Seniman asal New York, Tom Sachs, meminta maaf atas tuduhan mengenai budaya toxic yang ia ciptakan di studionya. Permintaan maaf ini dikeluarkan oleh Sachs setelah Nike memutus kolaborasi dengannya per Mei 2023. Nike sendiri sudah berkolaborasi dengan Sachs selama 11 tahun, dan dari kolaborasi ini muncul koleksi yang diburu oleh pecinta sneakers, seperti Mars Yard dan NikeCraft General Purpose Shoe. Namun, kolaborasi lebih dari 1 dekade ini akhirnya pupus setelah muncul dugaan bahwa Sachs kerap berperilaku kejam terhadap orang-orang yang bekerja di studionya.
Akan tetapi, permasalahan tidak lantas selesai setelah Sachs meminta maaf. Pernyataan maaf ini baru muncul 2 bulan setelah tuduhan terhadap Sachs menyeruak ke publik. Meski menyesal, Sachs tidak mengakui perbuatannya. "Selama 30 tahun berkarir, saya tidak pernah melecehkan atau dengan sengaja membuat orang lain merasa tidak nyaman," ungkapnya. Padahal, lebih dari 12 mantan pekerja di studio Sachs mengaku takut dan trauma bekerja dengannya.
Bukan Studio, Tapi Sekte
Dijuluki sebagai "the handyman of high art" oleh GQ, Tom Sachs adalah pemahat yang dikenal atas inovasinya dalam engineering dan desain. Sachs kerap membahas sains, agama, dan budaya konsumerisme dalam instalasi yang diciptakannya. Sebagai salah satu nama besar di dunia seni kontemporer, karya Sachs bisa berharga hingga $300 ribu.
Namun, "karya" Sachs yang paling terkenal barangkali adalah studionya. Studio yang dipimpin oleh Sachs lebih mirip seperti eksperimen seni ketimbang tempat kerja. Sachs memberlakukan sebuah sistem yang harus diikuti oleh para pekerja maupun tamu yang berkunjung ke studionya. Untuk menerapkan sistem ini, Sachs membuat film berjudul Ten Bullets yang berfungsi sebagai panduan sekaligus artwork. Ten Bullets berisi 10 peraturan; mulai dari yang lazim seperti "datang tepat waktu" hingga yang militeristik seperti menjawab setiap perintah dengan "saya mengerti" atau "saya tidak mengerti".
Sachs secara terang-terangan menyebut studionya sebagai "sekte". "Tempat ini adalah sebuah sekte, dalam arti yang paling menyeramkan layaknya keluarga Manson. Kami sangat berkomitmen terhadap gaya hidup ini," ucapnya dalam wawancara bersama GQ. Dirinya juga mengatakan bahwa ia selalu berusaha untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman.
Ketika Sachs menyebut studionya sebagai "sekte", semua orang menganggap itu adalah bagian dari performance dan kreativitas Tom sebagai seniman. Realitanya, "sekte" ini adalah pertanda utama bahwa ada yang tak beres dalam budaya kerja di studio Sachs. Sachs mengaburkan batas antara mana yang seni dan mana yang budaya kerja sungguhan. Namun ketika para pekerja diperlakukan seperti karya seni, ketika itulah mereka tak lagi diperlakukan seperti manusia.
Seni yang Toxic
Terbongkarnya budaya toxic di studio Sachs berawal dari sebuah lowongan kerja yang diunggah situs New York Foundation for the Arts pada Februari 2023. Dalam lowongan tersebut, sebuah "art world family"—yang tidak disebutkan namanya—tengah mencari asisten pribadi untuk mengurus segala keperluan keluarga. Lowongan yang disebut "worst art job listing ever" itu pun viral karena menyertakan job descriptions yang absurd. Setelah viral, akhirnya terungkap bahwa "keluarga" yang dimaksud adalah Tom Sachs bersama istrinya, Sarah Hoover.
Lowongan kerja yang viral itu memantik serangkaian percakapan mengenai budaya kerja yang diterapkan Sachs, hingga akhirnya pada Maret 2023, Curbed menerbitkan artikel yang mengungkap kondisi sebenarnya di studio Sachs. Dari 12 orang yang diwawancarai, semuanya mengatakan hal yang sama: di studio, Sachs berperilaku kasar dan kerap menggunakan kekerasan.
Menurut beberapa mantan pekerja, Sachs kerap melempar barang apabila sedang marah. Ia pernah melempar besi, kayu, clipboard, hingga tangga ke arah orang yang sedang bekerja. Sifat temperamental Sachs rupanya disinggung dalam panduan yang diberikan kepada para pekerja baru. Panduan yang lebih detail daripada Ten Bullets ini menyertakan anjuran seperti "Hindari Hal-Hal yang Membuat Tom Marah". Selain itu, Sachs juga kerap meneriaki dan memanggil anggota studio dengan sebutan seperti "autis, "dungu", dan "bitch".
Tak hanya itu, Sachs juga beberapa kali melontarkan komentar bernada seksual kepada anggota studio perempuan. Ia pernah menyebut ruang penyimpanan di basement studio sebagai "rape room", dan kemudian di tahun 2016 ia mengubahnya menjadi "consent room". Perilaku ini kerap membuat para pekerja perempuan tak nyaman, bahkan salah satu dari mereka mengaku takut untuk berada di studio itu sendirian bersama Sachs ketika malam tiba.
Nihilnya Akuntabilitas
Para pekerja jelas tak memiliki bargaining power ketika berhadapan dengan Sachs, apalagi ia kerap mengingatkan kalau mereka semua "bisa tergantikan". Sementara itu, mereka yang tak cukup kuat untuk bertahan di studio Sachs dipersilakan untuk keluar kapan saja. "Banyak orang di luar sana mengetahui perilaku kejam Tom, tapi dunia seni sempit dan tak ada yang peduli," ujar salah satu mantan manajer studio seperti dikutip dari Curbed.
Cara Sachs mengelola studio berada di area yang abu-abu. Dengan memperlakukan studionya sebagai karya seni, perilaku Sachs yang kejam kerap kali tersamarkan dengan dalih "praktik kesenian". Memiliki predikat sebagai "seniman jenius" yang terkenal eksentrik membuat Sachs lolos dari perilaku toxic-nya. Toh, pikir orang-orang, kesenian yang ia lakukan memang bukan untuk dipahami oleh khalayak umum.
Sachs akhirnya mengeluarkan pernyataan maaf setelah Nike memutus kolaborasi antara keduanya—2 bulan setelah semuanya terungkap. Kendati berjanji akan memperbaiki budaya kerja di studionya, Sachs tetap bersikeras bahwa ia tak pernah secara sengaja menyakiti siapapun. Pertanyaannya kemudian adalah, kalau ia tak merasa melakukan kesalahan, perbaikan seperti apa yang bisa diharapkan?
Namun yang paling menakutkan dari ini semua adalah ada banyak orang seperti Sachs di industri kreatif. Realitanya, sikap problematik orang-orang "jenius" seringkali dimaklumi dan dimaafkan semata-mata karena mereka dianggap sebagai ikon. Sehabis berita ini reda, Sachs mungkin bisa tetap menjadi sosok yang powerful di dunia high art. Ia akan tetap berkarya seperti biasa, tanpa ada jaminan kalau budaya toxic di studionya akan berubah.
Butuh lebih dari sekadar cancel culture untuk membuat orang-orang seperti Sachs mau berbenah diri. Idealnya, ekosistem yang menopang kesuksesan Sachs-dalam hal ini dunia seni-harus bisa mengambil sikap. Artinya, aktor-aktor penting seni kontemporer seperti galeri, kolektor, seniman, dan kolaborator lainnya, semestinya bisa menunjukkan keberpihakan kepada pekerja dan membantu mereka untuk menuntut akuntabilitas dari Sachs. Atau setidak-tidaknya, mereka bisa bersepakat bahwa praktik kesenian tak seharusnya melahirkan budaya yang toxic.
(ANL/alm)