Kita patut berbangga, sebab industri film Indonesia semakin berkembang dari tahun ke tahun. Hal ini dibuktikan dengan semakin luasnya genre yang diangkat ke layar lebar, juga prestasi film lokal di berbagai festival internasional. Kualitas ini tentu saja tak bisa dilepaskan dari penulisan naskah dan akting para pemain yang mampu menghidupi kata-kata menjadi dialog penuh arti.
Sepanjang perjalanannya, film Indonesia telah memberikan banyak sekali kutipan memorable yang membekas. Bahkan, terkadang kutipan tersebut menjadi aspek yang membuat film tersebut semakin iconic. Mulai dari luapan kemarahan, pernyataan cinta, hingga doa, semuanya disampaikan dengan lugas melalui dialog yang berkesan.
Dalam rangka memperingati Hari Film Nasional, berikut adalah beberapa kutipan memorable dari film Indonesia pilihan kami!
Tasya, Writer
Petualangan Sherina - Riri Riza (2000)
"Yang nempel, biar aja nempel. Biar kayak jagoan."
Sherina adalah pahlawan masa kecil saya. Di masa ketika anak perempuan identik dengan boneka Barbie, atau bermain masak-masakan, Sherina mendobrak stigma dengan menjadi anak perempuan yang pemberani yang tak takut melawan perundung. Ia gemar memanjat pohon, tidak takut menjelajahi alam, dan rela membantu teman-temannya. Tapi Sherina juga adalah seorang anak yang berhati lembut, setia kawan, dan peduli terhadap sesama. Aksesoris favorit Sherina adalah plester yang menempel di tubuhnya-sekalipun sebenarnya tidak ada luka yang harus diobati. Plester, bagi Sherina, adalah armor yang membuatnya terlihat seperti jagoan.
Dinar, Writer
Ada Apa Dengan Cinta - Rudi Soedjarwo (2002)
"Terus kalau lo sekarang nggak punya teman sama sekali kayak sekarang tuh, salah siapa? Salah gue, gue tanya? Salah teman-teman gue?"
Film Ada Apa Dengan Cinta adalah salah satu film yang selalu saya putar berkali-kali di saat film-film lain tidak saya rasa semenyenangkan itu. Pada akhirnya, memang nostalgia adalah obat terbaik di kala bosan. Sebenarnya adegan berantem Cinta dan Rangga ini bukanlah suatu scene penting yang memiliki makna tersendiri. Namun, di scene ini—lebih tepatnya dialog yang dilontarkan oleh Cinta—sangat unik dan membekas sehingga tidak pernah sekalipun saya lewati untuk simak setiap scene ini muncul.
Destya, Graphic Designer
Doa yang Mengancam - Hanung Bramantyo (2008)
"Jadi jika doaku yang ini tak juga Kau kabulkan, ini akan jadi doa terakhirku kepada-Mu ya Allah, karena setelah itu aku akan murka."
Kalimat di atas diucapkan oleh karakter Aming dalam film Doa yang Mengancam. Kalimat tersebut meninggalkan kesan yang kuat, karena saya tidak akan pernah berani mengucapkannya. Saya pikir tidak ada yang instan di dunia ini, kalau doa kita tidak terkabul yang bisa dilakukan adalah bersabar. Mungkin saja kalau kita diberi banyak cobaan, derajat kita akan ditinggikan.
Timo, Editor
Ngeri-Ngeri Sedap - Bene Dion (2022)
"Jadi orang tua itu nggak ada tamatnya, harus belajar terus."
Kalimat ini membuat saya sadar bahwa orang tua tidak selamanya memiliki kebenaran absolut. Mereka tetap bisa membuat kesalahan yang harus disadari dan dipelajari untuk menjadi lebih baik. Inilah yang membuat orang tua menjadi sosok yang sama-sama bertumbuh dengan keluarganya sendiri.
Almer, Editor
Selamat Pagi, Malam - Lucky Kuswandi (2014)
"There's no place for us here."
Diucapkan oleh karakter Naomi (Marissa Anita) kepada "sahabatnya", Gia (Adinia Wirasti), line ini secara instan menggambarkan realita pahit dan jarak antara mereka yang terpaksa terbentuk di Jakarta. Memang tak pernah diperlihatkan secara eksplisit apa hubungan kedua perempuan ini ketika mereka sama-sama menetap di New York, namun melalui gestur dan dialog keduanya yang renggang sepanjang film, kita sebagai audiens dapat menarik kesimpulan sendiri. Selamat Pagi, Malam memperlihatkan kompleksnya hubungan Jakarta dengan penghuninya yang kerap bittersweet, namun situasi yang tak memperbolehkan kedua orang yang saling mencintai untuk menjadi diri mereka sendiri adalah salah satu aspek yang kejam dari kondisi kita.
Rio, PR & Partnership
Istirahatlah Kata-kata - Yosep Anggi Noen (2016)
"Kemerdekaan itu nasi. Dimakan, jadi tai!"
Wiji Thukul, yang diperankan oleh almarhum Goenawan Maryanto, mengucapkan kata-kata tersebut secara lantang di tengah adegan di mana Wiji sedang mabuk bersama 2 kawannya di gubuk-gubuk empang yang remang dan sunyi. Dalam ingatan saya, tidak banyak terdapat backsound di sebagian besar film ini dan lebih banyak diisi kesunyian karena mungkin memang difokuskan untuk memberi gambaran mencekam Wiji sebagai buron politik. Kata-kata yang diucapkan dengan lantang di tengah kesunyian tersebut menempel erat di benak saya, meskipun hingga sekarang saya tak tahu apa artinya.
(cxo/alm)