Makoto Shinkai kembali dengan film terbarunya yang berjudul Suzume. Mengikuti jejak 2 film terakhirnya, Your Name (2016) dan Weathering With You (2019), film ini mengemas kisah cinta remaja dalam sebuah petualangan fantasi. Pada Februari lalu, Suzume diputar perdana di Berlin International Film Festival. Tak heran, penayangan Suzume di bioskop pada Maret disambut dengan antusias oleh para penggemar setia Makoto Shinkai.
Lalu apakah Suzume mampu memenuhi ekspektasi penonton atau sekedar mengulang formula film sebelumnya? Berikut ulasannya!
Sinopsis Suzume
Suzume berkisah tentang gadis SMA berusia 17 tahun bernama Suzume yang tinggal di pedesaan Miyazaki bersama bibinya. Suatu hari, Suzume bertemu dengan laki-laki misterius bernama Souta yang sedang mencari area terlantar di Miyazaki. Penasaran dengan laki-laki tersebut, Suzume mengikutinya dan menemukan sebuah pintu di tengah reruntuhan bangunan.
Pintu tersebut rupanya adalah portal menuju padang rumput luas dengan langit berbintang-sebuah pemandangan yang pernah dilihat Suzume dalam mimpi. Namun Suzume tak bisa melangkah masuk ke sana, sebab tempat itu merupakan Ever-After alam peristirahatan bagi mereka yang sudah tiada.
Tanpa disengaja, Suzume melepaskan Daijin, batu kunci yang menjaga pintu tersebut. Daijin menjelma menjadi seekor kucing berwarna putih dan pergi dari tempat penjagaannya. Kaburnya Daijin ternyata berakibat fatal. Ketika pintu tidak dijaga, roh 'cacing' raksasa akan keluar dari dalamnya dan menyebabkan gempa bumi. Masalah semakin rumit ketika Souta yang diberi tugas sebagai penjaga pintu dikutuk oleh Daijin menjadi kursi.
Suzume dan Souta akhirnya berkelana keliling Jepang untuk mengejar Daijin dan menutup pintu-pintu lainnya demi mencegah gempa bumi. Pintu-pintu tersebut berada di area terlantar dan hanya bisa ditutup kembali dengan cara mengingat jiwa-jiwa yang dulunya menghuni tempat tersebut.
Lebih dari Sekedar Roman Fantasi
Formula yang digunakan oleh Makoto Shinkai dalam Suzume memang tidak jauh berbeda dengan formula yang ia gunakan di film-film sebelumnya. Tapi alih-alih terkesan repetitif, formula yang menggabungkan romance dengan fantasi di film ini justru berhasil dan semakin berkembang. Dibanding dan Weathering with You, dunia yang dihadirkan terasa lebih luas dan eksplorasi karakter terasa lebih dalam.
Meski unsur roman cukup kuat dalam film ini, tapi Suzume berhasil mengangkat tema-tema lain yang tak kalah penting. Salah satunya yaitu mengenai trauma masa kecil Suzume yang diakibatkan oleh kepergian ibunya.
Ibu dari Suzume adalah salah satu korban jiwa dalam peristiwa gempa bumi dan tsunami yang terjadi ketika Suzume masih kecil. Setelah peristiwa itu, Suzume dirawat oleh bibinya, Tamaki. Tak melulu fokus pada Suzume dan Souta, film ini juga mengeksplorasi hubungan kedua karakter utama dengan orang-orang terdekat mereka.
Salah satu contohnya adalah eksplorasi relasi antara Suzume dan Tamaki yang dihadirkan melalui adegan pertengkaran. Penonton diajak untuk melihat lebih dekat trauma yang dimiliki Suzume dan juga Tamaki, sebagai sesama keluarga yang ditinggalkan oleh orang terdekat.
Memento untuk Trauma Kolektif Masyarakat Jepang
Sepanjang film, Makoto Shinkai menyisipkan ruang untuk mengingat orang-orang yang telah meninggal dunia akibat peristiwa bencana. Dalam film ini, Makoto Shinkai menggunakan tempat-tempat terlantar sebagai daerah munculnya lokasi bencana. Tempat-tempat terlantar tersebut adalah pengingat atas apa yang pernah ada di masa lalu sekaligus penanda akan apa yang ada di masa sekarang.
Lewat Suzume, Makoto merefleksikan apa yang dialami masyarakat Jepang pasca gempa dan tsunami di Tohoku pada 2011. Seperti Suzume yang menyimpan kursi sebagai memento kenangan ibunya, film Suzume adalah memento bagi Makoto Shinkai maupun masyarakat Jepang akan bencana yang pernah melanda negeri itu.
Lebih dari sekedar pengingat akan peristiwa buruk yang pernah melanda Jepang, Suzume juga menunjukkan resiliensi yang dimiliki oleh masyarakatnya. Resiliensi tersebut direpresentasikan melalui kehadiran karakter-karakter yang membantu Suzume dan Souta di sepanjang perjalanan. Mulai dari pelajar, ibu dua anak yang memiliki usaha bar, hingga Suzume dan Souta sendiri yang gigih untuk mencegah terjadinya bencana.
Di luar aspek cerita, aspek teknis dari film ini juga tidak usah dipertanyakan lagi. Sepanjang film penonton dimanjakan dengan visual-visual yang apik; mulai dari pemandangan desa, kota, hingga alam Ever-After. Tak lupa, musik dari Radwimps yang langganan mengisi soundtrack film-film Makoto Shinkai juga melengkapi pengalaman sinematik yang tersaji dalam Suzume. Sehingga bisa dibilang, Suzume adalah salah satu karya terbaik Makoto Shinkai.
(ANL/DIR)