Interest | Art & Culture

Mengapa Bahasa Daerah dalam Film Sering Terdengar Cringe?

Jumat, 07 Apr 2023 12:00 WIB
Mengapa Bahasa Daerah dalam Film Sering Terdengar Cringe?
Ilustrasi film berbahasa jawa Foto: IMDb
Jakarta -

Tak ada fiksi yang tak berangkat dari realita, termasuk film. Maka dari itu, se-absurd apapun sebuah cerita, apa yang terjadi di layar harus bisa dipercayai oleh penonton. Tuntutan ini seringkali berada di atas pundak para aktor.

Mereka harus bisa meyakinkan penonton bahwa karakter yang mereka perankan adalah individu dengan identitas dan kehidupan yang terasa nyata. Di sinilah letak pentingnya penggunaan bahasa. Lewat bahasa, penonton bisa mendapatkan gambaran mengenai kehidupan personal karakter tersebut; mulai dari kepribadiannya hingga budaya yang mereka lakoni sehari-hari.

Dengan aset budaya yang beragam, penggunaan bahasa daerah di film Indonesia telah menjadi sesuatu yang lazim. Apalagi, industri film Indonesia hari ini sudah semakin sadar akan pentingnya representasi. Beberapa film yang menggunakan bahasa daerah misalnya adalah Yuni yang menggunakan bahasa Jawa-Serang dan Ngeri-Ngeri Sedap yang menggunakan bahasa Batak.

Film Yuni sendiri mendapat apresiasi yang tinggi, salah satunya karena penggunaan Jawa-Serang yang sangat baik dari para pemain. Upaya film Indonesia untuk keluar dari kungkungan Jakarta   sentris tentu saja harus diapresiasi. Namun tak sedikit juga film Indonesia yang akhirnya malah dipertanyakan karena penggunaan bahasa daerahnya tidak maksimal.

Contohnya, trailer film Sewu Dino mendapat respons negatif dari netizen setelah dirilis pada 31 Maret 2023. Sewu Dino mengambil latar di daerah Jawa Timur, tapi dalam trailer-nya, para aktor terdengar menggunakan bahasa Jawa yang dicampur dengan Bahasa Indonesia; seperti "Hari itu kita mulih" dan "untuk apa kalian mrene?

[Gambas:Youtube]

Banyak orang Jawa yang tersinggung dengan dialek yang terdengar cringe itu, atau kalau dalam bahasa Jawa, terdengar wagu. Di internet mereka menjulukinya sebagai bahasa "Jawakarta"    bahasa Jawa ala orang Jakarta. Tak tanggung-tanggung, mereka juga menganjurkan agar meng-casting aktor atau aktris asli orang Jawa agar bahasanya terdengar alami. Tapi, apa yang menyebabkan bahasa daerah di film sering terdengar cringe dan tak autentik?

Belum Adanya Standar Pelatihan Aksen

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kami bertanya kepada Banyu Bening, aktor sekaligus accent coach bahasa Jawa, khususnya Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebagai accent coach, Bening telah terlibat dalam beberapa proyek film, di antaranya KKN di Desa Penari, Royal Blood, Budi Pekerti, dan film pendek Mbok dan Bung. Menurut Bening, industri film Indonesia belum memiliki standar untuk pelatihan aksen.

Berbeda dengan Hollywood di mana para pelatih aksen mengajarkan mulai dari fonologi hingga vokal untuk pelafalan bahasa, pelatihan aksen di Indonesia cenderung dilakukan melalui proses mendengar dan meniru. "Jadi pembuat film akan mempekerjakan native dari satu daerah yang bisa bahasa itu, terus mereka akan menerjemahkannya, ngomong bahasanya, terus direkam agar bisa ditiru sama aktornya," kata Bening.

Berhubung belum ada standarisasi untuk pelatihan aksen, maka wajar saja apabila pada akhirnya banyak aksen daerah terdengar cringe dalam film Indonesia. Menurut Bening, teknik yang paling efektif adalah dengan membiarkan aktor tinggal di daerah di mana aksen itu tumbuh, dan dengan demikian mereka bisa belajar dengan mempraktikkannya sehari-hari.

Tapi proses itu bisa memakan waktu yang lama dan lagi-lagi berujung pada masalah biaya. "Satu sampai tiga bulan itu waktu yang paling minim untuk mendapatkan aksen yang nggak cringe. Sementara kita tahu tidak semua produksi film mampu membiayai proses pencarian karakter para aktor dengan waktu 1-3 bulan," katanya.

Untuk menyiasati masalah itu, Bening sendiri merancang kurikulum yang mencakup pelafalan dan bentuk mulut untuk masing-masing huruf vokal. Bentuk mulut ini merupakan aspek penting dalam pengajaran, agar para aktor bisa mengetahui teknik untuk menghasilkan pelafalan yang tepat sehingga tidak sekadar mendengar dan meniru.

.Ilustrasi film/ Foto: Pexels

Bahasa dan Representasi yang Akurat

Bicara soal adanya tuntutan ketepatan bahasa dari para penonton, Bening mengatakan, harus diakui bahwa bahasa daerah di Indonesia memiliki kompleksitas tersendiri. Sebab, perbedaan dialek dan pelafalan bukan hanya ada di tingkat provinsi, tapi di tingkat kabupaten. Misalnya, di Jawa Timur saja, pelafalan antara orang Madiun dengan orang Ngawi sudah pasti akan berbeda.

Selain itu, tepat atau tidaknya bahasa juga tergantung latar belakang dan konteks dari karakter dalam cerita. Hal ini ia tuturkan melalui pengalaman pribadinya sebagai accent coach untuk KKN di Desa Penari. Bening menuturkan bahwa karakter dalam film tersebut adalah mahasiswa yang menempuh pendidikan di kota besar, sehingga tidak menutup kemungkinan beberapa dari mereka datang dari luar pulau Jawa.

Konteks di atas, beserta keterbatasan waktu untuk mengajarkan cengkok Jawa Timur yang kesulitannya tinggi, membuat Bening membatasi materi pada pelafalan Jawa Timur yang autentik-tanpa mengajarkan cengkok khas Jawa Timur yang kental. "Jadi kalau bicara soal ketepatan, ketepatan seperti apa yang diharapkan oleh penonton Indonesia?" ucap Bening.

Terlepas dari masalah itu, Bening sendiri mengakui bahwa ia juga masuk dalam barisan penonton yang kerap merasa cringe kalau mendengar ada dialek bahasa Jawa yang salah. Tapi menurutnya, itu karena dirinya adalah orang Jawa dan dengan demikian akan mudah mengidentifikasi logat dan dialek yang kurang pas. Sedangkan bagi penonton yang bukan orang Jawa, selama aksennya sudah cukup autentik, maka apa yang ditampilkan aktor sudah cukup.

Pada akhirnya, masalah bahasa tidak bisa dilepaskan dari representasi, yaitu bagaimana sebuah identitas dipertontonkan dalam media yang dikonsumsi oleh publik secara luas. Lebih dari sekedar masalah casting, tuntutan ini sebenarnya menyangkut tanggung jawab pembuat film untuk merepresentasikan sebuah budaya secara akurat. Sebab meski filmnya fiktif, tapi komunitas yang budayanya "dipinjam" untuk keperluan cerita menghidupi realita yang nyata.

Akan tetapi, ketidakpuasan dari para penonton ini tidak bisa diselesaikan dengan cara sederhana seperti mengganti cast dengan native speaker. Cara ini mungkin berhasil bagi Ngeri-Ngeri Sedap yang semua karakternya diperankan oleh keturunan Batak.

Tapi kenyataannya, Yuni berhasil menghadirkan representasi yang akurat meski aktrisnya bukan berdarah Jawa-Serang. Sehingga solusi yang bisa ditempuh oleh filmmaker ke depannya adalah dengan melakukan riset yang mendalam dan tidak menyepelekan penggunaan bahasa daerah. Sedangkan untuk industrinya sendiri, seperti yang telah dikatakan Bening, dibutuhkan standarisasi pelatihan aksen yang melampaui teknik meniru dan mendengar.

[Gambas:Audio CXO]

(ANL/alm)

NEW RELEASE
CXO SPECIALS