereka bertiga grieving secara proper, terbuka, dan dilakuin bareng-bareng. Tapi yang membuat ending ini memuaskan adalah gue ngerasa semuanya pas.
Almer: Menurut gue, momen-momen yang lo sebutkan itu adalah kesuksesan terbesar Succession. Dari episode pertama, kita sudah diperlihatkan bahwa semua karakter di serial ini tuh bukan orang baik, tapi banyak momen di mana karakter-karakter ini di-humanize dan kita bisa berempati untuk mereka. Kita juga dibuat nggak bisa sepenuhnya menyalahkan mereka, karena sedikit demi sedikit kita diperlihatkan bagaimana semua karakternya terbentuk oleh situasi, lingkungan, dan orang-orang di sekitar mereka—bahkan termasuk Logan.
Tasya: Penulisan karakternya bagus banget, porsi antara ketika mereka digambarkan secara humanis sama ketika mereka digambarkan secara blak-blakan sebagai pengusaha kaya yang nggak peduli sama orang lain terasa seimbang. Gue ikut ngerasa hancur pas Roman nangis sesenggukan di pundak Kendall. Tapi by the end of the show, gue juga sadar kalau orang-orang ini semuanya brengsek. Kalau menurut lo, habis nonton episode terakhir ini, yang paling brengsek di Succession siapa?
Almer: Sulitnya adalah kita selalu dibawa untuk rooting terhadap karakter yang berbeda sepanjang serial ini berjalan. Di satu story arc, bisa saja Kendall jadi yang paling brengsek, tapi selanjutnya Shiv diperlihatkan jadi yang paling parah. Secara keseluruhan, gue merasa Logan tetap jadi karakter paling toxic yang pengaruh dan presence-nya paling terasa bahkan ketika dia sudah meninggal—tapi di antara anak-anaknya yang berebut kekuasaan, sepertinya episode terakhir ini benar-benar memperlihatkan Kendall sebagai pribadi yang driven by ego and selfishness.
Tasya: Level brengsek-nya Kendall meningkat banget di episode ini, terutama pas dia terang-terangan denial kalau dia pernah membunuh seseorang. Padahal selama ini rasa bersalahnya menggerogoti dia dan membuat dia depressed juga, tapi pada akhirnya dia nggak akan membiarkan apapun untuk menghalangi jalannya buat menjadi CEO Waystar. Dan hal ini sebenarnya berlaku buat karakter lain juga, cuma di episode ini Kendall terasa lebih entitled dibandingkan Shiv dan Roman. Tapi kalau dalam konteks the whole show, Logan-lah yang paling berkontribusi dalam membuat anak-anaknya jadi seperti ini.
Almer: Terlepas dari seberapa parahnya kelakuan Roman di beberapa episode terakhir, saat di mana dia bilang ke Kendall bahwa "We are bullshit" soal mereka bertiga tuh kayak momen realisasi bahwa mereka sebenarnya memang bukan orang-orang yang capable untuk menjalankan perusahaan—dan hidup mereka akan jauh lebih ringan tanpa Waystar Royco. Gue nggak mengira bahwa di antara mereka semua, Roman bakal jadi satu-satunya yang cukup dewasa untuk melihat hal tersebut.
Tasya: Itu salah satu line favorit gue di episode ini. Dan pada akhirnya, masuk akal juga kalau dari mereka bertiga akhirnya nggak ada yang berakhir jadi pewaris perusahaannya. Yang mereka warisi pada akhirnya, selain kekayaan, ya generational trauma dari Logan. Tapi ngomong-ngomong, gimana pendapat lo tentang Tom yang akhirnya jadi CEO?
Almer: They are not serious people, afterall (haha). Walau katanya hal ini sudah foreshadowed dari lama, gue jujur nggak menyangka. Kalau dilihat-lihat lagi, sebenarnya Tom memang salah satu dari sedikit karakter yang memang benar-benar "kerja". Dia juga nggak kelihatan happy, sih, dengan kenaikan jabatan signifikan ini. Everybody loses in the end—dan nggak ada aftermath yang membahas bagaimana kelanjutan hal ini. Sebenarnya masih banyak banget loose ends dari serial ini, gimana menurut lo soal itu?
Tasya: Gue ngerasa di sepanjang serial ini ada beberapa loose ends yang akhirnya nggak dibahas lagi. Contohnya gue ngira deal sama GoJo akan gagal karena Matsson ketahuan memanipulasi angka, tapi ternyata sampai akhir nggak berdampak signifikan. Tapi entah kenapa, gue nggak merasa terganggu sama loose ends yang ada. Karena yang gue perhatikan, pola dari serial ini adalah dia selalu memberi konflik dan kejutan baru untuk dibicarakan, sebelum konflik yang sebelumnya benar-benar resolved. Atau mungkin karena di kehidupan nyata yang terjadi seperti itu ya? Buat orang-orang se-powerful ini, konflik yang menurut kita besar mungkin bagi mereka makanan sehari-hari. Sebab pada akhirnya, yang paling penting buat mereka hanya bagaimana cara mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan.
Almer: Sebenarnya ada beberapa plot point dan loose ends yang gue rasa akan lebih baik kalau diselesaikan, tapi sepertinya kekuatan terbesar Succession memang ada di karakterisasi dan penulisan konflik internal serta eksternal mereka. Setiap minggu, kita dibawa melihat kompleksnya hubungan keluarga yang disfungsional. Mereka semuanya care terhadap satu sama lain, tapi juga saling mengkhianati. Sebenarnya, secara realistis kita nggak bisa rooting untuk siapa-siapa di Succession.
Tasya: Itu bukti kalau penulisan dari serial ini memang bagus banget, sih. Succession nggak akan sebagus ini tanpa writers, actors, dan production crew yang memang ahli dalam pekerjaan mereka. Gue nggak menyangka keseharian orang-orang korporat seperti keluarga Roy dan kroninya bisa menjadi salah satu serial terbaik yang gue tonton. Oh iya, scoring-nya juga apik banget. Nicholas Britell layak mendapatkan penghargaan.
Almer: Gue juga memang nggak pernah skip sih opening-nya. Gue rasa, gabungan antara corporate talk yang kita nggak paham dengan dinamika keluarga yang menampilkan momen-momen vulnerable ini memang aspek yang berhasil bikin Succession jadi memorable—terutama karena eksekusinya yang sangat baik. Scene di dapur pada episode terakhir di mana Kendall, Roman, dan Shiv bercanda bareng layaknya kakak-adik pada umumnya setelah sebelumnya bersitegang soal perebutan kekuasaan—yang juga momen terakhir mereka akur—menurut gue benar-benar pas untuk ada di ending. Tapi, lo tahu nggak bahwa scene itu adalah hal terakhir yang mereka shoot? Dari awal, gue pikir Succession memang nggak seharusnya punya happy ending, tapi setidaknya para cast dan kru dapat happy ending mereka sendiri.
Tasya: Kalau Succession punya happy ending, scene itu akan menjadi the perfect ending. Tapi seperti yang lo bilang, Succession memang nggak seharusnya punya happy ending. Gue mau berterima kasih buat cast dan kru serial ini, yang sudah berhasil menciptakan sebuah serial fenomenal dan menutupnya dengan cara yang sama sekali tidak mengecewakan. Menunggu episode terbaru Succession dan nonton opening-nya akan jadi salah satu hal yang gue rindukan.
(cxo/alm)