Setelah 5 tahun, Papermoon Puppet Theatre kembali menggelar pertunjukan di Jakarta pada acara Helateater 2023 yang diselenggarakan oleh Komunitas Salihara. Komunitas teater boneka asal Yogyakarta ini mementaskan sebuah pertunjukan berjudul A Bucket of Beetles di hari Jumat (10/3), Sabtu, (11/3), dan Minggu (12/3). Pertunjukan spesial dari Papermoon sekaligus menjadi penutup untuk rangkaian acara Helateater yang telah dimulai sejak 18 Februari lalu.
Ini menjadi pertama kalinya A Bucket of Beetles dipentaskan secara langsung di atas panggung. Sebelum pandemi, A Bucket of Beetles dipentaskan untuk pertama kalinya di Jepang dengan format yang sederhana. Kemudian di pertengahan tahun 2020, pertunjukan ini dipentaskan secara virtual melalui live streaming. Oleh karenanya, pertunjukan ini disambut dengan animo yang tinggi dari para penonton-seluruh tiket untuk 5 pertunjukan habis terjual dalam waktu kurang dari 24 jam.
Antusiasme penonton yang sudah tak sabar menyaksikan pertunjukan terbayarkan dengan tuntas lewat A Bucket of Beetles. Dengan permainan shadow puppet yang apik, set panggung yang memukau, dan cerita yang hangat, A Bucket of Beetles berhasil menjadi pertunjukan yang hangat dan magis.
Melihat Alam dan Isinya dari Mata Seorang Anak Kecil
Aura magis langsung terasa sejak lampu dimatikan dan pertunjukan dimulai. Seluruh area panggung Teater Salihara disulap menjadi hutan belantara. Hutan tersebut dibangun menggunakan kain yang membentang di area latar, permainan lighting, serta objek puppet yang menyerupai semak-semak, pepohonan, juga hewan. Shadow play yang dimainkan di belakang layar kain putih membuat area pertunjukan terasa 'luas' dan kita diajak untuk berkelana ke dunia yang lain.
Permainan shadow puppet di 'A Bucket of Beetles'/ Foto: Anastasya Lavenia |
A Bucket of Beetles bercerita tentang persahabatan antara Wehea, anak berumur 5 tahun yang tinggal di hutan, dengan seekor kumbang budak. Bagi Wehea, hutan adalah taman bermain dan segala makhluk yang tinggal di dalamnya adalah temannya. Wehea dihadirkan melalui sesosok boneka yang menggunakan kemeja berwarna biru. Ia berlari ke sana kemari menjelajahi sudut hutan dan bermain dengan belalang serta kumbang.
Suatu hari, ia bertemu dengan seekor kumbang yang istimewa; kumbang badak yang selalu mencari cahaya lampu. Kumbang badak itu akhirnya menjadi sahabat Wehea dan bahkan juga menyelamatkan Wehea dari bahaya. Namun suatu saat petaka datang; hutan terbakar dan seluruh makhluk yang ada di dalamnya harus menyelamatkan diri. Tak berselang lama, hutan yang tadinya adalah tempat bermain yang indah akhirnya berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
A Bucket of Beetles mengajak penonton untuk melihat relasi manusia dengan alam dari mata seorang anak berumur 5 tahun. Meski diceritakan dari sudut pandang anak kecil, tapi bukan berarti orang dewasa tak bisa menikmati pertunjukan ini. Sebaliknya, pertunjukan ini bisa menjadi pemantik bagi orang dewasa untuk merefleksikan bagaimana selama ini kita memperlakukan alam dan seluruh isinya.
Wehea dan teman-teman serangganya/ Foto: Anastasya Lavenia |
Lunang Pramusesa, Sang Pencetus Ide Cerita
Keahlian Papermoon Puppet Theatre dalam bercerita lewat boneka memang sudah tidak dipertanyakan lagi. Tapi bintang utama pada pertunjukan ini adalah Lunang Pramusesa, anak berumur 8 tahun yang berperan sebagai pencetus ide cerita, desainer boneka, sekaligus puppeteer di pertunjukan ini. Sutradara, direktur artistik, sekaligus ibu dari Lunang-Maria Tri Sulistyani atau yang akrab dipanggil Ria-menceritakan proses awal munculnya ide tersebut.
"Awalnya anak ini waktu umurnya 4 tahun suka sekali dengan serangga. Waktu umur 4 tahun Lunang bilang dia ingin sekali bikin pentas kayak orang-orang Papermoon yang lain. Terus saya bilang, 'ya udah mana proposalnya?' Terus dia cerita panjang lebar soal persahabatan kumbang badak," ucap Ria saat media preview pada hari Kamis (9/3). Berhubung saat itu Lunang belum bisa bercerita secara runut, Ria dan teman-teman Papermoon yang lain membantu untuk mengembangkan narasi cerita.
Ria dan Lunang sehabis pentas/ Foto: Anastasya Lavenia |
Untuk memperdalam cerita, mereka lalu melakukan riset mengenai serangga. Lewat riset tersebut, mereka akhirnya mengetahui kalau kumbang merupakan bagian dari tradisi di daerah pedesaan Jepang. Di sana, anak-anak terbiasa memelihara kumbang; sesuatu yang biasanya dianggap sebagai hama oleh orang dewasa. Mereka juga menemukan bahwa apabila di Jepang satu ekor kumbang badak dijual dengan harga ratusan ribu, di Indonesia hewan tersebut justru menjadi hama kelapa sawit.
Berangkat dari temuan tersebut, ide cerita yang muncul dari hal sederhana yaitu kecintaan Lunang terhadap serangga, akhirnya dikembangkan menjadi sebuah narasi mengenai alam, manusia, dan kondisi hutan kita saat ini. Inilah yang membuat A Bucket of Beetles begitu istimewa; pertunjukan ini bisa dinikmati oleh anak-anak, tapi juga bisa dimaknai oleh orang dewasa. "Tumbuhan yang muncul terakhir tadi, anak-anak kayak Lunang gak akan tahu itu apa. Tapi kita sebagai orang dewasa punya pola pikir dan bayangan yang sama kalau hutan itu habis," ucap Ria.
A Bucket of Beetles sejatinya adalah sebuah kisah yang sederhana, tulus, dan jujur. Tapi pertunjukan yang diberikan oleh Papermoon Puppet Theatre jauh dari kata sederhana; pentas ini adalah kombinasi dari storytelling yang kuat, aktor yang piawai dalam memainkan boneka, dan produksi teater yang maksimal. Lalu hasil akhirnya adalah sebuah pertunjukan yang powerful, hangat, dan memuaskan.
(ANL/tim)