Walau masih cukup lama, konser Coldplay yang akan digelar di Jakarta pada November nanti memberikan pengalaman yang negatif bagi banyak penggemarnya. Pasalnya, mendapatkan tiket untuk menonton konser tersebut bukan hal yang mudah. Wajar jika kita mengingat bahwa ini akan jadi kali pertama Coldplay mengunjungi Indonesia setelah diminta oleh penggemarnya selama belasan tahun—tentu peminatnya tak terhitung. Namun, tak semua yang berhasil mendapatkan tiket adalah mereka yang ingin menyaksikan penampilan Coldplay.
Tak lama setelah tiket konser tersebut habis, banyak bermunculan reseller yang menjual tiket mereka dengan harga jauh lebih tinggi dibanding harga resmi. Melihat banyaknya penggemar Coldplay yang menyatakan kekecewaannya terhadap banyaknya reseller, tak sedikit penggemar K-pop yang ikut berkomentar bahwa hal seperti ini sudah wajar terjadi bagi mereka. Tentu ini bukan waktunya untuk saling membandingkan nasib buruk sebagai penggemar musik tertentu, namun justru kesempatan untuk melihat bagaimana keberadaan reseller memiliki dampak negatif yang merugikan berbagai orang.
Reseller dan Dampak pada Hobi
Baik penggemar musik yang ingin menonton penampilan band atau musisi favoritnya, kolektor memorabilia tertentu, hingga penggemar sneakers, seluruhnya telah merasakan bagaimana reseller mengubah iklim hobi mereka. Belum lama ini pula, satu set vinyl diskografi The Adams dengan tanda tangan lengkap sempat dibanderol dengan harga 11 hingga 30 juta Rupiah pada platform e-commerce. Vinyl yang dirilis sehari sebelum Record Store Day Indonesia tersebut langsung dijual oleh reseller pada malam perilisan—yang berarti, si penjual rela mengantre untuk membeli dan meminta tanda tangan bersama penggemar yang benar-benar ingin mendapatkan vinyl tersebut.
Hal yang dulunya bisa didapatkan dengan mudah, kini dimonetisasi bagi mereka yang bukan penggemar, namun melihat kesempatan untuk mendapat keuntungan dari hobi tertentu. Fakta bahwa bersaing dengan reseller untuk mendapatkan hal yang kita inginkan sudah menjadi hal yang lumrah bukan sesuatu yang layaknya diterima begitu saja.
Setelah menerima reaksi negatif pada laman penjualannya, set vinyl The Adams tersebut kemudian diturunkan. Namun, satu vinyl The Adams di platform e-commerce yang sama rata-rata masih dihargai sekurangnya dua kali lipat harga resmi. Bagi tiket konser, berbagai alasan yang digunakan reseller antara lain adalah tidak sengaja kebanyakan membeli tiket, berhalangan hadir ketika acara, hingga salah membeli kategori tiket.
Terkadang, bagi suatu produk yang dirilis secara daring, para reseller menggunakan bot untuk mengisi data yang dibutuhkan secara otomatis—hal yang tidak dimiliki konsumen biasa. Terlepas apapun alasannya, ketika reseller masih memiliki sumber daya lebih dari konsumen kebanyakan, serta masih adanya demand dari pasar, praktik ini sepertinya masih akan berlanjut.
"Gue pernah ingin beli Yeezy 500 di situs resmi adidas, yang waktu itu dijual secara first come first served. Gue sudah isi lengkap seluruh data diri, tapi saat checkout malah gagal terus. Ternyata gue kalah cepat dibanding orang-orang lain yang beli, termasuk reseller," ujar Timo (29), editor CXO Media mengenai pengalamannya terkait reseller. "Walaupun orang-orang banyak mengatakan 'don't hate the player, hate the game,' gue tetap merasa bahwa keberadaan reseller ini menyebalkan," lanjut Timo yang hingga saat ini belum memiliki sepatu tersebut.
Lebih lanjut, Dinar (24), penulis CXO Media yang menggemari K-pop menyatakan bahwa praktik ini kian parah dan menjamur dalam beberapa tahun ke belakang. "Waktu BLACKPINK konser di Indonesia, ada seorang influencer yang menjual tiket yang dia punya dengan harga dua kali lipat tiket resmi. Ketika dia dapat kritik, responsnya malah 'Ya berarti ini bukan buat lo,' dan pernyataan ini buat gue nggak etis," ungkap Dinar. "Orang tuh benar-benar suka sama artisnya, benar-benar ingin nonton konser musisi favoritnya, dan [yang reseller ini] lakukan itu cuma sekadar mencari keuntungan pribadi tanpa peduli dengan fans yang mungkin sudah menunggu-nunggu momen tersebut," tutupnya.
Dari Sneakers hingga Vinyl
Tak sedikit juga yang secara terang-terangan menentang praktik para reseller, terutama dari pihak produsen atau penjual asli produk yang diperjualbelikan. Band Touché Amoré pernah membeli kembali vinyl album mereka yang dijual dengan harga tinggi oleh reseller, dan Nike mengimplementasikan algoritma untuk menghapus akun-akun reseller dari situsnya melalui analisis pola pembelian mereka. Walau tingkat kesuksesan atau pengaruh dari upaya seperti ini masih perlu dilihat lebih jauh, hal ini merupakan langkah-langkah kecil untuk melawan praktik yang merugikan konsumen ini. Yang pasti, langkah-langkah seperti ini perlu dipraktikkan secara lebih luas dalam berbagai bentuk untuk kebaikan konsumen.
Sejatinya, hobi merupakan hal yang bisa menghadirkan rasa senang dan sense of community bersama orang-orang dengan ketertarikan serupa. Baik dalam musik, kultur sneakers, hingga koleksi lain seperti game, komik, dan lainnya, hobbyist dulunya mampu berjejaring dengan komunitas yang memiliki ketertarikan sama, saling bertukar koleksi maupun akses terhadap produk yang diinginkan, hingga memperjualbelikan koleksi yang ingin dilepas. Kini, dengan merajalelanya reseller, hobi dan ketertarikan seakan hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki kondisi finansial tinggi. Hobi seharusnya bisa diakses dengan mudah oleh mereka yang benar-benar tertarik, bukan menjadi hal yang dimonetisasi oleh orang-orang yang hanya bermotifkan keuntungan.
(alm/tim)