Kabar tentang film layar lebar dari anime/manga Slam Dunk sudah didengungkan sejak tahun 2021 langsung oleh sang kreator, Takehiko Inoue. Penantian panjang yang saya rasakan sebagai fans dari cerita ini pun akhirnya terbayar tuntas ketika The First Slam Dunk akhirnya dirilis di Indonesia tepat pada tanggal 22 Februari. Berdurasi 2 jam, Inoue memberikan perspektif berbeda tentang perjalanan tim basket Shohoku yang harus melawan Sannoh yang diakui sebagai salah satu tim terkuat di Jepang. Ketika selama ini saya hanya bisa membaca pertarungan sengit kedua tim ini di manga, kali ini impian saya menjadi kenyataan untuk menyaksikan langsung di versi film.
The First Slam Dunk untuk Ryota Miyagi
Seperti yang kita tahu, Slam Dunk menjadikan sosok remaja temperamen berambut merah bernama Hanamichi Sakuragi sebagai tokoh utama. Namun, tidak untuk film The First Slam Dunk yang fokus kepada pengembangan kisah dari Ryota Miyagi.
Di dalam film ini diceritakan bagaimana Miyagi tumbuh di keluarga yang sudah ditinggal oleh sang ayah sejak kecil di Okinawa. Ia menjadikan sosok kakaknya, Souta Miyagi sebagai panutan untuk menjadi seorang atlet basket andal. Kisah tragis yang dialami Miyagi tidak berhenti di situ. Perjalanan hidupnya yang berat terus ditunjukkan Inoue sebagai point of view baru yang selama ini tidak pernah muncul di versi anime/manga.
Posisi Miyagi sebagai point guard memang unik. Ketika ia bermain di Shohoku, maka seperti yang kita tahu, kaptennya adalah sang center yaitu Takenori Akagi. Sedangkan di dalam tim itu sendiri juga ada shooting guard Hisashi Mitsui yang lebih senior dan small forward Kaede Rukawa sebagai ace. Secara kemampuan, Miyagi harus diakui sebagai salah satu point guard terbaik di prefektur Kanagawa-mungkin ia hanya kalah dari Shinichi Maki dari Ryonan dan berada di level yang sama dengan Kenji Fujima dari Shoyo.
Sekarang, dari mana sisi uniknya? Saat Miyagi pertama kali muncul di Slam Dunk, ciri-cirinya mirip dengan Sakuragi: berandalan dan temperamental. Kerennya, Inoue tahu bagaimana memberikan sentuhan berbeda untuk menggambarkan Miyagi. Inoue memperlihatkan bagaimana Miyagi tidak hanya menjadi otak serangan di lapangan-karena posisi point guard identik sebagai playmaker utama dari permainan basket-tapi juga memiliki sifat kepemimpinan yang baik. Miyagi ternyata mampu memimpin Shohoku dari segi psikologis, baik di dalam dan luar lapangan. Ketika Miyagi harus kehilangan berbagai hal dalam hidupnya, Inoue membalikkan posisinya dengan mengisi hidup Miyagi saat bermain di Shohoku.
Film yang terus berjalan menceritakan tentang bagaimana struggle dalam hidupnya secara perlahan-lahan dibuka satu per satu. Emosi saya yang sudah bahagia bisa menonton film ini pun di-twist oleh jalan ceritanya hingga membangkitkan rasa haru. Ya, saya mengakui kalau beberapa kali ada momen yang membuat saya meneteskan air mata, sama seperti apa yang dirasakan Miyagi.
Tidak Sama dengan Versi Anime/Manga
Poin penting yang perlu digarisbawahi dari The First Slam Dunk adalah muncul perbedaan cerita dengan versi anime/manga. Apakah ini keputusan yang salah? Sama sekali tidak. The First Slam Dunk malah berhasil membuat saya mendapatkan informasi baru yang selama ini tidak diceritakan atau memang sebelumnya tidak dibuat ketika Inoue memproduksi versi anime/manga.
Bahkan ada momen yang cukup membuat saya tercengang karena tidak menyangka kalau bakalan ada adegan tersebut. Adegan yang sudah pasti membuat The First Slam Dunk menjadi semakin kaya sekaligus padat, tanpa harus membuang-buang durasi. Dua jam menjadi waktu yang cukup untuk Inoue merangkum kisah yang tidak sempat dibuat dalam versi gambar bergerak. Rasa epic duel antara Shohoku dengan Sannoh pun terasa tepat karena diselipi oleh barisan background cerita yang tentunya tidak mungkin saya tulis di sini.
Untungnya, Inoue tidak melupakan bagian penting yang memang menjadi sajian utama dari film ini, yakni setiap aksi yang ada di dalam versi manga untuk pertandingan terakhir dalam cerita Slam Dunk. Saya sendiri juga menunggu aksi-aksi tersebut-contohnya koneksi alley oop antara Miyagi dan Sakuragi dengan ekspresi aneh yang menjadi poin pertama Shohoku melawan Sannoh.
Selain itu, saya juga perlu bersyukur karena akhirnya bisa menyaksikan aksi langsung super ace Sannoh, Eiji Sawakita. Penggambaran permainannya yang sangat hebat dan sulit dikalahkan telah sukses divisualisasikan secara nyata. Beruntung, kita juga disajikan antitesis Sawakita bernama Rukawa yang lahir kembali sebagai pemain yang berbeda dengan apa yang kita kenal dari kisah awal.
Ketika Impian Jadi Kenyataan
Judul review ini sudah saya pikirkan ketika berada di tengah-tengah film. Penyajian The First Slam Dunk memang sama persis dengan judul yang saya pilih. Sebenarnya klise, di mana kita selalu melihat sebuah kisah pahit berujung manis yang dipenuhi kesulitan tapi diakhiri kemenangan. Namun apa yang ada di The First Slam Dunk jelas berbeda berkat sentuhan Inoue.
Dimulai dari Miyagi sebagai tokoh utama yang berhasil mewujudkan impian sang kakak, Akagi yang awalnya harus bermain di Shohoku dengan teammate yang buruk akhirnya punya tim kuat di tahun terakhir masa SMA, Mitsui yang berhasil kembali bermain basket sambil dilatih Coach Anzai setelah sempat pensiun dini, Rukawa yang sukses menghancurkan super ace Sawakita, hingga Sakuragi yang akhirnya hadir sebagai pahlawan kemenangan Shohoku. Impian setiap tokoh yang sudah dipupuk sejak dini telah tumbuh dan mekar dalam kisah The First Slam Dunk.
Kalimat "impian jadi kenyataan" juga tidak hanya terjadi di dalam film ini. The First Slam Dunk adalah bentuk impian yang menjadi kenyataan bagi saya dan kamu semua yang mencintai Slam Dunk untuk melihat akhir dari perjalanan mereka. Perjalanan berumur lebih dari 30 tahun yang tetap terasa dekat dan hangat sampai kapanpun. Terima kasih Takehiko Inoue. Terima kasih telah mewujudkan impian kami semua.
(tim/alm)