Pada pukul 2 siang, teras Studio 54 di kawasan Gandaria Selatan sudah dipadati oleh para partisipan yang telah mendaftarkan diri untuk ikut serta dalam SuapSuapan. Studio 54 memang dipilih menjadi lokasi dari SuapSuapan edisi Jakarta yang diselenggarakan pada Sabtu (11/2). Ada yang datang bersama pasangan, ada yang datang bersama sahabat, ada juga yang datang bersama saudara. Meski ada juga yang datang seorang diri, tapi mereka tak akan sendirian di sini. Sebab, nanti host yang akan membantu untuk memasangkan mereka dengan orang lain.
Begitu sesi dimulai, kami dipersilakan masuk ke area ruang tamu dan duduk secara berpasangan di meja yang telah disediakan. Ruang tamu Studio 54 telah disulap menjadi tempat makan dengan suasana yang intim dan cozy, lengkap dengan cahaya yang temaram dan meja yang ditata dengan cantik. Bagi orang lain yang tak melihat tempat ini secara langsung, mungkin tak akan sadar kalau ruangan ini bukanlah restoran sungguhan.
Di acara ini, para partisipan menyantap beberapa jenis makanan yang telah dimasak oleh host. Untuk hidangan pembuka, ada Pangsit Goreng yang disajikan bersama salsa dan saus tartar. Kemudian untuk hidangan utama, ada Soto Betawi Vegan, Nasi Putih, dan Perkedel Jagung Crispy. Sementara itu untuk hidangan penutup, ada Lemon-Blueberry Cake. Selama sesi makan berlangsung, ada satu peraturan yang harus ditaati—mereka harus suap-suapan dengan pasangan.
Makanan dan Memori
SuapSuapan adalah proyek kolaborasi yang digagas oleh dua seniman muda, Haiza Putti dan Rhea Laras. Berawal dari tugas kuliah untuk mata kuliah Seni Eksperimental, keduanya akhirnya memutuskan untuk bermain-main dengan makanan sebagai metode. Makanan adalah aktivitas yang amat personal, dan bisa mengantarkan seseorang ke sebuah memori. "Misalnya, 'disuapin' jadi aktivitas yang lekat dengan kebiasaan saat masa kecil," ucap Haiza Putti ketika membuka sesi SuapSuapan. Keduanya berharap prosesi makan suap-suapan bisa mendorong percakapan mendalam, dan lewat setiap suapannya para partisipan bisa teringat akan suatu memori di kehidupan mereka.
SuapSuapan pada akhirnya bisa memberikan pengalaman yang baru dalam menyantap makanan bagi para partisipan, termasuk saya sendiri. Setiap kali "menyuapi", saya harus mengingat bahwa saya bukan sedang memberi makan untuk diri sendiri, tapi untuk orang lain. Selama sesi berlangsung, saya akhirnya bertanya kepada partner saya, makanan dan cara makan seperti apa yang dia sukai. Misalnya, partner saya ternyata tidak suka cabai potong meski ia suka pedas. Ia juga lebih suka menyisakan "daging" di soto untuk disantap terakhir sesudah nasinya habis.
Lemon-Blueberry Cake yang disajikan sebagai hidangan penutup/ Foto: CXO Media/Anastasya Lavenia |
SuapSuapan juga mengingatkan saya dengan keluarga, terutama sosok ibu. Waktu kecil, atau ketika saya sedang sakit, ibu saya selalu menyuapi saya dengan makanan berkuah; entah itu bihun atau nasi dengan kuah bakso. Dan di setiap suapan itu, ibu saya selalu memikirkan anaknya. Lewat SuapSuapan, saya menjadi sadar bahwa menyuapi butuh kesabaran dan kepekaan untuk memikirkan orang lain—apa yang mereka sukai dan apa yang mereka tidak sukai.
Pengalaman SuapSuapan akan berbeda untuk setiap orang, sebab makanan adalah sesuatu yang personal. Selain itu, SuapSuapan juga mengingatkan kita bahwa makanan bisa menjadi pintu masuk untuk lebih mengenal orang lain; baik itu orang yang dekat dengan kita atau teman baru yang tak terduga.
(ANL/alm)